Judul di atas mengingatkan saya pada OSPEK yang diselenggarakan di fakultas kami beberapa tahun lalu. Kegiatan dikemas dengan diskusi dan permainan. Acara berjalan lancar, tak ada korban. Setiap peserta terlihat riang.
Seluruh mahasiswa baru mengenakan pakaian serba putih. Seperti tampak pada topi dari besek yang dililiti rafia berwarna putih, sampai kaos kaki dan sepatu yang juga berwarna serupa. Mereka tampak ceria menirukan yel-yel dari para seniornya di sela-sela permainan. "Melawan tanpa kekerasan!". "yes…yess…!" sahut para mahasiswa baru dengan kompak dan girang.
Rindu rasanya mengingat masa-masa seperti itu. Kedatangan mahasiswa baru disambut dengan meriah. Mereka dikenalkan dengan lingkungan baru yang akan digelutinya selama kuliah. Ini penting, karena menjadi mahasiswa berbeda dengan anak sekolahan. Mahasiswa memiliki tanggungjawab lebih karena mereka harus mampu menjadi agen perubah sosial (agent of social change). Oleh karenanya, mental dan intelektual harus dipersiapkan sejak dini, salah satunya dari kegiatan seperti Ospek.
Namun, pemandangan seperti itu rupanya tak akan bisa dijumpai lagi. Pasalnya, hampir seluruh perguruan tinggi telah melarangnya. Ospek dituding sebagai ajang kekerasan dari mahasiswa senior kepada mahasiswa baru. Sebagian pihak menilai kegiatan itu lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya. Maka tak aneh bila Undip, mulai tahuan ajaran 2003/2004 menghapus Ospek dan menggantinya dengan Pekik (Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus).
Sikap Undip tersebut bisa dimengerti. Tragedi meninggalnya Cecilia Puji Rahayu, mahasiswa baru Fakultas Peternakan angkatan 2002, telah membuktikan gagalnya pelaksanaan ospek. Semua pihak menjadi trauma akan terulangnya kembali peristiwa tragis itu.
Namun, apakah dengan perubahan Ospek menjadi Pekik akan membawa dampak yang signifikan bahwa kekerasan tak akan terulang lagi dalam kegiatan pengenalan kehidupan kampus. Dan yang tak kalah penting, apakah dengan konsep Pekik ini akan lebih efektif untuk mengenalkan mahasiswa baru pada kehidupan kampus? Pertanyaan ini yang seharusnya menjadi pertimbangan perguruan tinggi menghapus Ospek, bukan hanya phobia yang menganggap Ospek identik dengan kekerasan.
Semua tentu mafhum bila Ospek sejatinya memiliki tujuan yang mulia yakni mengenalkan mahasiswa baru dengan dunia kampus. Hanya saja, memang tak dapat dipungkiri, sering terjadi penyelewengan dalam prakteknya. Tapi, apakah lantas Ospek harus dihilangkan?
Suatu tindakan yang bertujuan baik bukan berarti tidak rawan penyimpangan. Sama halnya dengan Ospek. Ibarat pepatah, buanglah isi tanpa harus membuang wadahnya. Penyelewengan Ospek harus disikapi dengan sanksi yang tegas, tanpa harus membunuh niat baik ospek itu sendiri.
Apa yang terjadi setelah Ospek dihilangkan? Banyak aktivis kampus memprihatinkan kondisi mahasiswa akhir-akhir ini. Mahasiswa sekarang cenderung apatis terhadap kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Dunia kampus tak ubahnya dunia anak sekolahan: kuliah, langsung pulang. Akibatnya, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus terlihat sepi.
Padahal, kegiatan itulah yang menjadi denyut nadi kehidupan kampus. Iklim seperti itu yang menjadi ciri dan tradisi kehidupan intelektual kampus yang kritis. Alasan yang sangat mendasar, karena mahasiswa tak cukup hanya kuliah. Banyak ilmu yang masih bisa digali dari luar ruang kuliah. Salah satunya adalah dengan melibatkan diri dalam kegiatan kemahasiswaan.
Para aktivis kampus menduga penyebabnya karena tak adanya lagi Ospek. Pekik, yang merupakan wajah baru Ospek, tak banyak memberikan kontribusi untuk mengenalkan mahasiswa baru pada dunia kampus. Sebaliknya, Pekik malah membuat mahasiswa jauh dari kegiatan intelektual di kampus.
Kelemahan dari sistem baru tersebut adalah minimnya mahasiswa lama dilibatkan dalam pelaksanaan pengenalan kehidupan kampus. Kegiatan diisi dengan materi ceramah dari dosen. Dari pagi hingga sore, mahasiswa baru hanya duduk dan mendengarkan ceramah yang melulu disampaikan di dalam ruangan. Akibatnya, kegiatan pengenalan kampus menjadi membosankan. Lantas, apa yang didapat oleh mahasiswa baru dari kegiatan yang mereka ikuti karena terpaksa?
Barangkali keadaan seperti itulah yang dikehendaki oleh para orang tua, para birokrat kampus, agar mahasiswa mereka menjadi anak manis, yang rajin kuliah dan patuh pada dosen. Dengan begitu mereka tak akan lagi menentang ketika biaya pendidikan dinaikkan, dosen-dosen mengajar seenaknya, kurikulum pengajaran tak jelas arahnya, sampai-sampai tak sadar bila mereka sedang dijadikan mesin penghasil uang.
Benar kata Soe Hok Gie, hanya ada dua pilihan menjadi mahasiswa: apatis atau idealis. Rupanya mahasiswa sekarang lebih memilih yang pertama. Ini tentu kabar yang kurang menyenangkan. Oleh karena itu, kita harus melawan sistem yang merugikan ini. Menghapus kekerasan tak harus dengan kekerasan. Apalagi harus mengubur tujuan yang sebenarnya mulia. Orang tua tidak selalu benar. Mari melawan tanpa kekerasan!
*Dipublikasikan di Suara Merdeka, 25 Agustus 2005.
No comments:
Post a Comment