15 October 2005

Mahasiswa, Berpikirlah Sebelum Demonstrasi

Oleh: Abdul Gaffur A. Dama*


Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tecinta…


Sengaja saya tuliskan kembali sebuah petikan dari salah satu lagu wajib mahasiswa setiap kali melakukan "tugasnya" sebagai agent of change. Pertanyaan utama bagi kita semua adalah, apakah dalam tugasnya tersebut selalu dilaksanakan dengan cara-cara seperti demonstrasi?

Bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan rekan-rekan yang turun ke jalan, tengah hari bolong, membawa spanduk, teriak-teriak dan lainnya. Bukan juga untuk membuat turun semangat mahasiswa baru yang sedang diupgrade pola berpikirnya dari siswa menjadi mahasiswa. Tetapi sekedar mengingatkan dan meluruskan kembali kedalam koridornya, mengajak mahasiswa melihat dirinya sebagai mahasiswa. Dan mencoba mengubah paradigma kita terhadap istilah agent of change menjadi lebih intelek dan produktif.

Beberapa waktu lalu tepatnya 30 September 2005, aksi penolakan kenaikan BBM dilakukan oleh aliansi BEM dari Jakarta, Bandung, Palembang, Malang dan kota-kota lain. Tak kalah, BEM STAN pun ikut turun dan bergabung bersama rekan-rekan mahasiswa lain. Namun satu hal yang menarik disini adalah tuntutan mereka yang terkesan kopong, dimana mereka hanya menuntut tanpa adanya solusi.

Mengenai kenaikan BBM, tentunya kita Mahasiswa STAN lebih fokus terhadap apa dan mengapa Pemerintah mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Seharusnya kita paham mengapa dibuat APBN-P yang kedua ditahun 2005 ini. Sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu keuangan negara seharusnya dapat memberikan suatu sentuhan yang positif terhadap kebijakan Pemerintah. Yang dimaksudkan saya disini adalah seharusnya kita dapat berbuat lebih banyak, lebih produktif, efektif, efisien dari pada sekedar capek-capek aksi tanpa arti. Mungkin akan lebih baik jika mahasiswa untuk "berpikir" dahulu sebelum demonstrasi.

Apakah "berpikir" itu hanya ada waktu kuliah saja? Mengapa kita pandai membuat karya tulis, skripsi, desertasi, tetapi menjadi tidak pandai dalam "memikirkan" sesuatu yang lebih besar dan lebih berarti? Mengapa rekan-rekan mahasiswa yang seharusnya lebih menguasai ilmu-ilmu tidak memberikan suatu kontribusi berarti terhadap bangsanya? Mengapa akhirnya mahasiswa menjadi pencari kerja bukan pemberi kerja? Berpikirlah dan berpikirlah! Bukankah ada rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang berpikir?

"Berpikir" disini maksudnya adalah kita seharusnya bersama-sama membantu Pemerintah untuk memecahkan masalah bangsa yang rumit. Kita dapat membentuk suatu forum ilmiah bersama antara mahasiswa, dosen, akademisi lain, praktisi dan pihak lain yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan bangsa yang kompleks, dan hasil dari forum itu disampaikan dengan baik-baik kepada Pemerintah sebagai rekomendasi.

Tak ada orang yang ingin bangsanya tidak maju, tak ada pula yang tidak ingin bangsanya lepas dari kesulitan ini. Terlebih Pemerintah yang menurut saya berada dalam posisi yang serba sulit. Maju kena, mundur kena.

Dalam hal pemberian kompensasi langsung bagi rakyat miskin, mahasiswa seharusnya turut berperan aktif membantu agar bantuan yang diberikan tepat sasaran. Kutipan menarik yang saya dapatkan dari Warta Kampus (edisi ke 6, Oktober 2005) dimana Presiden Mahasiswa ITB mengatakan "Kami bisa memberikan sebuah tim pemantau distribusi kompensasi, akan tetapi kami lihat juga kondisinya. Jadi untuk saat ini kami cukup menekan." Mengapa rekan kita yang satu ini harus melihat kondisi dahulu? Kondisi yang bagaimana? Bukankah di televisi sering diberitakan banyak subsidi yang ternyata salah sasaran? Lalu mengapa untuk saat ini mereka cukup menekan?

Dari sini sebenarnya tampak bahwa mahasiswa ternyata menjadi setengah hati dalam berusaha membantu rakyat. Atas nama rakyat mereka turun ke jalan, tetapi untuk turun ke rakyat mereka masih harus melihat kondisi.

Apakah kita masih terus bersandar sambil menonton negara kita yang semakin tidak jelas arahnya? Apakah kita hanya bisa menjadi komentator Pemerintah, layaknya komentator pertandingan sepak bola yang sebenarnya mereka sendiri jika disuruh turun ke lapangan tidak ada yang mau? Apakah kita sudah layak disebut mahasiswa, yang berpikir?

Buktikan!!


*) Penulis adalah mahasiswa kelas III-D Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
**) Tulisan ini diposting dari milis Perskampus_Tempo@yahoogroups.com

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment