26 December 2005

Memutus Rantai Pelanggaran HAM

Refleksi memperingati hari HAM


Korban Semanggi I.
Aparat keamanan cuci tangan.



Peristiwa pelanggaran HAM berulangkali terjadi di Indonesia, negara yang konon menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Sederet kasus seperti G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung, sampai kasus Trisakti, Semnaggi I dan II, tak kunjung terselesaikan.

Siapa otak pelaku dibalik tindakan biadab tersebut? Benarkah PKI membantai para pemuka agama, benarkah PKI bersama para gerwani yang dituduh tak bermoral itu yang menganiaya para jenderal? Ataukah itu hanya permainan politik saja yang ujung-ujungnya perebutan kursi kekuasaan, bukan perang ideologi antara golongan agamis, komunis, dan nasionalis?

Ketika rezim Orde Baru berkuasa kebenaran menjadi monopoli penguasa. Orde baru pandai sekali memutarbalikan fakta. Begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar beredar terbit kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Keduanya milik militer. Dengan begitu berita dikendalikan oleh pemerintah.

Sungguh ironis, negara dengan institusi pemerintah melakuan pembantaian terhadap warganya sendiri. Kejahatan seputar 65 saja menuru Robert Cribb (1990:12) telah memakan korban antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.950 orang. Rezim Hitler bahkan tak sekejam ini, melakukan pembantaian ribuan manusia dalam waktu sekejap.

Pasca peristiwa 65 tersebut para korban yang selamat masih dikucilkan. Haknya sebagai warga negara dikurangi. Dari orang tua sampai anak-cucu mendapat perlakuan diskriminasi. Di antaranya tak bolehkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Selanjutnya tragedi Trisakti yang kemudian disusul oleh tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding akan menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari peinggi militer. Tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa, seperti yang ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.

Ganjaran apa yang diberikan kepada para pelaku kasus pelanggaran berat HAM tersebut? Soeharto bersama kroninya dibiarkan bebas berkeliaran. Para petinggi militer yang terlibat di balik pembantaian massal tersebut nyaris tak terjerat oleh hukum. Mereka dilepaskan begitu saja seolah-olah dimaafkan setelah membantai puluhan bahkan ribuan nyawa tak berdosa.

Masalah lama belum tertuntaskan, muncul lagi masalah baru. Aktivis pejuang HAM, Munir, meninggal diracun saat sedang melakukan perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam. Entah siapa yang sengaja menaruh serbuk mematikan itu di minuman atau dihidangannya, bagaimana pula prosenya, pemerintah belum mampu mengusut konspirasi dibalik pembunuhan Munir tersebut hingga tuntas.

Muncul pertanyaan, bagaimana kinerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) selama ini?

Berhentikh kasus Munir dengan terjeratnya Pollycarpus dengan tuntutan 14 tahun penjara (Kompas, 22/12/2005), padahal sebelumnya ia dituntut hukuman penjara seumur hidup. Anehnya lagi, terdakwa masih keberatan.

Bukankah ada mangsa yang lebih besar dari sekedar Pollycarpus, karena bisa jadi ia hanya pelaku teknis di lapangan? Ada aktor intelektual yang menjadi dalang dibalik kasus pembunuhan Munir. Ia pula yang tentu memiliki kepentingan atas kematian aktivis HAM ini.

DEMONSTRASI MAHASISWA MEI 1998.
Reformasi tidak berjalan.




Yang amat mendesak adalah mengusut siapa yang sebenarnya ada di belakang kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Bila langkah ini tidak segera dilakukan maka kasus-kasus serupa akan terus berlanjut bahkan lebih parah lagi. Termasuk kasus-kasus terdahulu juga harus dituntaskan. Mungkin tindakan tersebut telah dilupakan oleh para pelakunya, tapi tidak demikian bagi para warga yang menjadi korban.

Sungguh berat negara ini memikul kesalahan-kesalahan para penguasa. Setiap penguasa manabung masalah. Panennya sekarang sudah bisa dirasakan. Beberapa daerah menuntut kemerdekaan. Acheh, Maluku, Papua, menginginkan memisahkan diri dari NKRI. Di daerah konflik ini telah ribuan nyawa melayang. Berapa nyawa melayang selama pemberlakuan DOM di Acheh terkait dengan aksi tuntutan GAM, pertikaian antar etnis di Sampit, dan juga yang lain-lainnya?

Apa masalahnya? Pemerintah pusat diduga tidak adil dalam pemerataan pembangunan. Daerah merasa hanya dieksploitasi sementara hasilnya tak pernah dirasakan.

SBY tentu sadar akan permasalahan di atas ketika dia berani mencalonkan diri sebagai presiden. SBY bersama jajaran pemerintahannya harus segera memberesan PR pelanggaran HAM turun-temurun tersebut untuk memutus matarantai dendam. Bagaimanapun keadilan harus ditegakkan. Tak bijak bila para pelaku pelanggaran HAM dibiarkan sementara para korban tak pernah kembali mendapat haknya yang telah dirampas.

Pada kesempatan peringatan hari HAM yang bertepatan pada 10 Desember, mari kita jadikan momen ini sebagai refleksi bersama. Sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang beragama, sudahkan kita menghormati nilai-nilai kemanusiaan, sudahkan pelanggaran HAM ditegakkan?

Bukankah setiap agama atau kepercayaan mengajarkan perdamaian, kasih sayang pada sesama? Tak ada satu agama atau kepercayaan apapun yang menghalalkan seseorang menganiaya orang lain.

Mengutip ucapan orang bijak “keadilan dimulai sejak lahir…” maka kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini harus diusut hingga keakar-akarnya agar tidak muncul kasus serupa dikemudian hari.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment