12 April 2007

Nafsu Terakhir: Teror Syahwat dan Kearifan Tasawuf Jawa

Judul : Nafsu Terakhir
Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit: Galang Press
Cetakan : Kedua, 2007
Tebal : 190 halaman

Ini adalah jilid ke sembilan dari kedua belas jilid Serat Centini yang sangat mashur itu. Hampir seluruh isinya bercerita tentang syahwat. Tapi ia terselamatkan oleh keluhuran tembang yang sarat muatan ajaran tauhid dan tasawuf. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur kearifan jawa yang bijaksana. Meski kerap kali tak teralakkan dibawa ke kubangan nafsu syahwati yang liar, mewarnai pengembaraan Amongraga yang suci untuk mencapai kehadiranNya.

Nafsu Terakhir diadaptasi oleh Elizabeth D. Inandiak. Centini disusun atas perintah putra mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat untuk menyusun kembali sebuah cerita kuno dalam bentuk tembang yang menyarikan segala ngelmu Jawa. Tembang ini disusun dalam bahasa Jawa, dengan syair yang luar biasa indah. Syair yang mahadahsyat itu diberinama Suluk Tembangraras, tapi orang lebih mengenalnya dengan nama Serat Centini. Untuk melaksanakan misi ini, diutuslah tiga pujangga keraton: Sastranegara (Yasadipura II atau Ranggawarsita I), Ranggasutrasna dan Sastradipura.

Ranggasutrasna diberi tugas menjelajahi Jawa bagian Timur untuk mengecek keadaan dan menghimpun pengetahuan. Sastradipura mendapat tugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama islam. Sedang Sastranegara mendapat tugas menjelajahi Jawa Barat sekaligus menghimpun pengetahuan lahir bathin.

Ranggasutrasna yang pulang terlebih dulu, segara memulai pekerjaannya. Hasil karyanya menjadi 4 jilid, berisi 321 buah lagu, menceritakan sejarah Giri hingga keruntuhannya dan tiga orang putra Giri dalam satu jilid. Namun karya Ranggasutrasna ini belum memuaskan keinginan Sang Pangeran karena bagian seksualnya masih kurang menonjol. Begitupula setalah kedua rekannya, Sastradipura dan Satranegara merampungkan bagiannya. Sang Pangeran masih belum juga puas. Bagian senggamanya masih kurang greget. Maka dikerjakanlah sendiri oleh Sang Pangeran dari jilid 5-10, kemudian penulisannya diserahkan kepada ketiga pujangga keraton itu (Wayan Susetya, 2007:109-110).

Dalam buku ini dikisahkan Tembangraras meratapi kepergian suaminya, Amongraga. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar. Ia tak mau berkomunikasi dengan siapapun, termasuk abdi setianya, Centini, yang memahami setiap bahasa isyarat Tuan Putrinya. Ayahanda dan ibunda Tembangraras cemas tak karuan. Dibujuklah sang putri agar melupakan kesedihan. Tapi tetap saja tak meruntuhkan nestapanya. Hingga akhirnya ayahanda mengutus adiknya Kalawirya untuk mencari sang menantu. Bersama kedua adik Tembangraras, Jayengwesti dan Jayengraga, Kalawirya dan Nuripin pagi buta berangkat mengembara menyusuri hutan meninggalkan padepokan Wannamarta.

Ditengah pengembaraannya, berulangkali mereka dihadapkan pada godaan-godaan yang menjerumuskan mereka menuntaskan nafsu syahwatnya. Adegan seks dilukiskan begitu vulgar. Mulai pertemuanya dengan seorang janda kaya yang menjamu mereka hingga mabuk kemudian mencicipi satu-persatu zakar Nuripin, Kalawirya, dan kedua keponakannya. Di perjalanan lain kadang mereka menuntaskan syahwatnya dengan memasukkan alat kelaminnya ke dubur teman prianya. Dipersinggahan lain, mereka tiba di kediaman seorang peladang bernama Ki Nurbayin. Katiga putrinya yang buruk rupa diam-diam sudah lama memendam keinginan untuk mencoba zakar seorang pria. Beberapa kali mereka melihat Ayah dan ibu tirinya berhubungan intim dari balik tirai kamarnya. Maka begitu dirumahnya kedatangan tamu para pria, mereka bergerombol mengikuti ke tempat tidur para tamunya.

"Apa menurut kalian Jayengraga mau ditunggangi jika kita dekati," tanya Banem, sisulung kepada kedua adiknya, Banikem dan Baniyah.

Sesuai kesepakatan, sisulung diberi kehormatan mencoba zakar Jayengraga untuk yang pertama. Dalam kegelapan Banem memeluk Jayengraga. Adik Tembangraras itu pura-pura terkejut. Padahal ia sudah mendengar percakapan ketiga bersaudara itu. Dalam hati ia sebenarnya tak ingin menyerahkan alat kelaminnya menjadi percobaan para perempuan buruk rupa itu. Tapi karena tak ingin melukai hatinya, Jayengraga membiarkan saja ketika Banem naik di atas pahanya. Jayengraga dibuat geli karena Banem tak tahu bagaimana memulai permainan. Maka dibimbinglah ia oleh Jayengraga untuk memasukkan zakar yang sudah mulai mengeras itu ke vaginanya yang masih perawan. Usai Banem, Banikem dan Baniyah menggilir Jayengraga bergantian, hingga akhirnya subuh tiba dan Jayengraga segera mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat subuh.

Adegan seks itu kendati dilukisakan begitu vulgar, tapi juga jenaka. Karya sastra ini memang hendak menampilkan seks secara polos, jujur, sebagai nafsu lahiriah yang lumrah terjadi pada manusia. Para pria itu beberapa kali tak mampu mengelak dari nafsu syahwati, tapi usai itu mereka tetap tak lupa menunaikan kewajiban sholat lima waktunya!

****

"Sayangku, jika kamu berkenan, mari kita kembali ke dunia makhluk dan rajanya," tutur Amongraga kepada Tembangraras, istrinya.

Amongraga baru saja tersadar dari pengembaraannya yang panjang. Dia telah menelantarkan Tembangraras, si cantik jelita putri kiai pesantren Ki Panurta, yang baru dinikahinya. Istri yang baru disetubuhinya setelah melewati empat puluh hari lamanya memberikan wejangan tentang ajaran tasawuf Jawa. Itu pun cuma dua hari. Kemudian ia melanjutkan pengembaraan mencari kedua adik kandungnya. Tapi malah terhanyut dalam kenikmatan pertapaan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ia lupa ada hal lain yang harus dia kerjakan selain melakukan jihad besar itu.

"Oh pangeran Giri! kamu telah membimbing jihad besarmu sedemikian jauhnya sehingga kamu alpa menjalankan jihad kecilmu," ujar Endrasena, pengembara yang ditemuinya di tengah pengembaraannya.

Syekh Amongraga, sebelumnya bernama Jayengresmi. Ia putra mahkota Sunan Giri. Ia mengembara mencari dua adiknya, Jayengsari dan Rencangkapti. Kerajaan Giri baru saja diserang Sultan Agung, raja tanah Jawa karena penguasa Giri tak mau bersujud kepadanya. Kerajaan Giri hancur dalam kobaran api. Ayahanda, sang Khalifatullah ditangkap dan dibawa ke Mataram sebagai tahanan perang Sultan Agung.

Usai penyerangan itu, Jayengresmi mencari kedua adiknya yang hendak diajaknya lari dari kejaran pasukan Sultan Agung. Tapi ia tak menemukannya. Hatinya hancur. Ia pergi meninggalkan Giri tanpa seorang pun tahu, ia sendiri tak tahu ke mana hendak dituju dalam pengembaraannya. Ia mengikuti petunjuk Allah yang mengarahkannya berkelana masuk Suluk.
Dikisahkan Jayengsari dan Rencangkepti tak terpisah. Mereka juga mencari kakaknya di reruntuhan Giri. Tapi pencarian mereka sia-sia. Merekapun mengembara jauh, menghilang dari kejaran pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Pekik.

Dalam pengembaraannya, Jayengresmi sudah berubah nama menjadi Amongraga. Ia tiba di pondok Wanamarta dan di sana ia menikahi Tembangraras, putri Ki Bayi Panurta, Kiai pesantren di sana.

Selama empat puluh hari lamanya kedua pasang penganten itu menunda hubungan badan di malam pertamanya. Amongraga menyampaikan ajaran tasawuf Jawa kepada sang istri. Ini dilakukan agar keduanya menjadi jinak dalam ketelenjangan tubuh mereka, dan menyingkap cadar rohnya dengan ketegangan syahwat serta batin. Abdi setia Tembangraras, Centini menyimak wejangan tuannya dari balik tirai ranjang. Baru pada malam empat puluh satunya yang hujan, keduanya bersenggama. Tapi, usai bersenggama Amongraga meningalkan Tembangraras untuk mengembara mencari kedua adiknya.

****

Keempat utusan ayahanda Tembangraras mendengar kabar jika Amongraga dihukum oleh ulama Mataram karena dituduh telah menyesatkan ribuan pengikutnya di Gunung Kidul tempat Amongraga bertapa Brata. Para pengikut itu diduga menjadi kehilangan akalnya karena terpengaruh guna-guna kedua murid Amongraga, Jamal dan Jamil. Amongraga dibuang ke tengah samudra. Kabar ini segara diwartakan oleh ke empat pengembara itu ke padepokan. Seisi padepokan tak bisa berkata-kata kecuali menitikan air mata. Namun kabar ini justru membuat Tembangraras yakin bahwa suaminya masih hidup. Bersama Centini, Tembangraras pagi-pagi buta meninggalkan padepokan mengembara mencari belahan jiwanya.

Dalam pengembarannya, kedua perempuan itu menyamar sebagai laki-laki. Mengenakan kumis dan berpakian menyerupai laiknya pria. Ditengah jalan mereka menjumpai ke perkampungan para gali kelas kakap. Tembangraras cemas. Ia tak habis pikir jika para pria bengis itu mengetahui jika tamunya yang mengaku santri pengembara ini adalah perempuan. Mereka pasti tak cuma merampok barang berhaganya, tapi juga kehormatannya. kekhawatiran Tembangraras benar-benar terjadi. Para perampok itu tahu ketika meraba-raba pakian Tembangraras untuk mengambil barang berhaga yang dibawanya, salah seorang menyentuh bagian tubuh kewanitaan putri jelita itu. Tapi Centini tak kehabisan akal. Dia menyodorkan bokongnya, seraya menantang para pria itu agar memasukkannya keduburnya. Ketika salah seorang hendak memasukkan ke dubur Centini, abdi setia Tembangraras itu menyemburkan kentut semarnya hingga terpentallah para pria di depannya dan dibuatnya kalang kabut.

Begitu lama Tembangraras dan Centini larut dalam pengembaraan. Sang Tuan Putri putus asa. Ia menggali kuburnya sendiri dengan tangannya yang sudah lemah. Ia membungkukkan tubuhnya dalam posisi duduk dengan kaki selonjor. Centini membujuk tuan junjunganya agar mengurungkan niatnya, tapi tak digubris. Tembangraras memasuki alam roh, mengutus abdi setianya Centini ke cakrawala. Di sana Tembangraras bertemu dengan Mangunarsa yang tak lain adalah Jayengsari dan Rencangkapti, kedua adik Amongraga yang telah mati.

Atas kekuasaan Allah, Amongraga tiba-tiba disadarkan jika semua saudaranya telah mati. Segera saja ia menghentikan pertapaannya dan menemui mereka. Beruntung jenazah-jenazah itu belum dimandikan. Di depan mayat itu Amongraga bersujud, dan ketiga mayat itu bisa hidup kembali karena sebenarnya mereka cuma pingsan. Tembangraras segera mengenali suaminya, sementara itu kedua adiknya yang terpisah sejak mereka masih kecil, sama sekali tak mengenali jika yang ada dihadapannya itu adalah kakaknya yang selama ini dicari. Tembangraras memperkenalkan Amongraga kepada kedua adiknya.

Begitulah kisah pengembaraan panjang Amongraga yang dikisahkan dalam jilid ke sembilan Centini di buku ini. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pengembara asal Cina yang beragama islam. Dia adalah Endrasena. Amongraga sempat tegang menemui ratusan pasukan bersenjata di belakang pengembara tampan itu.

"Endrasena! Saudaraku! Apa yang kamu lakukan di situ?"
"San kamu? Hai pangeran Giri! Jadi begitu, kamu menjauhi semua makhluk untuk mendekatkan diri kepadaNya. kamu berupaya berada di kehadiranNya tapi kamu belum bisa lepas dari dirimu sendiri!"

Endrasena kemudian menantang Amongraga bermain petak umpet. Bagi yang memenangkan permainan ini akan mendapat kehadiranNya. Amongraga kalah. Di antara sinar kegelapan , Amongaraga bersujud. Dengan suara terpatah-patah, dia mengakui kekalahannya. Endrasena mengingatkan Amongraga bahwa dirinya terlalu berambisi kepada jihad besarnya, tapi ia lupa akan jihad kecil.

"Jihad yang mana?" tanya Amongraga.
"Apa kamu lupa bagaimana ayah kita Sunan Giri, telah dikalahkan Sultan Agung?Tak tahukah kamu bahwa beliau telah wafat merana di enjara Mataram," jawab Endrasena. Amongraga masih belum juga paham. Endrasena kini benar-benar menghilang dari pandangannya.

Amongraga dan Tembangraras pergi ke Mataram menemui Aji Nyakrakusuma, panggilan Sultan Agung. Mereka menyatakan keinginannya untuk mencari kedamaian. Keingiannya itu disambut dengan santun oleh Sang Aji. Dikatakan oleh raja Mataram itu bahwa raja adalah orang yang terlalubesar yang dilanda rasa takut hebat. Ayah Amongraga mati karena terlalu menginginkan mahakuasa Allah ketimbang melayaninya.

"Badai telah menduduki tahta para raja,
Sebab untuk membuat gurun, Tuhan, Gusti kita semua.
Memulai dari raja dan mengakhiri pada angin."

Maka atas perintah Sang Aji kedua pasang suami istri itu berubah menjadi ulat. Satu jantan dan satunya betina. Yang jantan cincinnya berwarna gelap dan berbulu, yang betina gelangnya merah dan gembur. Ulat yang jantan dimakan Sultan Agung yang akan menjadi putranya dan kelak akan menjadi raja. Ulat yang betina dimakan Pangeran Pekik, ipar sang raja, yang kelak akan menikahi sepupunya.

Tapi keturunan raja, yang diberi nama arab, Sayidin, yang kemudiangkat menjadi raja Amangkurat I itu melakukan pembantaian para ulama hingga membuatnya tak layak menerima gelar Sultan. Ia mensinyalir ada persekonkolan untuk menjatuhkannya. Ia memerintahkan prajuritnya membunuh siapa saja yang dicurigainya termasuk pamannya sendiri, Pangeran Pekik. Ia membunuh para pejabat Tua dan menggantikannya dengan yang lebih muda.

Persaingan perebutan kekuasaan pun terjadi antara anak dan bapak. Pangeran Anom yang mendapatkan dukungan dari pangeran dari pulau Madura melancarkan serangan ke Mataram. Sang raja melarikan diri hingga akhirnya menemukan ajalnya dalam pelariannya sebelum mencapai pesisir. Mayatnya dimakamkan di Tegalwangi. Di batu nisannya tertulis, yang entah oleh tangan siapa: "Hampir mati pada dirinya sendiri, hanya nafsu terakhirnya yang menjelma.”

****

Serat Centini, sama halnya dengan Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan umat muslim di nusantara. Selain dituduh mengumbar seksualitas secara vulgar, mereka juga dituduh menghina ajaran Islam. Pelecehan terhadap ajaran Islam itu dialamatkan terhadap Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco. Kedua karya ini sempat dilarang beredar pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua karya ini melukiskan potret “kaum abangan” yang awam terhadap Islam dan “kaum santri” yang terlalu mendewakan syariat.

Kaum santri, dalam Suluk Gatholoco karya pujangga dan ulama besar jawa Ranggawarsita, digambarkan begitu mudah terpancing emosinya ketika menghadapi orang abangan macam Gatholoco (dalam bahasa jawa artinya asal ngomong, asal njeplak). Ini adalah gambaran kaum santri yang sebenarnya dalam penguasaan ilmu agama masih dangkal, sehingga mereka begitu mudah memberikan cap “kafir” kepada orang lain. Berbeda dengan Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam dengan begitu lenturnya, bahkan bisa sambil bercanda, seperti ketika dirinya mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam. Sunan Kalijaga menjelaskan tentang islam, shalat dan makrifat layaknya pasangan yang sedang bersenggama.

Dalam konteks kekinian, karya-karya sastra besar Jawa itu bisa ditengok kembali untuk dijadikan sebagai refleksi perkembangan agama Islam di Indonesia dewasa ini. Bermunculannya gerakan-gerakan Islam yang cenderung radikal, yang menghalalkan segala cara belakangan ini sudah tercerabut dari ajaran-ajaran tasawuf Jawa yang arif dan bijaksana. Islam di Jawa dan nusantara pada umumnya, adalah agama yang secara historis berpijak dari akar budaya lokal yang sarat dengan laku dan budi pekerti luhur.

Mencermati perkembangan dunia kesusasteraan kontemporer di negeri ini, tampaknya mengalami kemunduran yang terlampau jauh. Terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Dunia sastra kita sampai dengan hari ini masih sibuk mengkotak-kotakkan diri ke dalam kubu-kubu: sastra seks, sastra islami atau sastra moralis dan amoral. Masyarakat pembaca dan juga sastrawan terjebak dalam penafsiran-penafsiran dangkal atas suatu teks. Mengukur nilai-nilai sebuah karya sastra dengan ukuran moralitas yang semu.

Pertanyaanya, jika memang moral masih mau dijadikan sebagai ukuran baik-buruknya sebuah karya sastra, apakah dengan mengumbar seksualitas maka karya-karya sastra Jawa yang sudah tersohor hingga ke belahan penjuru dunia itu, dapat dikatakan tidak ber"moral"? Tidakkah mereka mengajarkan nilai-nilai budipekerti yang luhur? Wallohu alam bisyhowab….

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment