26 November 2005

Demo Mahasiswa di Simpang Jalan

Jargon mahasiswa sebagai agent of social change seringkali diidentikkan dengan aksi demonstrasi turun ke jalan. Meski bukan sebagai satu-satunya cara, demonstrasi masih dianggap sebagai representasi simpati mahasiswa kepada masyarakat luas menyikapi kondisi kehidupan sosial dan politik bangsa secara umum.

Namun, di lain pihak mulai tercium sikap apatis terhadap gerakan mahasiswa di masyarakat. Ada pandangan mahasiswa hanya bisa mengkritik tanpa menawarkan solusi yang realistis. Muncul kekecewaan, karena tuntutan mahasiswa tak membuahkan hasil seperti yang yang diharapkan oleh warga. Hal inilah yang membuat simpati warga terhadap gerakan mahasiswa mulai berkurang.

Menyikapi kondisi tersebut, beberapa pertanyaan bisa diajukan. Misalnya, kenapa mahasiswa tidak berhasil menekan pemerintah saat menaikkan harga BBM, padahal seperti dikatakan oleh mereka akan menyengsarakan rakyat? Apakah pemerintah sekarang sudah tidak takut lagi dengan mahasiswa? Ataukah gerakan mahasiswa sekarang tak sesolid gerakan mahasiswa dulu, misalnya angkatan ‘66 atau angkatan ’98 yang mampu menggulingkan rezim otoriter Orde Baru?

Kemungkinan lain, saya menduga sikap apatis warga tersebut sebagai akibat sikap para mantan aktivis mahasiswa yang duduk di lembaga pemerintahan sekarang ini tidak lagi mencerminkan idealismenya seperti saat masih menjadi mahasiswa. Lantas warga beranggapan jangan-jangan mahasiswa yang sekarang berteriak lantang akan sama seperti pendahulunya ketika masuk ke dalam sistem pemerintahan.

Di atas bukan semata-mata kekhawatiran yang berlebihan. Sudah banyak kasus yang bisa kita jadikan pelajaran. Tidak sulit untuk menyebut nama-nama mantan aktivis kebanggaan mahasiswa terlibat dalam kasus KKN. Sederet nama bisa kita ajukan, dari mantan ketua DPR, sampai mantan ketua KPU.

Seringkali saya mengalami gejolak dalam hati ketika mengkritik orang-orang yang duduk di lembaga pemerintahan. Apakah saya bisa bertahan dengan idealisme saya, sebagai mahasiswa seperti sekarang ini, ketika berada dalam sistem pemerintahan tersebut?

Selama ini mahasiswa dan orang jamak diduga terbiasa mengkritik hanya menggunakan sudut pandang sebagai the outsider. Cobalah masuk ke dalam, sebagai the insider, menempatkan sebagai orang yang dikritik, ada apa sebenarnya sampai mereka yang dulunya memiliki segudang idealisme itu sekarang justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan idealismenya?

Ini sekadar refleksi, agar mahasiswa generasi sekarang ini tidak kembali mengulang sejarah gelap para aktivis mahasiswa pendahulunya. Idealisme selangit sewaktu mahasiswa akan tetapi justru menghianatinya ketika masuk dalam sistem. Pada gilirannya nanti, generasi sekarang akan kembali dihujat oleh generasi selanjutnya ketika kembali melakukan ketidakbecusan dalam mengurus pemerintahan.

Membaca Catatan Seorang Demonstran (LP3S:2005, cet.ulang), Shoe Hok Gie pernah kecewa dengan teman mahasiswanya karena setelah mereka menjadi wakil rakyat justru menjadi penjilat. Dia menolak ajakan temannya untuk terlibat dalam pemerintahan. Bahkan dia dengan tegas menghujat tindakan temannya tersebut.




Catatan Seorang Demonstran diangkat ke dalam film Gie oleh Miles Film, dengan sutradara Mira Lesmana. Soe Hok Gie diperankan oleh Nicholas Saputra.


Orang juga pasti akan bertanya kenapa Gie kembali menentang rezim kekuasaan baru, setelah berhasil menggulangkan rezim Soekarno. Bukankah dia juga orang yang terlibat dalam menaikan Orde Baru, apakah dia belum puas, kenapa dia selalu menjadi orang yang menentang?

Pemikiran Gie menarik untuk dikaji. Dia lebih memilih berada di luar sistem. Kendati dia berhasil menggulingkan rezim Orde Lama, dan ikut terlibat menaikan orde baru, dia masih tetap konsisten dengan idealismenya: mengkritik ketidakadilan. Dari sini tercermin bahwa Gie adalah seorang intelektual yang bebas. Dia tidak mau pemikirannya diintervensi.

Sayang Gie tak berumur lama. Dia meninggalkan bangsa Indonesia saat masih berusia muda. Kawan aktivis mahasiswa seangkatannya, Muhamad Wahib, dengan pemikiran pembaharuannya dalam wacana islam dan kritis terhadap fenomena sosial, juga meninggal dalam usia muda.

Akankah mahasiswa sekarang bisa konsisten dengan idealismenya, kendati ia tak lagi menjadi mahasiswa, pun ketika ia berada dalam sistem yang dulu pernah ia kritisi?
Seringkali saya mengalami gejolak dalam hati ketika mengkritik orang lain. Termasuk juga ketika mengkritik orang-orang yang duduk di lembaga pemerintahan. Apakah saya bisa bertahan dengan idealisme saya saat ini ketika berada dalam sistem itu?

Tulisan yang masih berkaitan:



1 comment: