28 March 2006

Ambisi dan Kecemasan Kaum Tua

Judul : Kicking & Screaming
Pemain : Will Ferrell, Robert Duvall, Kate Walsh, Mike Ditka, Musetta Vander
Sutradara : Jesse Dylan
Durasi : 1.30 menit
Produksi : Universal Picture
Katagori : Komedi

[ Rubrik Film Suara Merdeka CyberNews ]

Keinginan orang tua agar anaknya menjadi seperti yang dikehendakinya belum tentu sejalan dengan kemauan sang anak. Seorang anak yang baik tentu ingin menyenangkan orang tua. Namun bila tak ada kemauan, maka justru akan menjadi beban bagi si anak.

Seperti yang dialami oleh Phil Weston, yang menjadi anak kandung dan sekaligus anak asuh dari seorang pelatih sepakbola liga anak-anak ternama dalam film Kicking & Screaming. Obsesi Buck, demikian nama sang ayah, agar anaknya menjadi pemain bola yang handal tak kesampaian. Putra semata wayangnya itu kerap kali mengecewakan.

Phil menjadi pesakitan karena tak bisa mewujudkan keinginan ayahnya. Ia sadar bahwa dirinya memang tak punya bakat dalam olahraga. Kendati ia telah berusaha, hasilnya tetap tak memuaskan.

Ketika Phil mengakhiri masa lajangnya, Ayahnya pun seperti tak mau kalah, ia kembali menikah di usia senjanya. Dibalik itu, tujuan yang sebenarnya, Buck ingin punya keturunan yang bisa mewujudkan obsesinya, yakni bisa menjadi pemain bola yang tangguh bagi tim asuhannya.

Menonton film ini kita akan menyaksikan adegan-adegan yang menggelikan. Bagaimana istri sang ayah dan anak itu melahirkan anak secara bersamaan. Selain itu, ekspresi Phil Weston yang diperankan oleh Will Ferrell, tampil dengan sosok yang polos. Kebegoannya ini sudah menjadi kelucuan tersendiri.

Akhirnya keinginan Buck terwujud. Adik Phil yang juga sekaligus menjadi paman bagi anaknya menjadi ujung tombak bagi tim asuhannya. Sebaliknya, anak Phil, cucu Buck, ditempatkan pada pemain cadangan. Phil tak terima atas kenyataan itu. Ia kemudian bertekad menjadi pelatih bagi tim anaknya untuk mengalahkan tim asuhan ayahnya.

Phil merekrut Mike Ditka, musuh bebuyutan sang ayah, yang juga tetangganya, sebagai asisten pelatih bagi tim baru anaknya. Ia harus berusaha ekstra karena tim yang diasuhnya sekarang berada di urutan bawah dalam klasemen liga sepakbola anak-anak. Dari pergaulan dengan Dikta itu, Phill yang semula tak pernah minum Kopi menjadi kecanduan. Sehari saja ia tak bisa melewatkan untuk tidak minum kopi.

Harapan untuk mengalahkan tim ayahnya semakin menjadi-jadi. Mereka bertaruh, sang ayah akan memberikan bola Pele bersejarahnya jika tim anaknya itu mampu mengalahkan timnya.

Penonton dibawa emosi ketika Phil berlaku aneh. Dengan mengenakan seragam pelatih yang ia jahit sendiri itu, ia menjadi berlaku seperti orang tidak waras. Yang ada dibenaknya, timnya harus mengalahkan tim ayahnya itu. Beruntung dia punya dua pemain Italia, yang dipinjam dari pedagang daging kenalan Dikta. Tapi karena tekanan Phil, anak asuhnya menjadi ketakutan. Mike Dikta, pun tak membantunya lagi setelah keduanya terlibat bentrok.

Ketegangan benar-benar berada dipuncak ketika Phil teriak-teriak di pinggir lapangan, bahkan ia mengintimidasi pemain tim ayahnya sampai kemudian diperingatkan oleh wasit. Ia benar-benar menjadi kegilaan berlari-lari di pinggir lapangan. Ia juga memarahi anak asuhnya. Akibatnya, mereka menjadi ketakutan, dan tak bisa tampil maksimal.

Ditengah jeda permainan, tiba-tiba saja Phil menyadari kesalahannya. Ia menemui anaknya yang selama ini ia tempatkan di bangku pemain cadangan. Ia bisa merasakan betapa sakitnya waktu itu ketika ayahnya juga melakukan hal yang sama.

Kejengkelan penonton seperti terobati ketika Phil kembali sadar. Menjelang babak kedua itu, Phil memberikan pengarahan yang bisa membangkitkan kembali moral para anak asuhnya. Ia menyadari bahwa selama ini dirinya terlalu menekan. Ia minta anak-anak asuhnya itu bermain tanpa beban tak usah dibebani untuk kemenangan. Yang penting kalian main yang baik. Seketika itu juga ia berubah menjadi sosok yang amat bijaksana.

Diakhir cerita, Tiger, tim asuhannya, mampu menundukkan tim ayahnya. Yang menjadi pencetak gol terakhir, gol penentu menjelang menit-menit terakhir pertandingan itu tak lain adalah anaknya sendiri. Sang kakek kini harus mengakui kehebatan cucunya. Begitu pula Buck pun harus mengakui kehebatan anaknya, yang selama ini selalu dikalahkannya. Namun Phil berubah pikiran, ia menolak menerima bola Pele yang telah dijanjikan sebagai taruhan.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment