Sebuah pengakuan keluarga korban NII
Tubuh Evi lemas seketika mendengar ucapan Gonggo. Evi tak habis pikir, pengorbanan yang dilakukan selama ini dibalas dengan perlakuan yang tak semestinya dia terima. Perlakuan kasar seorang adik kepada kakak, setelah sang kakak mati-matian mengusahakan uang pinjaman sampai kuliah pun menjadi berantakan.
"Sudah baca SMS-ku," tanya Evi kepada Gonggo yang duduk berhadapan di satu meja di sebuah kantin di salah satu fakultas di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Gubraaaaakkk!!!... Tangan Gonggo menggebrak meja. Dia berdiri dari tempat duduknya. Matanya melotot. "Anda salah datang ke Jogja. Kita tertawa pas waktu baca SMS anda," jawabnya lantang dengan mengacung-acungkan jari telunjuk ke arah muka Evi.
Dari ucapannya itu, menurut Evi sepertinya Gonggo sudah tak menganggap lagi Evi sebagai kakaknya. Dia menyebut "Evi" dengan "Anda". Yang membuat Evi penasaran adalah kata 'Kita',"...Kita Tertawa," kata Gonggo kepada Evi. Siapa Kita itu, dia dan siapa?
"Saat itu, aku hanya diam saja. Mie yang sudah dipesan nggak aku makan. Nggak nafsu lagi," kenang Evi.
****
Drama perseteruan kakak dan adik ini dimulai sejak pertengahan 2006, sekitar satu tahun silam. Suatu hari Gonggo datang ke Semarang untuk menemui Evi. Waktu itu Gonggo masih berstatus sebagai mahasiswa semester III di Fakultas Kehutanan UGM. Gonggo datang dengan muka memelas. Dia mengaku habis menghilangkan kamera milik temannya yang harganya mencapai 5 jutaan. Ia berbicara sambil menitikan air mata. Evi percaya. Dia kasihan melihat adiknya.
Kepada Gonggo Evi bilang akan membantu meminjamkan uang. Jawabannya ini diberikan untuk menyenangkan sang adik. Padahal saat itu Evi tak mempunyai cukup uang sejumlah yang dibutuhkan Gonggo. Evi akan menyanggupinya, entah ke mana dia akan mencari pinjaman, saat itu belum terpikirkan.
Belum lunas Evi membayar cicilan utang, Gonggo datang lagi dengan keinginan yang sama: butuh uang. Kali ini untuk biaya reparasi motor temannya. Ia baru saja kecelakaan dengan mengendarai motor milik teman. Beruntung dia tidak mengalami luka serius. Untuk yang kedua kalinya, Evi tak bisa mengelak. Di matanya Gonggo adalah seorang adik yang baik. Dia juga penurut.
Namun kebiasaan meminjam uang makin kerap dilakukan Gonggo. Dan yang menjadi tumpuan adalah sang Kakak. Barangkali Gonggo sungkan jika harus berurusan dengan bapak-ibunya. Evi mulai menaruh curiga. Ada yang tak beres dengan adiknya. Dia kerap pinjam uang. Dia juga sering bilang sedang ada di Semarang. Untuk apa, bagaimana dengan kuliahnya di Yogya, apa dia nggak kuliah?
Tak selang lama, keluarga Evi di kampungnya di sebuah desa di Kecamatan Juwono, Pati, Jawa Tengah mengeluh karena Gonggo sudah lama tak pulang ke rumah. Padahal saat itu kuliah sedang libur habis ujian semester. Kepada orang tuanya Gonggo mengaku tidak bisa pulang ke rumah karena dia mengikuti semester pendek. Kecemasan orang tua makin menjadi karena belakangan nomor handphone anaknya itu tak bisa dihubungi lagi.
Menurut Evi, adiknya itu sering menggunakan nomor-nomor yang berbeda untuk mengirim SMS kepadanya. Evi juga mulai kesulitan kemana harus menghubungi sang adik.
Dari hasil informasi yang dilacak oleh paman Evi yang berada di Jogja, diketahui Gonggo tidak mengikuti semester pendek. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Gonggo telah absen satu semester. Bagian akademik menerangkan Gonggo mangkir. Mendapati informasi ini, sang paman langsung pulang menemui orang tua Gonggo di kampungnya di Pati. Keluarga sangat terkejut. Evi yang berada di Semarang dikontak. Saat itu juga Evi pulang. Esoknya mereka kemudian ke Jogja.
Sesampainya di Jogja, mereka langsung menuju ke Fakultas Kehutanan di mana Gonggo kuliah. Bersama orang tuanya, Evi menuju ke PKM (Pusat Kegiatan Mahasiwa) di fakultas itu. Mereka ditemui oleh pengurus BEM. Evi menyampaikan maksud kedatangannya. Dari pengurus BEM itu diketahui jika adik Evi ada kemungkinan terlibat gerakan NII (Negara Islam Indonesia). Menurut pengurus BEM, sudah ada tiga korban di fakultas itu.
Kemudian mereka menemui bagian akademik, memastikan status Gonggo. Ternyata memang benar, Gonggo sudah mangkir satu semester. Pihak orang tua memohon pengertian pihak kampus agar tidak memberikan skorsing kepada Gonggo. Mereka bahkan sampai menemui pihak rektorat. Mereka menyampaikan jika Gonggo ada kemungkinan menjadi korban NII. Mereka mengusulkan untuk melaporkannya ke pihak kepolisian. Namun usul ini ditolak oleh UGM. Rektorat kuatir dengan dilaporkannya ke kepolisian nanti akan diekspos oleh media, dan nama UGM bisa tercemar. Mereka memilih orang tua Gonggo bisa menyelesaikan secara kekeluargaan. Rektorat akan memberikan kesempatan Gonggo untuk kuliah kembali. Status mangkirnya akan dihitung cuti.
Jawaban pihak rektorat UGM yang memberikan kesempatan kepada Gonggo untuk dapat kuliah kembali memang cukup bijak. Namun penolakan usulan pihak orang tua Gonggo yang ingin melaporkan NII ke kepolisian, jelas sangat egois. Bagaimana tidak, yang dipikirkan adalah nama baik, bukan nasib sivitas akademiknya!
Setelah itu, mereka segera mencari Gonggo dan akhirnya bisa bertemu. Mereka bertemu di kantin kampus. Kepada bapak dan ibunya Gonggo membantah dirinya tidak terlibat dengan NII. Padahal sang bapak mengancam akan melaporkannya ke kepolisian. Tapi dijawab dengan enteng oleh Gonggo. "Kalau nggak percaya, ya sudah!"
Evi mencoba berbicara empat-mata dengan adiknya. Tapi ia mendapati jawaban yang sungguh sangat tidak dia perkirakan sebelumnya.
"Aku nggak habis pikir dia tega banget melakukan itu semua. Aku sudah mati-matian cari hutangan, kuliah kutinggal untuk menutup hutang, itu semuanya demi dia, kok dia membalasnya seperti itu. Ternyata selama ini dia bohong..." tutur Evi kepada saya belum lama ini di kompleks PKM Fakultas Sastra Undip.
Evi adalah mahasiswa D III Inggris angkatan 2003. Saat ini berarti dia sudah semester
ke-10. Padahal batas waktu maksimal untuk mahasiswa D III adalah 10 semester. Beruntung dia masih punya sisa satu semester karena sebelumnya dia pernah cuti kuliah.
"Aku sudah capek mengurusi adiku. Saat ini aku harus menyelesaikan kuliah sambil bekerja untuk membayar hutang," ucapnya. Tampak senyum kecut di wajahnya yang dibalut jilbab.
Apakah orang tua Evi mengetahui apa saja yang sudah dilakukan untuk sang adik?
"Aku sengaja tak memberitahu orang tua. Nanti mereka bisa syok," jawabnya.
Ya, mereka akan syok bahwa ternyata Gonggo sudah melakukan sejauh itu. Bukan malah membela Evi yang kini kesusahan, mereka malah bisa menyalahkannya karena meminjami uang untuk adiknya. Dan yang parah, si bapak akan kembali mengungkit-ungkit masalah lama. Si bapak ini rupanya punya dendam dengan Islam. Ia ingin sekali anak-anaknya memeluk kepercayaan yang dia anut, kepercayaan "kejawen".
Hari sudah sore. Di ruangan tempat kami ngobrol cukup panas. Sepertinya Evi mulai kelelahan setelah bercerita beberapa jam lamanya. Sesekali ia menyeka butiran-butiran keringat yang bercucuran di wajahnya. Sepertinya ia benar-benar lelah, lelah memikirkan jalan keluar untuk mengatasi masalah yang menimpa adiknya. Saya meminjami sebuah buku berjudul "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi pelacur!" karya Muhidin M Dahlan, sebuah novel yang mengisahkan pengakuan salah seorang muslimah yang menjadi korban NII. Saya juga menjanjikan akan memberinya beberapa berita yang saya kliping. Saya kira dia perlu banyak informasi tentang NII. Besok, pada jam yang sama, kami akan bertemu lagi.
Silakan baca tulisan terkait:
- http://hanyaudin.blogspot.com/2007/04/negara-islam-yang-meresahkan.html
- http://hanyaudin.blogspot.com/2007/05/mem-polisi-kan-gerakan-nii-kw9.html
salam kenal dari malaysia...
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletesalam kenal juga dari saya di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. saya sudah beberapa kali main ke blog anda, saya salut atas ketekunan anda menyediakan informasi-informasi seputar Islam dan aliran-aliran yang menyesatkan. terima kasih anda sudah menyempatkan berkunjunjung ke blog saya.
ReplyDeleteBuat temen2 UGM yang sedang atau pernah terpengaruh Aliran Islam sesat NII NKA KW 9 MA'HAD AL ZAYTUN.
ReplyDeleteBisa berkonsultasi menghilangkan pengaruh atau trauma tersebut pada Rohis masing2 Jurusan atau Fakultas. Bisa juga ke Pengurus Jama'ah Shalahuddin di Masjid Kampus UGM, atau pengurus Ta'mir Masjid Mardliyah deket RS. Sarjdito dan Pengurus Pusat Masjid Syuhada. Bisa juga ke Sekretariat Cabang/Ranting Partai Keadilan Sejahtera, devisi humas dan kepemudaan punya program sangat peduli pada Korban NII NKA KW 9 Al Zaytun.
Atau kontak saya di bahtiar@gmail.com dan 08132 8484 289
Terima kasih, semoga membantu
memang biasanya proses perekrutan anggota untuk organisasi2 bawah tanah (baik kiri maupun kanan) seperti itu...sebaiknya laporkan saja ke Polisi,jangan pedulikan dengan rektorat yang pengecut itu..salam.
ReplyDeleteheran juga UGM dari dulu seperti mengabaikan masalah ini. padahal dari sebelum reformasi masalah ini sudah jadi masalah yang cukup serius. rasanya memang perlu tulisan yang lebih banyak dan intens mengenai NII dan tetek bengeknya. sebab setahu saya, kurangnya respon disebabkan karena kebanyakan mereka yang tidak peduli adalah karena tidak adanya informasi yang cukup. dan untuk itu, saya ikut berterima kasih atas tulisan anda.
ReplyDeleteTabik!
ugm emang majemuk banget komunitasnya.dari majemuk itu pasti ada yang menyimpang.
ReplyDeletejadi, Din, kapan kau mau tengok Jogja?
neng, senin-selasa kemarin aku di jogja. main ke UGM. sebenarnya ingin sekali beberapa temen di Jogja. salah satu yang paling kuingat adalah kamu. tapi aku diburu waktu. banyak orang yang harus kutemui. banyak sekali dalam waktu yang singkat. aku nginep di Ekspresi UNY. tapi ga ketemu mas Zen Rahmat Sugito. Malam itu dia sakit. Katrok banget dia. Malam besoknya aku harus pulang. Aku dari jogja pukul 23.30. Tiba di Semarang jam 2 an. Sempat mampir di alun2 magelang. Duingin banget. Ada ciblek lagi mangkal. kaburr...
ReplyDeleteHehehe, ada ciblek terus kamu kabur... atau kamu ada di situ terus ciblek nya kabur?? Atau dua-duanya benhaaarrr...?
ReplyDelete*gil
mas udin, aliran kayak gitu, kenapa bisa tetep subur hayo?
ReplyDelete