17 July 2005

Ironi Dibalik Tuntutan Kenaikan Tunjangan DPR

Tak habis pikir, belum selesai penderitaan rakyat, baru-baru ini anggota DPR diberitakan menuntut kenaikan tunjangan sebagai pejabat negara. Sementara itu, PNS yang juga merupakan pejabat negara akan mendapatkan gaji ke-13.

Oleh Muhamad Sulhanudin


Besar tuntutan kenaikan yang diajukan pun tak tanggung-tanggung. Untuk ketua DPR, besar kenaikan mencapai 104 persen, wakil ketua sebesar 89,5 persen, dan anggota sebesar 82,8 persen. Bila usul tersebut disepakati, mengutip artikel Riswanda Imawan, guru besar Fisipol UGM (Jawa Pos, 9/7/2005), setiap hari upah ketua DPR Rp 2,17 juta, wakil ketua 1,7 juta dan anggota Rp 1,26 juta.

Bila alasannya karena gaji yang diterima selama ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sebagai wakil rakyat dan menghidupi kedua anaknya, lantas bagaimana dengan rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan yang untuk keperluan makan tiap hari saja masih susah.

Bukankah upah mereka sudah lebih dari cukup. Toh semua keperluan mereka sebagai pejabat negara juga sudah diganti dengan uang negara. Dari mana uang negara itu kalau bukan dari rakyat. Lalu kenapa mereka masih merasa kurang?

Rupanya tren gaya hidup ala selebriti memang sedang marak di kalangan pejabat. Jabatan dan kedudukan hanya sebagai kedok untuk menunjang gaya hidupnya yang glamor. Sehingga meski gaji sudah puluhan juta masih dianggap kurang. Lantas para wakil rakyat itu menuntut perlu tambahan tunjangan untuk biaya perjalanan kunjungan ke daerah. Yang lebih tega lagi, ada yang mengatakan untuk menyetor dana ke parpol-nya.

Seharusnya para wakil rakyat kita melihat kondisi rakyatnya bukan hanya mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Karena ketika mereka tampil sebagai wakil rakyat, praktis mereka sudah menjadi wakil seluruh rakyat Indonesia bukan lagi milik satu golongan maupun parpol.

Cobalah para wakil rakyat itu menengok para korban penderita busung lapar di NTB, di Papua dan daerah lainnya yang barangkali belum terekspos oleh media. Atau coba sekali-kali menyempatkan duduk bersama rakyat kecil yang berjualan di pinggir-pinggir jalan atau mereka yang masih tinggal di bawah kolong-kolong jembatan. Dengarkan keluhan mereka, kemudian ditindaklanjuti. Bila hal ini dilakukan, tentu akan membuat rakyat kecil senang karena setidaknya mereka merasa punya wakil-wakil rakyat yang mau mendengar aspirasi mereka.

Namun sampai saat ini wakil rakyat kita memang belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Prototipe bahwa wakil rakyat adalah pembela kepentingan rakyat hanya berlaku saat kampanye menjelang Pemilu. Setelah mereka berhasil mendapatkan tujuan kekuasaannya, para wakil rakyat itu melupakan rakyatnya.

Rakyat yang sudah miskin, cari pekerjaan susah, masih disuruh menyetor pajak. Pedagang kecil yang mau mengais rezeki di pinggir jalan dibubarkan gara-gara tidak memakai lisensi. Apa yang bisa dilakukan oleh para wakil rakyat itu?

Mereka tak membela rakyatnya yang terus-menerus ditindas oleh sistem para penguasa. Alih-alih mereka malah memeras rakyatnya. Padahal gaji para wakil rakyat itu juga disetor dari uang hasil keringat rakyat. Mereka lupa bahwa yang mengantarkan dirinya bisa menjadi seperti sekarang ini juga karena rakyat.

Entah sandiwara apalagi, di tengah kelangkaan BBM di seantero nusantara menyusul instruksi penghematan energi dari pemerintah, saat ini wakil rakyat kita justru malah meminta kenaikan tunjangan. Ironis sekali, di satu pihak rakyat diminta berhemat, di lain pihak wakil rakyat malah berfoya-foya.

Akan lebih berguna bila alokasi dana tunjangan para pejabat negara itu disumbangkan untuk membantu rakyat kecil yang lebih membutuhkan bantuan. Sungguh memalukan melihat kenyataan bahwa banyak anak Indonesia yang menderita kelaparan. Dan tak bisa ditutup-tutupi lagi bahwa eksplorasi terhadap tenaga kerja dibawah umur juga masih ditemukan di mana-mana.

Seharusnya persoalan ini yang lebih diperhatikan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR maupun MPR mengingat anak-anak itu adalah masa depan bangsa. Bila mereka tak diperhatikan, maka negeri ini tak lama lagi akan menemui kehancurannya. Oleh karena itu, sebelum bencana itu terjadi, sudah seharusya anak-anak bangsa itu mendapatkan perhatian dan pendidikan yang layak.

Andaikata permintaan kenaikan tunjangan DPR itu dikabulkan, betapa menderitanya rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, rakyat yang sudah miskin, menderita busung lapar akibat gizi buruk, belum lagi ditambah BBM dan pendidikan yang mahal, sementara para wakil rakyat bisa hidup mewah. Rakyat yang sudah miskin bertambah susah.****

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment