Belum lama ini sepasang siswa-siswi sebuah SMU ternama di Kendal, Jawa Tengah, membuat rekaman video mesum. Siapapun orangnya akan terkejut setelah mengetahui bahwa salah satu pelakunya adalah anak seorang guru.
Sebelumnya, seorang siswi sebuah SMU swasta di kota yang sama, meninggal dunia karena mengalami pendarahan setelah melakukan hubungan intim dengan pacarnya yang tak lain teman satu sekolahnya. Kabar terbaru di awal tahun 2007 ini, seorang siswi SMU diperkosa oleh lima orang siswa rekannya di sebuah rumah kosong. Belakangan diketahui, salah satu pelakunya adalah pacar korban.
Kabar anak sekolah membuat video porno memang bukan hal baru. Bahkan, soal perkosa-memerkosa sudah mulai dilakukan oleh murid SD kelas V di Sidoarjo, Jawa Timur.
Tapi dari kejadian di Kendal itu, orang jadi berpikir: kalau di kota kecil semacam Kendal saja, yang orang mengenalnya sebagai daerah yang banyak memiliki pesantren, hal itu bisa terjadi, bagaimana dengan kota-kota besar lainnya. Kalau anak guru saja bisa berbuat seperti itu, bagaimana dengan anak-anak lainnya?
Ketika pulang ke kampung halaman saya di Kendal menjelang lebaran lalu, saya sempat mendengar cerita jika orang tua dari siswa yang pacarnya meninggal itu, shock berat. Ia tak percaya jika anak laki-lakinya yang dirumah rajin beribadah itu berani melakukan hubungan yang begitu jauh dengan pacarnya. Orang-orang di kampungnya pun demikian.
Dari cerita di atas kita bisa melihat betapa tidak berlakunya lagi kontrol sosial dan keluarga terhadap perilaku moral seorang anak. Lingkungan pesantren yang notabene dikenal ketat, ternyata tak mampu mengontrol perilaku anak ketika berada di komunitas lain. Pun keluarga yang dikenal religius, ternyata tak mencerminkan perilaku anak di luar rumah.
Dari cerita itu pula, kita akan menarik kesimpulan jika kesalehan atau kepatuhan moral seseorang berlaku pada ruang dan waktu tertentu. Situasi dan kondisilah yang menentukan perilaku kita. Karena sudah dikondisikan oleh orang tua, maka sang anak mau tak mau harus berperilaku sedemikian rupa ketika berada di rumah. Prinsipnya asal bapak senang!
Selain tak berfungsinya lagi kontrol sosial dan keluarga terhadap moral seorang anak, disadari atau tidak, setiap orang memerankan wajah ganda. Anda mungkin tak menyadari jika di depan muka anda yang tak tampak oleh cermin itu terlapisi oleh bermacam-macam topeng yang setiap helainya memerankan satu tokoh kehidupan. Hari ini menjadi tokoh baik, besok menjadi tokoh yang superjahat. Di sini anda menjadi pembaca yang baik, di lain tempat anda bisa saja menjadi pembrontak.
Wajah seorang anak yang manis ketika berada di rumah dan wajah bajingan ketika sedang berada di luar rumah. Wajah suami yang baik di depan istri dan wajah hidung belang ketika berada di jalan. Wajah seorang kyai ketika berada di depan jamaahnya dan wajah-wajah lainnya ketika tak lagi berada di mimbar-mimbar dakwah. Dalam hal ini manusia seperti bunglon yang setiap saat bisa berubah warna kulitnya menyesuaikan benda yang diinjaknya.
Kenapa satu orang bisa memerankan beberapa tokoh, ini diduga karena tuntutan. Bukan hanya tuntutan dari dirinya, tapi juga tuntutan dari lingkungan dan desakan sistem yang melingkupi kesehariannya. Si A di rumah dikenal keluarganya sebagai anak yang saleh, karena di rumah orang tua sudah mengkondisikannya sejak kecil. Di luar rumah, bebas saja dia tak lagi menjalankan ibadah, toh orang tua juga tak mengetahuinya.
Dalam dunia internet yang setiap orang bisa melakukan apa saja, termasuk "meledek" presiden seperti yang dilakukan oleh seorang blogger asal Yogyakarta pertengahan tahun 2006 lalu, tampak betapa naifnya manusia ketika diberi kesempatan menunjukkan wajah aslinya. Para penghujat, hacker, spammer maupun penyebar virus itu bukan sedang menjadi orang lain. Justru pada saat itulah mereka semua sedang menunjukkan jatidirinya.
Jika di dunia nyata ia tak bisa menjahili orang lain, di dunia maya itulah ia bisa melakukan apa saja yang ia suka, toh hukum yang mengatur cybercrime di Indonesia masih sangat lemah. Di dunia maya itu pula (maaf) orang bisa menyalurkan hasrat birahinya dengan menonton video porno dengan beragam variasi. Pada titik inilah sebenarnya dunia maya menemukan momentumnya menjelma menjadi dunia yang amat nyata, bukan dunia sehari-hari yang penuh kebohongan.
Pernahkah anda mengangankan menjadi orang lain di luar diri anda saat ini, tapi serba tak enak karena keadaan tak mengijinkan anda melakukannya. Andai saja untuk sejenak anda dibebaskan melakukan dan menjadi apa saja tanpa ada larangan peraturan, pranata sosial, agama, orang tua, guru, dosen, pacar, suami, anak, dan tetek bengek lainnya; apa yang anda inginkan, apakah anda ingin selingkuh, korupsi, merampok atau….?
Pengkhianatan moral oleh siswa sekolah(an) itu belakangan disponsori oleh generasi-generasi yang lebih tua. Sudah puluhan kasus pembuatan VCD porno oleh oknum mahasiswa dan belakangan yang lagi marak, dilakukan oleh oknum PNS dan anggota dewan. Orang tua dan anak ternyata sama saja. Like father, like son.
Dari sekian topeng yang melekat di wajah kita ini, kita sendirilah yang tahu seperti apa wajah kita yang sebenarnya. Apakah kita sudah menjadi diri kita sendiri, atau tengah berpura-pura. Muka bisa dipoles agar tampak manis, mulut bisa berkata tidak di muka pengadilan. Tapi hati, di mana kita menyimpan wajah yang asli, tak bisa berbohong.****
Wah, kalo menyangkut kolektor topeng yang koleksinya memenuhi dinding itu pasti makin banyak ya topengnya...
ReplyDeleteBTW, piye Din aku nyang Semarang wingi kowe ora bisa dikontak?
Wah sayang banget saya jadi nggak bisa ketemu Om Tyo, si seleb blog. Saya sekarang pakai Flexi(saya kirim ke email panjenengan). Sori mayori disosor meriiii...
ReplyDeletetulisan yang bagus, mas.
ReplyDeletesaya terkadang-kadang bosen juga memakai topeng, capek.. pengennya sih jadi diri sendiri saja dimana saja.
masih mencari jalan nih untuk menjadi diri sendiri yang sebaik-bainya..
eh jangan-jangan "diri saya yang sebaik-baiknya" itu topeng juga..
mbuhlah!
Salam