10 April 2007

Mimi lan Mintuna: Sebuah Harapan Perempuan Kelas Dua

Judul : Mimi Lan Mintuna
Penulis : Remy Sylado
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Maret 2007
Tebal : iv + 292 halaman

“Dasar laki-laki! Mereka menyukai tubuh yang mulus, mengabaikan hati yang tulus. Mereka cuma memandang perempuan dari sudut manfaat, bukan martabat. Mereka, melulu berpikir tentang nikmat wanita, ketimbang hikmat perempuan. Mereka bukan memberdayakan tapi memperdayakan,” gerutu Indayati saat tangan Thanh-Dam dengan tak sabar membuka kancing-kancing blusnya.

Indayati adalah tokoh utama dalam novel “Mimi lan Mintuna” karya Remy Sylado. Novel terbarunya ini terdiri atas 37 sekuen yang disusun secara progresif. Setiap peristiwa dikisahkan secara jalin-menjalin, di mana peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa selanjutnya yang saling berkaitan.

Diawali kisah kehidupan keluarga Indayati di Gunungpati, Ungaran. Sang suami, Petrus, tak lagi memiliki pekerjaan. Ia telah di-PHK dari perusahaan milik Korea di sekitar Ungaran. Semenjak itu Petruk—panggilan ejekan kepada Petrus dari tetangganya- mulai suka mabuk-mabukan dan ringan tangan terhadap istrinya. Suatu hari Indayati memutuskan meninggalkan rumah dan suaminya. Dalam kegamangan ia melangkah menggendong anak semata wayangnya tanpa bekal apapun, kecuali baju dan anting yang melekat di telinganya.

Rumah paman, adik dari ibunya, di Karangayu, Semarang dipilihnya sebagi tempat mengadu. Suatu kebetulan keluarga pamannya itu masih berada di Semarang. Sebab hari berikutnya mereka akan pindah ke Manado. Sudah setahun pamannya itu bekerja di perusahaan tambang milik Amerika di Minahasa dan kini datang untuk mengajak istri dan anak tunggalnya tinggal bersama di sana.

Indayati diajak serta ke Manado tinggal bersama keluarga Bambang Sunaryo. Mulanya hidup Indayati berjalan mulus. Sehari-hari ia membantu pekerjaan rumah dan mengantar-jemput anak buleknya dari sekolah. Namun ia mulai jenuh, selain juga tak enak hati jika harus terus-terusan menumpang di rumah paman-bibinya itu tanpa memiliki pekerjaan. Ia teringat, dulu sewaktu masih di Semarang ia sempat menjadi pegawai apotek di perusahaan farmasi sebelum akhirnya dilarang oleh sang suami. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa melamar pekerjaan. Semua surat-surat berharga ia tinggal di rumahnya di Semarang.

Suatu kali ia tergiur oleh iming-iming menjadi artis ibu kota. Tak hanya Indayati, banyak penduduk setempat yang akhirnya termakan tipudaya komplotan mafia “penjual manusia” itu. Indaryati bersama Kalyana, sepupunya dibawa ke Bangkok. Di sana mereka dijadikan budak pelayan nafsu para lelaki hidung belang.

Sampai di sini, tokoh Indayati mengingatkan kita kepada Firdaus, tokoh dalam novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal el-Saadawi. Keduanya adalah perempuan lugu yang kemudian menjadi pelacur oleh karena kediktatoran kaum laki-laki dan sistem patriarki yang menomorduakan kaum perempuan. Mungkin kita akan berkata, andai saja Indayati tak mendapat perlakuan kekerasan dari suaminya, andai saja suaminya bisa menghargai hak-haknya, maka Indayati tak akan sampai terjerumus ke lembah dunia pelacuran.

Sementara itu, Petruk semakin terbenam dalam ketidakwarasan setelah ditinggal pergi istri dan anaknya. Tiap hari ia berulah. Ia terus memalak warga setempat, meminta uang secara paksa. Sudah lama warga memendam kebencian kepadanya. Mereka bersepakat untuk menghajarnya. Seorang warga bernama Sutejo bahkan telah menyiapkan pembunuh bayaran. Tiga juta rupiah ongkos untuk menghabisi nyawa si tukang palak itu. Pembunuh bayaran itu berhasil melepaskan peluru kearah dada Petruk. Bersama pembunuh bayaran itu, Tejo membuang jasad Petruk di Kali Babon.

Berakhirkah riwayat Petruk? Tidak. Petruk masih hidup. Ia seperti mendapat mukjizat. Sesadarnya dari koma, dirinya menyadari akan kesalahan-kesalahan yang selama ini diperbuatnya. Ia insyaf dan bertekad untuk menjemput Indayati dan meminta maaf kepada istrinya yang malang itu.

Bulik Ning mengirim surat pembaca ke sebuah media massa nasional yang isinya mencari informasi keberadaan anak dan ponakannya yang telah meninggalkan rumah tanpa kabar berita. Siti Anastasia Melati Sulistyoningrum Suhendro Hendro, seorang polwan yang cantik, cendekia, karateka ban hitam, juara tembak Perbakin dan memiliki kecepatan dalam berpikir, tertarik membaca surat pembaca yang dikirim oleh istri Bambang Sunaryo itu. Iapun mulai melakukan penyelidikan untuk mengungkap tabir kejahatan yang terselubung.

Kejahatan terselubung itu digawangi oleh beberapa orang. Ng Seng Jung, Sean PV, Kiki dan Bunda (seorang wadam). Sean PV adalah aktor antagonis dalam novel ini. Ia memiliki musuh bebuyutan bernama Raj, seorang pesaing dalam kejahatan trafficking. Keduanya saling beradu kekuatan , saling bunuh untuk menunjukkan kekuasaan masing-masing.

Novel yang menggunakan penggambaran tokoh-tokohnya secara analitis dan dramatis ini berakhir melodramatik. Siti Anastasia Melati Sulistyoningrum Suhendro Hendro, tokoh protagonis yang digambarkan seorang wanita hero berhasil mengungkap tabir kejahatan Sean PV dan rekan-rekannya kecuali Raj dengan bantuan pihak kepolisian Bangkok. Lewat tangannyalah Indayati dapat bersama kembali dengan suaminya. Mewujudkan harapan menjadi Mimi lan Mintuna.

Dalam penceritaannya, Remy pandai menggunakan teknik suspense, menahan keterangan-keterangan lain yang sebenarnya ingin segera diketahui oleh pembaca. Rasa penasaran ini akan membimbing pembaca untuk tidak berhenti membaca pada suatu sekuen dalam novel ini. Pembaca akan mengikuti cerita hingga purna.

Seperti biasanya, Remy tetaplah mbeling. Pemlesetan adagium dan pemunculan pemeo akan membuat pembaca tersenyum dan terbahak atau bahkan merenung. Contohnya pemeo berikut ini, “Agaknya menepuk-nepuk bahu dan punggung itu bukan cara sayang bapak kepada anak, tapi kiranya sayang seorang bapak-bapak kepada seseorang yang bisa bikin anak baginya”.

Novel ini memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perkembangan bahasa Indonesia. Ia menawarkan penulisan majemuk dalam bentuk gabung sebagaimana bentuk sebuah kata dan penggunaan kata sandang. Banyak pula disuguhkan kata-kata yang tak lazim digunakan oleh orang kebanyakan namun kata itu ada dalam bahasa Indonesia.

Dalam novel ini, Remy menggunakan point of view orang kedua tetapi terkadang Remy tampak kurang konsekuen. Kemungkinan, kekurangkonsekuenan ini timbul akibat ketidakjelian dalam penggunaan kata “ini” dan “itu”. Hal ini kadang sepele, tapi kehadirannya yang kurang tepat bisa mengganggu pembaca.

Namun terlepas dari sedikit kekurangan itu, tema yang diusung Remy cukup menarik dan relevan dengan kondisi kekinian. Remy mampu mengkolaborasikan tema tradisional dengan isu aktual.

Melalui novel ini, Remy mengkritik keberadaan perempuan dalam masyarakat tradisional yang harus patuh pada aturan suami. Membangun rumah tangga hendaknya dilandasi rasa kasih sayang dan saling menghargai. Suami dan istri dalam rumah tangga memiliki kedudukan yang sama. Tak perempuan kelas dua, tak ada monopoli kekuasaan salah satu pihak. Seperti dalam pepatah Jawa kaya mimi lan mintuno, seperti sepasang ikan mimi dan mintuna, yang artinya selalu rukun dengan landasan kasih sayang.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment