Seminggu yang lalu Juminem (52) tak bisa berjalan. Kedua kakinya membesar, tak bisa dijejakkan ke tanah. Di bagian bawah kandung kemihnya terdapat benjolan yang cukup besar. Tapi kini ia sudah bisa berjalan sendiri. Benjolan diperutnya dirasakan mulai mengecil. Kedua kakinya kini juga sudah tampak normal.
Kegembiraan pun terpancar dari Tumini. Putri sulung Juminem itu bersyukur mendapati perubahan pada perut dan kaki ibunya yang sudah mengecil.
"Sebelumnya kedua kaki ibu ini besar. Oleh dokter disarankan ibu dioperasi. Tapi ketika kami bawa ke Semarang, pihak rumah sakit tak memberikan jaminan," ucapnya dalam bahasa Jawa, sambil mengusapi kaki ibunya dengan air.
Keluarga Juminem hampir saja putus asa sebelum akhirnya seorang saudara yang tinggal di Batang mengabarkan bahwa ada tabib di Ungaran yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Di bawalah Juminem dari tempat tinggalnya di Desa Susukan, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Boyolali ke kediaman Moh Ali Zabidi di Jalan Ki Sarino Mangunsarkoro, Cemungsari, Ungaran, Jawa Tengah.
Anda pasti terkejut setelah tahu Bang Ali, panggilan akrab tabib asal Tahunan, Jepara itu; menggunakan setrika listrik untuk terapi penyembuhan pasien. Dibalut dengan kain sejenis handuk yang tak begitu tebal, setrika yang mengeluarkan panas itu digosok-gosokkan ke tubuh pasien. Seperti yang tampak pada Jumat (29/12/2006) siang itu, ketika bang Ali sedang memberikan terapi kepada Juminem.
“Kesannya angker. Satrika kok dipakai untuk mengobati orang sakit. Tapi anda bisa tanyakan sendiri apa yang dirasakan,” ucap Bang Ali sambil melirik ke arah Juminem.
Juminem hanya tersenyum. “Apa ibu tidak kepanasan?,” tanya saya.
Ia menggelengkan kepala. “Tidak, mas,” jawabnya.
Digunakannya setrika sebagai medium terapi penyembuhan Bang Ali itu ternyata memiliki kisah unik. Sekitar tahun 1994 istri Bang Ali divonis menderita jantung. Di payudaranya terdapat benjolan. Oleh dokter disarankan agar Ny Ali segera dioperasi. Biaya yang dibutuhkan sekitar 17 juta. Ini jumlah yang cukup besar untuk ukuran masa itu ketika rupiah masih stabil belum terpukul oleh krisis moneter sekitar tahun 1997.
“Sepulang kerja, anak-anak menangis. Ibu mau dioperasi. Waktu itu istri sudah sekarat di kamar anak,” kenangnya.
Ia lalu keluar rumah. Dari balik kaca depan rumah itu ia melihat istrinya. “Dokter kurang ajar, kayak gitu aja nggak bisa,” bisiknya.
Tiba-tiba saja ia seperti mendapat bisikan. “Pakailah setrika itu”. Ia pun bergegas mengambil setrika yang biasa digunakan untuk menyetrika pakian itu untuk mengobati istrinya. “Saya tempelkan setrika dengan alam pikiran. Setelah istri sadar, saya yang jatuh kehabisan tenaga,” terangnya.
Kondisi kesehatan sang istri dirasakan berangsur membaik. Ia pun tak jadi dioperasi. Sejak itu Bang ali menggunakan setrika untuk mengobati penyakit. Tapi baru melayani keluarga dan saudara dekat.
Untuk mendalami ilmu pengobatan, Bang Ali belajar tenaga prana kepada seorang tabib asal China di daerah Tanah Mas, Semarang Utara. Setelah mendapatkan ilmu tambahan, kini bang Ali menggunakan empat sumber kehidupan sebagai terapi penyembuhan penyakit, yakni api (energi strika), air (Tirto Waluyo), angin (prana), dan tanah (rempah-rempah).
Air Tirto Waluyo yang diguanakan oleh Bang Ali bukan sembarang air. Air ini khusus diambil dari puncak Gunung Ratawu yang terletak di atas puncak Muria, Kudus, Jawa Tengah. Untuk rempah-rempah bahannya dibeli dari luar kota seperti Surakarta dan Yogyakarta. Bahan itu kemudian diramu sendiri oleh bang Ali.
Orang boleh skeptis dengan pengobatan alternatif. Tapi pasien yang datang ke Bang Ali ternyata juga berasal dari kalangan medis. “Nggak masuk akal gimana coba. Orang medis saja juga datang ke sini," katanya. Salah satu diantaranya adalah Kepala Bidan Jawa Tengah.
Yang unik, Bang Ali bisa membuat sketsa layaknya foto rongten kendati baru mendengar keluhan pasien dan sama sekali belum bertemu dengan pasein tersebut. Seperti yang yang ia tunjukkan kepada saya sketsa penyakit yang diderita oleh Juminem.
“Hasilnya sama seperti hasil rongten dari rumah sakit. Padahal saya juga belum pernah lihat hasil rongtennya,” ucapnya.
Nama Bang Ali kini sudah dikenal luas, apalagi setelah aktivitasnya diliput oleh beberapa stasiun televisi. Tiap hari orang berdatangan ke rumahnya untuk minta kesembuhan. Mulai dari penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan oleh medis sampai pasien yang ingin menurunkan kolesterol agar bisa tampil lebih menarik.
“Seperti Nyonya Ali ini. Coba anda lihat foto itu. Dulu dia seperti itu, sekarang anda bisa lihat sendiri,” ucap Bang Ali sambil menunjuk foto di dinding di ruang tamu dan lalu melirik ke arah istrinya.
Benar memang, seperti yang saya lihat siang itu, Nyonya Ali tampil langsing seperti perempuan muda kendati usianya kini sudah pantas dipanggil nenek.
Orang pasti tak mengira jika tabib ini dulunya adalah seorang preman di Barutikung, sebuah daerah yang terkenal dengan sebutan kawasan preman di Semarang. Ia juga pernah menghuni sel Nusakambangan. Tapi kini ia telah beralih profesi, meninggalkan dunia hitamnya itu dengan sebuah tindakan yang mulia menjadi seorang tabib.
Kendati namanya sudah dikenal luas, Bang Ali tak memasang biaya yang melambung tinggi. Untuk sekali datang, pasien cukup merogoh kocek Rp 75 ribu. Jumlah sebesar itu memang belum termasuk ramu-ramuan. Tapi melihat kasiat pengobatan ini, harga itu tentunya tidaklah mahal. Bisa dipastikan lebih rendah dari biaya yang dibutuhkan jika pasien di bawa ke dokter ataupun dibawa ke rumah sakit. Bahkan untuk pasien yang benar-benar tak mampu, Bang Ali membebaskan biaya pengobatan.
Seperti Juminem, sudah dua kali ini ia belum membayar biaya terapi dan juga ramu-ramuan dari Bang Ali. Bang Ali pun tak minta, tapi dari kesadaran pasien sendiri.
“Urusan biaya, saya tak mau ikut campur. Nyonya Ali yang mengurusinya. Untuk memecahkan apa penyakit pasien itu saja saya perlu konsentrasi yang melelahkan,” katanya.
Untuk penyakit Juminem, Bang Ali mematok waktu satu bulan untuk terapi penyembuhan. "Satu bulan itu paling lama. Anda bisa melihat sendiri bagaimana perkembangan bu Juminem dalam seminggu ini. Saya katakan kepada keluarganya kurang dari satu bulan, penyakit bu Juminem akan sembuh. Kalau tidak, berarti obat saya nggak manjur," tegasnya.
Kendati telah banyak pasien yang berhasil sembuh, namun Bang Ali tidak sesumbar. Ia mengatakan, urusan nyawa dan umur yang menentukan adalah yang Maha Kuasa. Tapi selama masih diberikan kesempatan manusia bisa berusaha.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa obat yang paling mujarab sejatinya bukan darinya, melainkan dari pasien sendiri. Jadi kuncinya, ada keinginan yang kuat pada pasien untuk sembuh. Oleh karena itu, ketika pasein datang kepadanya, Bang Ali minta kepercayaan sepenuhnya dari pasien dan keluarganya agar bisa berkonsentrasi penuh.
*Tulisan ini dimuat di rubrik alternatif suaramerdeka.com.
No comments:
Post a Comment