SUATU ketika Aulia A Muhammad mengirim sepenggal puisi ke blog (situs internet pribadi-Red) seorang penyair lumayan ternama. Kepadanya dia meminta komentar atau penilaian atas puisi itu. Tak seberapa lama, sang penyair pun memberi jawaban. Puisi kiriman Aulia dikritik habis, dikatakan jelek dan belum mencapai kedalaman makna.
Rupa-rupanya, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Cybernews itu tengah iseng. Puisi yang dia kirim bukan miliknya melainkan karya Goenawan Muhammad. Setelah hal itu diutarakan, sang penyair kaget bukan kepalang. Dia buru-buru meminta maaf dan berharap proses dialog mereka dilupakan.
Aulia mengisahkan pengalaman tersebut dalam diskusi "Mengukir Dunia dengan Sastra, Membaca Geliat Penyair Muda" di Ruang E 103 Fakultas Sastra Undip, Sabtu (28/4).
Dengan kisah itu, dia hendak mengatakan bahwa tafsir seseorang terhadap puisi amat dipengaruhi oleh praduga. Orang kerap terbayangi oleh merek dan nama.
Nilai puisi seolah linear dengan popularitas penciptanya. Labelisasi penyair semacam itu menyesatkan cara pandang seseorang terhadap puisi. Semestinya, kata dia, puisi harus disikapi dari teks semata.
Dalam diskusi yang dipandu Muhammad Sulhanudin itu, Aulia melakukan uji coba serupa. Dia cantumkan penggalan puisi dari beberapa penyair dan meminta hadirin memberi penilaian.
Seperti Aulia, An Ismanto juga menolak polaritas tua-muda dalam sastra berbasis usia. Parameter tua muda semestinya dilihat dari teks yang dihasilkannya.
Regenerasi
Penyair asal Yogyakarta itu lantas mencontohkan Iman Budi Santosa. Meski usianya tak lagi muda, teks-teks Iman mempunyai semangat dan daya hidup luar biasa.
"Itulah penyair muda sebenar-benarnya. Polemik soal penyair muda dan penyair tua tidak signifikan bagi puisi karena setiap penyair pada hakikatnya senantiasa muda," kata Ismanto.
Diskusi yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) Undip dalam rangka "Peringatan Chairil Anwar 2007" itu memang menyoal seputar generasi dalam kesusastraan Indonesia. Adin, pegiat Komunitas Sastra Hysteria, memapar contoh kegagalan regenerasi kepenyairan di Semarang. Menurutnya, setelah S Prasetyo Utomo dan Triyanto Triwikromo, kota ini tak lagi melahirkan penyair baru yang berkualitas setara.
Kondisi itu, kata Adin, terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya matinya tradisi komunitas, ketiadaan pamomong, kemandulan dewan kesenian, dan ketidakberpihakan media massa.
Untuk memunculkan kembali Semarang dalam peta kesusastraan Indonesia, para penyair muda harus berdaya upaya melakukan ikhtiar swadaya.
Sementara Ridho Al Qodri, aktivis Buletin Sastra Pawon Surakarta, membedah kecenderungan puisi penyair muda. Menurutnya, puisi-puisi mereka masih berupa penggambaran subjektivitas individual.
[catatan: tulisan ini adalah liputan hasil diskusi "Membaca Geliat Penyair Muda" yang ditulis oleh Rukardi, wartawan Suara Merdeka. Saya menulis laporan yang lebih detil yang akan dimuat di blog ini, menyusul.....]
mestinya sang pembahas puisi itu ya gak usah minta maaf. kalau puisi goenawan mohamad itu memang jelek kenapa harus dikatakan bagus? tidak semua puisi goenawan bagus, bukan?
ReplyDeletebetul, bung. untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, entah itu puisi, sebaiknya memang harus berani untuk menanggalkan siapa pengarangnya.biar lebih fair,termasuk harus berani mengakui karya penyair yang masih pemula sebagai sebuah puisi yang bagus, jika memang demikian. namun keberanian untuk mengatakan bahwa puisi milik mereka yang sudah terlanjur punya nama itu jelek,misalnya,tak banyak dimiliki orang, termasuk kritikus sastra sendiri.
ReplyDelete