06 March 2007

Resensi Buku: "Dekonstruksi Sastra Pesantren"

Belakangan ini, banyak pemikir Islam dari halaqah (majlis ta’lim) di masyarakat, terutama aktivis kampus dan aktivis pesantren yang menyuarakan gagasan baru dan sistem penafsiran baru terhadap ajaran Islam, khususnya ilmu kalam. Kelompok ini terang-terangan menghantam ajaran teologi Asy’ariyah, ajaran yang banyak dianut warga NU.

Fenomena ini makin menguat dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam. Motornya dari kelompok pengajian Paramadina (pimpinan alm Nurcholis Madjid), beberapa cendekiawan Islam UIN Jakarta, dan munculnya LSM Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipelopori oleh Ulil Abshar Abdalla (Direktur Freedom Institute dari generasi muda NU), juga Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan beberapa kelompok liberal lainnya.


Intinya, pandangan mereka terhadap agama, Al-Quran, dan eksistensi Tuhan sangat inklusif dan berpaham liberal. Kelompok “pembaharu” ini menganut teologi Pluralis, sebuah teologi yang didasarkan pada kemajemukan paham sebagai sebuah kebenaran. Mereka menganggap semua agama benar. Dalam masalah ketuhanan, kelompok ini berusaha mereduksi makna eksistensi dan keabsolutan Tuhan. Kelompok inilah yang disebut sebagai Islam Inklusif, atau Islam Rasionalis.

Bukan hanya itu. Pemikir NU sendiri pun menyuarakan kritik terhadap paradigma Asy’ariyyah. Serangan yang cukup gencar dilakukan oleh said Agil Siradj, Masdar Farid Mas’udi, Zuhairi Misrawi dari tokoh kritis NU. Mereka mengkritik keras terhadap warisan doktrinal Ahlussunah Waljama’ah di lingkungan NU yang banyak dipengaruhi doktrin teologi Asy’ariyyah.

Dikatakan bahwa teologi Asy’ariyyah telah lama membawa umat Islam ke dalam kondisi yang statis dan beku dari kemajuan modernitas. Mereka juga mengatakan dampak dari teologi Asy’ariyyah itu membawa kecenderungan umat Islam pada prostatus quo, pro-establisment, dan cenderung menghindari kritik terhadap penguasa.

Muncul dugaan, kritik Agil Siradj banyak diilhami oleh tulisan-tulisan Al-Jabiri, seorang filsuf Mesir kelahiran Maroko yang terkenal dengan “kritik nalar arab”-nya.

Kritik Al-Jabiri terhadap teologi klasik seperti madzhab Asy’ariyyah sangat tampak pada komentarnya bahwa teologi yang dianggap paling fundamental dalam tradisi Islam ini harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan neo-kalam (ilmu kalam baru).

Ilmu kalam baru itu tak hanya mengajarkan doktrinal sebagaimana yang pernah dipahami Al-Asy’ari, Baqillani dan Al-Ghazali. Ilmu itu lebih merupakan revolusi ideologis untuk melawan kebekuan pemikiran Islam klasik.

Dari sini, dapat dipahami mengapa Nuruddin Ar-Raniri terusik untuk menerjemahkan kitab dari bahasa Arab ke dalam bahasa melayu. Terjemahan ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban kepada umat Islam tentang pemikiran ilmu kalamnya Abu Hasan Al-Asy’ari.

Ar-Raniri, ulama Aceh, menganggap betapa pentingnya kitab semacam itu menjadi bacaan umat Islam. Sehingga ia merasa perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Terjemahannya kemudian diberi judul Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id.

Kajian kitab tersebut bertumpu pada diskusi panjang antara Asy’ariyyah (ortodoks) dan Mu’tazilah (kaum rasionalis) tentang pokok-pokok ushuluddin. Diantaranya ada lima pokok bahasan, yaitu hubungan akal dan wahyu, kehendak bebas perbuatan manusia (free will), antara kekuasaan Allah (taqdir) dan usaha perbuatan manusia, sifat-sifat Tuhan Allah, dan keadilan Tuhan Allah.

Karena itulah kitab Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id dirasa penting diteliti karena bagian dari sastra Pesantren yang sangat berpengaruh pada masa depan Islam.

Dalam buku Dekonstruksi Sastra Pesantren, Muhammad Abdullah tak hanya menulis tentang kajian kritisnya terhadap karya Ar-Raniri. Ia juga mencoba meneliti ulang kitab Sifa’Al-Qulub yang pernah diteliti oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Dan ia menemukan beberapa kesalahan fatal dari penelitian Nieuwenhuijze.

Selain itu, ada juga penelitian tentang Wirid, Hizib, dan Wifiq yang menjadi bagian penting dalam sastra pesantren. Dan juga ada kajian tentang sastra Lisan pesantren di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.

Dalam sejarah intelektual Indonesia, pesantren merupakan basis pengajaran Islam tradisional yang berakar dari kitab-kitab Islam klasik. Dari pesantren itulah dapat diketahui sistem pengajaran yang didasarkan pada sumber-sumber tertulis berupa naskah-naskah klasik maupun kitab klasik terbitan Timur Tengah yang merupakan karya ulama salaf. Kitab-kitab jenis inilah yang dalam sastra Melayu dan tradisi pesantren dikenal sebagai sastra kitab, atau secara khas disebut kitab kuning.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah definisi sastra pesantren hanya terbatas kepada karya-karya yang bersumber pada kitab, yang notabene berbahasa arab. Bagaimana dengan karya-karya yang dihasilkan oleh santri lokal, yang tidak menggunakan bahasa Arab. Apakah ini juga bisa dikatagorikan sebagai sastra pesantren. Dan termasuk juga, munculnya karya sastra pesantren belakangan ini, yang banyak ditulis oleh santri muda, yang masuk dalam arus sastra Populer, seperti yang dimotori oleh Komunitas Matapena, asuhan LKiS Yogyakarta?

Selain itu juga, dari sisi pengarang, apakah sastra pesantren harus dilahirkan oleh santri. Dan apakah yang disebut sastra pesantren adalah karya sastra yang bercerita tentang tema pesantren, yang menggunakan latar pesantren?

Beragam pertanyaan di atas tidak terjawab dalam buku yang merupakan hasil disertasi program doktor dosen Jurusan Sastra Indoensia Undip itu.

Namun demikian, meski tidak menjawab permasalahan sastra pesantren secara faktual, buku ini dengan baik mampu mengurai akar kemunculan sastra pesantren di Indonesia. Setidaknya ini bisa menjadi pijakan awal bagi mereka yang hendak memahami sastra pesantren secara mendalam.

Membaca buku ini, kita akan dibukakan kepada kearifan para pemikir islam yang tumbuh di kalangan pesantren. Bukan seperti citra yang muncul belakangan, pesantren sebagai basis gerakan islam fundamental yang sarat dengan terorisme. Dan akhirnya, kontribusi para pemikir pesantren dalam perkembangan sastra dan khasanah pemikiran intelektual Indonesia tak bisa dinafikan lagi.

*Resensi ditulis oleh Wiwik Hidayati, mahasiswa Sastra Indonesia Undip,pegiat LPM Hayamwuruk.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment