17 March 2006

Insiden Abepura: Bias Ketidakadilan

Insiden berdarah Abepura merupakan titik puncak kemarahan masyarakat Papua atas kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tegas dalam menangani kasus-kasus di bumi Cendrawasih.

Bahkan pemerintah terkesan lemah menghadapi masyarakat luar, khususnya tekanan para investor asing, untuk merealisasikan tuntutan warga setempat menutup PT Freeport Indonesia. Akibatnya, pecahlah tragedi berdarah Abepura, Kamis (14/3), yang menewaskan empat aparat kemanan dan puluhan lainnya luka-luka, baik dari pihak aparat keamanan maupun massa aksi.

Bila sebelumnya, seringkali para demonstran yang mengalami kekerasan dari pihak petugas keamanan, kali ini justru dari pihak petugas keamanan yang menjadi korban kekerasan oknum pengunjukrasa. Aparat yang hanya dilengkapi tameng dan pentungan kewalahan menghadapi amukan massa yang jumlahnya jauh lebih besar.

Sangat disesalkan, diantara para pengunjukrasa itu diterdapat mahasiswa. Namun, adanya keterlibatan mahasiswa dalam insiden berdarah tersebut harus dilihat sebagai oknum, bukan lantas menggeneralisasi bahwa mahasiswa sekarang anarkis dalam melakukan aksi demonstrasi.

Masyarakat diharapkan tidak lantas menjustifikasi bahwa masyarakat Papua brutal. Karena, menyaksikan adegan kekerasan seperti yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi itu sangat mungkin untuk menggiring opini publik pada keputusan mengecam masyarakat Papua. Masyarakat di luar Papua perlu memahami bagaimana duduk perkara yang sebenarnya. Bagaimana kondisi psikologis masyarakat Papua atas kekecewaannya terhadap Freeport dan sikap pemerintah yang lemah.

Tragedi serupa bukan sekali ini saja terjadi di Papua. Sebelumnya insiden Abepura pernah terjadi pada 10 mei 2005. Menurut KP KMP, yang disampaikan dalam siara pers menanggapi insiden Abepura itu, kekerasan yang dialami orang Papua selama ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kekerasan massa lalu, dimana rakyat Papua dipersalahkan dalam setiap tuntutan hak-hak dasar. Kekerasan terus berlanjut di Papua, perjuangan melawan Freeport justru dianggap tak penting bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

KP KMP menuduh pihak aparat keamanan yang mulai memicu kekerasan. Insiden Abepura, mencederai 6 penduduk sipil Papua tak berdosa yang dilaukan oleh aparat polisi saat membubarkan secara paksa massa Front PEPERA PB kota Jayapura.

Awalnya tarik menarik antara aparat dan Massa, polisi kemudian bersikeras memaksakan massa untuk membubarkan diri. Namun massa Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat wilayah Kota Jayapura tetap bertahan hingga tuntutan terpenuhi. Aparat kemudian beringas, salah seorang intelejen TNI AU yang sekarang tewas, nampak memulai pelemparan batu kearah massa yang dalam posisi tegang. Massa aksi kemudian mengejar dan mengeroyok hingga tewas.

Selanjutnya terjadi tembakan liar kearah massa oleh aparat yang mencederai 6 orang. Melihat rekannya cedera akibat tembakan, pelemparan batu dari massa aksi tak terhindarkan. Akibatnya 3 aparat Polisi dan 1 orang TNI AU tak bernyawa.

Vulgarisme Media

Ada kecenderungan televisi akhir-akhir ini gemar menayangkan tontonan kekerasan yang dikemas dalam bentuk berita. Sajian acara semacam Buser, Sergap, TKP, dan lain-lainnya menjadi bukti betapa kekerasan disajikan secara blak-bakan (life) di layar kaca.

Menjadi permasalahan karena kekerasan itu dikemas dalam bentuk berita, bukan sandiwara. Artinya, kekerasan itu benar-benar terjadi di alam nyata, bukan dalam film atau sinetron. Dan ketika berita itu ditayangkan di televisi, sudah barang tentu akan menjadi konsumsi publik. Apalagi acara semacam itu sekarang tak lagi mengenal waktu. Akibatnya, anak-anak pun menjadi korban tontonan kekerasan.

Patut dipertanyakan aspek edukasi sebuah media menyajikan berita yang menayangkan kekerasan. Alih-alih memberikan pendidikan, acara semacam itu ditengarai menjadi biang keladi perusak masyarakat. Tujuan semula yang diharapkan bisa menghentikan kekerasan di masyarakat, menghadapi dilema karena aksi serupa malah ditiru oleh orang yang menyaksikannya. Kekerasan sudah menjadi tontonan biasa, tak lagi menimbulkan efek kejut dan bukan lagi sesuatu yang mengerikan.

Tak dapat dipungkiri berita semacam itu, baik di televisi maupun di media cetak justru menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Tapi apa hanya berhenti sampai di situ. Bukankah fungsi pers tak hanya untuk menghibur (to entertain) tapi juga untuk mendidik (to educate), dan seterusnya. Nah, apakah kekerasan yang disajikan oleh media itu memenuhi fungsi pers?

Pada penayangan insiden berdarah dalam demosntrasi di Abepura, muncul pertanyaan, apakah redaksi tidak mempertimbangkan kelayakan berita yang akan disampaikan kepada pemirsa? Bagaimana dengan fungsi lembaga sensor, bukankah di Indonesia ada lembaga terkait yang berwenang, semacam KPI?

Rekaman kekerasan itu sempat ditayangkan di beberapa stasiun televisi saat sore dan malam tanpa narasi dan penjeleasan. Setidaknya tercatat Metro TV, ANTV, dan Trans TV yang menayangkan gambar tersebut secara jelas. Bahkan ada yang mengulang sampai tiga kali. Hanya SCTV yang berinisiatif mengaburkan gambar kekerasan itu. Namun dalam kasus lain, SCTV belum sepenuhnya bersih dari penayangan berita kekerasan dengan menayangkan berita kriminal seperti stasiun TV lainnya.

Tidakkah dibayangkan betapa pilunya seandainya istri korban menyaksikan dengan kepala mata sendiri bagaimana sang suami dianiaya oleh orang lain, betapa sulitnya menghibur anak korban yang masih kecil ketika tahu ayahnya mati dengan cara yang tragis itu? Apa dampak yang akan timbul dari penayangan berita kekerasan? Dendam. Ya, dendam dari keluarga, kerabat, teman dekat, dan mungkin juga instansi tempat korban mengabdi, toh bukankah mereka punya bukti jelas siapa-siapa yang melakukan kekerasan itu yang mengakibatkan terbunuhnya korban.

Belajar dari kasus itu, diperlukan kode etik yang mengatur media untuk penerbitan atau penayangan berita yang berkaitan dengan kekerasan, karena aspek mudharat lebih besar dari manfaatnya. Redaksi sudah seharusnya menyediakan ruang diskusi untuk menentukan apakah sebuah berita layak disampaikan ke pemirsa atau pembaca. Tentunya dengan pertimbangan seorang jurnalis, bukan semata mencari sensasi, apalagi untuk menaikan rating media yang bersangkutan. Hal ini jelas telah menggeser orientasi media ke orientasi bisnis.

Akar Ketidakadilan

Sangat ironis bila bumi Papua yang dengan segala kelimpahan sumberdaya alam, masyarakatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data yang disampaikan oleh media membuka mata betapa ketidakadilan itu sangat menyolok di bumi cendrawasih itu. Bagaimana mungkin pulau yang kaya raya itu masyarakatnya menderita busung lapar?

Hal yang sangat dicemaskan oleh pemerintah untuk menutup Freeport adalah akan munculnya kecaman dari masyarakat internasional. Kesepakatan dengan pihak investor sudah diteken-kontrak. Pemerintahan SBY hanya melanjutkan kontrak yang telah disepakati oleh pemerintah sebelumnya. Dalam posisi ini, Indonesia tidak bisa berbuat banyak, karena menutup Freeport berarti membatalkan sepihak. Akibatnya, Indonesia akan dihukum oleh masyarakat internasional.

Pasca lengsernya rezim orde baru hingga sekarang ini, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya bisa lepas dari pengaruh kekuasan asing. Ini terbukti dari kebijakan pemerintahan SBY dalam menangani persoalan Freeport. Ketidakberanian pemerintah menutup Freeport diduga karena investor, masyarakat internasional sebenarnya gertakan belaka. Sungguh logika yang terbalik, karena demi investor pemerintah rela menyerahkan Freeport, bukan demi rakyat pemerintah berani meninggalkan investor dan menutup Freeport.

Celakanya, para investor itu tak hanya meminjamkan uang, tapi juga ikut campur tangan dalam kebijakan pemerintah. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena nasib negeri ini ditentukan oleh bangsa lain. Warga Indonesia ibarat menjadi buruh di negerinya sendiri yang kaya raya ini di bawah kendali para majikan investor asing itu.

Masyarakat Papua rupanya tak hanya menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk oleh para investor asing, tapi juga sebagian besar dinikmati oleh Jakarta. Otonomi daerah yang diharapkan bisa menjadi solusi dari polemik yang muncul di daerah-daerah karena ketidakadilan pemerintah pusat (Jakarta), belum juga ditaati pemerintah dalam kasus Freeport ini.

Baru-baru ini, bupati setempat menuntut keadilan kepada pemerintah yang mendapat 2 triliun dari hasil pajak Freeport karena sebagian besar kantor Freeport dipusatkan di Jakarta. Padahal andaisaja kantor-kantor itu dibangun di Papua, maka akan sangat mungkin bisa membantu mengatasi persaoalan ekonomi masyarakat sekitar.
Selain itu, ada dugaan kuat Freepot hanya dinikmati oleh para elit lokal.

Ketimpangan pembagian kekayaan Freeport itu sangat kontras terjadi di bumi Papua sendiri. Para elit lokal itu, seperti dilaporkan media, bisa menghabiskan uang 12 juta dalam waktu sehari hanya untuk “mabuk-mabukan”. Kenyataan ini sudah bukan menjadi rahasia lagi, khususnya bagi para wartawan yang pernah berkunjung ke Papua. Oleh karena itu, musuh yang harus dihadapi oleh masyarakat Papua, tak hanya investor asing dan Jakarta, tapi juga rekan Papua sendiri.

Perlu diingat bahwa persoalan pokok adalah antara masyarakat Papua dengan Freeport dan pemerintah, bukan masyarakat Papua dengan Polisi atau TNI. Maka jangan sampai kasus Abepura kemudian mengalihkan permasalahan yang sebenarnya. Jangan sampai pula masyarakat Papua dihukum oleh kesinisan masyarakat luas setelah menyaksikan adegan sepotong tentang kekejaman yang ditayangkan oleh televisi, kesalahan yang sebenarnya tak dikehendaki.

Kepada para korban, penulis sampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Baik aparat keamanan maupun warga sipil, mereka sebenarnya menjadi korban dari ketidaktegasan kebijakan pemerintah baru dalam menyelesaikan masalah Freeport yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat Papua selama ini.

Pemerintah sebaiknya segera menggelar dialog dengan masyarakat setempat. Libatkan tokoh-tokoh yang bisa mewakili aspirasi masyarakat Papua, bukan elit lokal yang hanya mencari kepentingan pribadi. Selanjutnya, usut kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini, termasuk insiden berdarah Abepura dan kejahatan HAM lainnya selama sengketa masyarakat dengan perusahaan penambang emas itu. ****

*Tulisan versi lain diterbitkan oleh Koran Sore Wawasan, Senin, 27 Maret 2006.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment