“Jika kamu menemukan kebahagiaan di hutan, kembalilah dan ajarkan padaku tentang kebahagian itu. Jika hal itu mengecewakanmu, kembalilah dan kita akan membuat korban persembahan pada para dewa bersama-sama. Sekarang pergilah dan ciumlah ibumu, dan beritahukan kepadanya ke mana kau akan pergi,” pesan sang Brahmana kepada Sidharta yang ingin ke hutan untuk bertapa bersama para Shramana.
Sidharta adalah tokoh dalam novel dengan judul yang sama karya Hermann Hesse, penerima Nobel Sastra 1946. Sidharta muda telah membuat ayahnya yang seorang Brahmana cemas karena anak semata wayangnya itu ingin pergi ke hutan untuk bertapa dan bergabung bersama para Shramana.
Bisa dimengerti jika orang tua cemas ketika anaknya ingin menempuh jalan pencarian. Bukan semata karena harus berpisah dengan si anak, tapi jalan pencarian yang penuh resiko membuat setiap orang tua khawatir akan keselamatan anaknya.
Sidharta adalah potret seorang pemuda yang haus akan pengetahuan. Dia akan terus mencari tanpa pernah menemukan ketetapan. Ia menolak untuk mengimani setiap ajaran dari para guru yang ditemuinya. Ditinggalkannya Shramana kemudian bertemu dengan Sang Budha Agung yang namanya sudah tersohor dan ratusan hingga ribuan orang berdatangan untuk mendengarkan ceramahnya.
Namun setelah bertemu dengan sang budha, Sidharta tetap saja tak dapat menetapkan hatinya untuk menjadi pengikut sang Gotama. Menurutnya kebijakan hidup tak bisa diajarkan, tapi dia harus dicari dan dialami sendiri ole Sang Pencari.
Jika Gotama menemukan kebijakan hidupnya dari hasil pencariannya sendiri, maka siapapun yang ingin menjadi sepertinya harus menempuh jalan pencarian serupa. Pengalaman spiritual harus dialami dan ia tidak bisa diajarkan. Itulah sebabnya Sidharta meninggalkan ajaran Sang Budha Agung Gotama. Sidharta tak yakin kendati dirinya menjadi pengikut Gotama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, ia dapat menundukkan egonya.
Yang mengejutkan, setelah menolak menjadi pengikut Gotama, Sidharta keluar dari hutan dan berguru pada Kemala. Siapakah gerangan Kemala itu? Sang Guru Sidharta ini adalah seorang pelacur yang pertama kali dijumpainya ketika dirinya tiba di perkampungan. Kedengarannya memang sangat naïf, bagaimana mungkin seorang Shramana yang telah melalui jalan spiritualnya dengan bertapa selama bertahun-tahun, namun kini hendak berguru dan mengabdi menjadi murid seorang pelacur?
Sidharta ingin belajar bagaimana menjalani hidup seperti orang awam. Kehidupan macam ini sudah lama ia tinggalkan semenjak dirinya menjadi Shramana.
Dia belajar banyak dari Kemala, bagaimana menghasilkan uang, bagaimana menjalankan urusan dunia. Dia berhasil mengelola sebuah usaha dagang milik salah seorang saudagar kaya, namun dia tak pernah berhasrat untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Dia ingin bisa berpakaian bagus dan punya cukup uang untuk disetorkan kepada Kemala. Dua hal ini sudah lebih dari cukup bagi Sidharta.
Kendati Sidharta melakukan pekerjaan duniawi itu demi Kemala, namun dia tak pernah berhasrat untuk memiliki Kemala sesungguhnya. Dia tak ingin mengikatkan hatinya kepada siapapun, kecuali menuruti kehendak pikirannya sendiri. Walau dirinya menjadi murid pelacur, namun jiwanya masih tetap menjadi milik seorang Shramana.
Lambat laun hasrat untuk memiliki harta dan segala pernik keduniawian mulai menggerogoti jiwa Shramananya. Ketika ia menyadari hal ini, betapa dirinya sangat menyesali ketersesatannya. Segera saja ia meninggalkan perkampungan itu, tanpa bekal apapun kecuali sepotong pakaian dan sepatu mewah yang dikenakannya.
Ia menemui seorang juru sampan yang menyeberangkannya beberapa tahun lalu. Sang juru sampan tak mengenalinya lagi karena Sidharta muda yang dulu ditemuinya mengenakan pakian Shramana dengan rambut yang memanjang, kini datang dengan pakian yang mewah dan rambutnya yang dicukur rapi.
Dengan ketahanan mendengarkan yang luar biasa, Vasudewa si juru sampan tua itu mendengarkan keluh kesah Sidharta hingga menjadi seperi sekarang ini.
Sidharta mengajukan permohonan untuk menjadi murid si juru sampan. Darinya Sidharta belajar bagaimana sungai bisa mengajarkan manusia akan ketenangan hidup. Bagaimana sungai akan menertawakan manusia yang tampak ramai, tampak alim, namun kosong dalam pemenuhan spiritualnya.
Bertahun-tahun Sidharta belajar dari sungai. Di tempat itu ia menemukan kehidupannya yang baru bersama Vasudewa. Mereka tak banyak bercakap, namun keduanya saling memahami dalam kediaman.
Ketenangan Sidharta kembali terusik ketika anak hasil hubungannya dengan Kemala ikut tinggal bersamanya. Anak itu terpisah dari ibunya yang pinsan setelah dipatuk ular. Kesabaran Sidharta untuk selalu mengalah kepada anaknya, meski si anak kerap berlaku kasar kepadanya, membuat batinnya menjadi tak tenang.
Vasudewa menyarankan agar Sidharta mengembalikan si anak ke rumah ibunya. Anak itu tak terbiasa hidup dalam kesederhanaan seperti yang dijalani oleh kedua orang tua yang tinggal di gubug itu. Dia sudah terbiasa hidup dilayani oleh para pembantu. Memaksakan si anak tinggal di gubug itu berarti menyiksa si anak, dan juga Sidharta.
Suatu hari si anak kabur dengan menggunakan sampan Vasudewa dan membawa serta kantong berisi uang hasil menyeberangkan orang-orang yang melewati sungai. Sidharta segera menyusul anaknya. Setelah memastikan si anak telah sampai di rumah ibunya dengan selamat, Sidharta kembali ke gubug juru sampan. Berhari-hari Sidharta murung karena selalu memikirkan anaknya. Padahal sebelumnya ia tak pernah menyerahkan dirinya hingga rela melakukan apa saja demi orang lain, kecuali dengan anaknya ini.
Sidharta menjadi cemas karena dirinya tak ingin anaknya kelak mengalami ketersesatan seperti yang dialaminya.
Dalam perenungannya, dia ditertawakan oleh sungai, betapa kejadian yang sama terus berputar. Sidharta muda dulu yang bersikukuh meninggalkan kedua orang tuanya tanpa pernah kembali, kini ditinggalkan oleh anaknya. Betapa cemasnya orang tua Sidharta waktu itu yang melepas anaknya yang ingin menjadi Shramana, kini Sidharta kembali dia buat cemas oleh anaknya yang tak mau tinggal bersamanya.
Setelah Sidharta mampu melewati masa-masa sulit itu, luka akibat kegelisahan jiwanya yang teramat mendalam berubah menjadi wewangian. Sidharta kini mampu menatap luka itu dengan senyum, tanpa rasa sakit, karena dia sudah meninggalkan segala hasrat duniawi.
Sidharta kini berhenti menentang takdir, berhenti dari penderitaan. Di wajahnya mekar kebahagiaan dari kebijaksanaan yang tidak lagi dikekang oleh keinginan, yang mengenal kesempurnaan, yang selaras dengan sungai apa adanya, dengan arus kehidupan, penuh dengan kebahagiaan berempati, menyerah pada aliran itu, bagian dari kesatuan.
****
Novel “Sidharta” ditulis sekira tahun 1920-an. Kala itu dunia Barat tengah dilanda gelombang kehausan spiritual. Kecongkakan Barat dengan kultur intelektualnya yang melihat suatu permasalahan hanya dari satu sisi, mulai memerlukan upaya pemulihan dari kutub yang berlawanan.
Kisah itu menunjukkan kepada kita betapa jalan pencarian itu tak hanya melelahkan tapi juga membahayakan. Siapapun dapat terperosok dalam kesesatan. Namun bagi sang pencari sejati, keterpurukan tidak membuatnya kehilangan energi untuk terus melakukan pencarian.
Orang awam memandang permasalahan hidup dengan batin yang senantiasa was-was. Hati yang sebenarnya masih cemas tak dibiarkan untuk melakukan pencarian. Keyakinan yang dimiliki adalah sebuah warisan yang turun temurun. Kebenaran yang diimani adalah kebenaran yang dianggap sudah menjadi jamak sehingga ia tak perlu diperdebatkan lagi. Just take it for granted.
Oleh karena itu wajar jika orang lebih memilih menempuh jalan hidup yang lurus dan tak sekali-kali mencoba untuk menyeleweng. Jalan macam ini dipercayainya lebih aman ketimbang jalan pencarian.
Karena jalan pencarian dianggap membahayakan, maka kebebasan berpikir akan dihindari. Buku-buku yang sekiranya dianggap menyimpang ditinggalkan kalau perlu dibakar seperi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dan baru-baru ini dilakukan oleh Nurmahmudi, bupati Depok yang membakar sejumlah buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI.
Buku yang dikuatirkan dapat mengguncangkan keimanan dijauhi. Terlalu mahal untuk mempertaruhkan keimanan yang sudah terlanjur ditetapkan dengan kembali mempertanyakannya. Agar stabilitas keimanan tetap terjaga, maka suara-suara yang dapat meruntuhkan bangunan iman dibuang jauh-jauh.
Jiwa yang haus akan pertanyaan-pertanyaan dibungkam. Alasannya praktis, ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan: rutinitas; pekerjaan; kuliah; keluarga dan urusan-urusan lain yang menuntut kita untuk melakukannya dengan segera. Hal inilah yang membuat kita menjadi budak dunia, terjebak pada rutinitas dan tak mau meluangkan waktu untuk mengisi kekosongan bathin kita.
Dalam sinetron kita biasa menonton kehidupan yang menyenangkan. Hidup yang sepertinya mudah tanpa ada masalah yang berarti. Apa yang ditampilkan di sinetron itu jauh dari realita yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Sinetron terlalu menyederhanakan kehidupan yang sebenarnya sangat kompleks.
Dalam kehidupan yang sebenarnya orang akan menemui sarjana yang kesulitan mencari kerja, pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun hidup berumahtangga tapi di tengah jalan ternyata bercerai, usaha yang sudah mapan dilain waktu gulung tikar, teman yang berubah menjadi lawan, kebenaran yang dikemudian hari ternyata keliru.
Segalanya disediakan di muka bumi ini. Yang baik juga yang buruk, yang benar dan juga yang salah. Diciptakan malaikat, tapi juga dibuat setan. Tak mudah bagi manusia untuk menyibak tabir tuhan dan semesta alam ini, jika dia sendiri belum menemukan rahasia dirinya.
Dalam keterpurukan, kekecewaan yang mendalam, sesuatu yang mulanya tak mungkin bisa saja terjadi. Seorang yang semula tegar karena belum menemui ganjalan dalam jalan hidupnya, tapi sangat mungkin seorang menjadi terpuruk bahkan tercerabut keimanannya karena ditimpa masalah yang mahaberat yang tak diduga-duga sebelumnya.
Anda sekarang bisa merasa aman karena menempuh jalan yang jauh dari konflik, telah menjauhi segala macam bacaan liar. Namun apa yang anda lakukan ini sebenarnya adalah cara untuk menunda kekalahan. Anda seperti tengah mencekokkan opium ke mulut dan setelah pengaruh obat bius itu sirna, anda akan kembali menjadi pesakitan.
Tak ada gunanya menghindar dari masalah untuk mencari jalan yang lebih aman sedang di lain waktu momok itu akan kembali menemui. Sampai kapan anda akan terus menelan pil penghilang kesadaran itu?
Hidup adalah pertaruhan, siapa yang mau bersusah, maka dia yang akan mendapat hasilnya. No pain, no gain. Who dares nothing, need hope for nothing. . Siapa yang tak mau mencari, maka dia tak akan menemukan.
Hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan, tulis penyair romantik asal Jerman Friedrich Schiller dalam salah satu sajaknya. Teks aslinya dalam bahasa Jerman yang berbunyi: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein—pernah dikutip oleh Sjahrir dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel.
Kini saya mempercayai bahwa setiap pencarian adalah jalan menuju penemuan. Kepada diri saya sendiri saya meyakinkan bahwa setiap masalah yang dijumpai dalam hidup ini akan menempa kadar kedewasaan seseorang. Selamat mencari, semoga kita kelak akan diberikan kemenangan.
wah mas udin tulisanya,i read in hawepos. ceile bagus pokoke.gambar rumi ya itu. mau terbang ato apa si sebenarnya.Apa mas udin dalam tahap pencarian seperti yang ada dlm tulsan.klo iya mencari apa si, Tuhan kok dicari ntar gemblung lo. hehehe. Tuhan di sini lo.disini. buka aja
ReplyDeletemas udin gimana caranya buat tampilan blog, aq dah buat nih tapi hanya jiplak.
ReplyDeleteMasih lebih dahsyat kutipan ini, su:
ReplyDelete"Orang yang gigih mencari, akan ditemukan!"
Hahaha.... Nemu juga kowe kutipan Schiller!
(lagi mlaku2 di belantara kalimantan)
mas udin, kamu dikatain "su" oleh orang di atas saya ini. apa dikau tak marah dikatai "su" begitu. itu bukan su(oe) gie, lho. tapi su beneren, su. lho, kok.
ReplyDeleteWhere have you been?
ReplyDeleteSubtitle: Kamana wae atuh akang?
tulisannya bagus mas..
ReplyDeletesalam kenal. sepertinya ini serius. wah, saya jadi ngeri deh.
ReplyDeletewww.areapanas.blogspot.com
gambar ilustrasinya kayanya ga nyambung dengan isi tulisan. ;D
ReplyDelete