Unik, begitulah sosok Andrea Hirata. Penulis novel Laskar Pelangi itu berlatar belakang pendidikan ekonomi. Tapi dia juga meminati bidang keilmuan (science). Belakangan dia menulis novel. Ternyata karyanya laku keras dan mendapatkan pujian dari sejumlah pakar sastra.
Seperti yang diakui Andrea, Laskar Pelangi adalah kisah masa kecilnya. Masa kecil di sebuah desa miskin di Belitong. Laskar Pelangi adalah novel perdananya. Buku kedua, Sang Pemimpi, seperti juga buku perdananya, menjadi best seller.
Tidak seperti halnya para kritikus sastra yang memberikan pujian kepada karya Andrea, Aulia Muhammad pagi itu membeberkan beberapa kekurangan kedua novelnya. Pertama soal melawan pasar. Bagi Aulia karya Andrea tak melawan pasar. Tapi sebaliknya, justru mengikuti pasar.
Karya yang ditawarkan Andrea juga tak baru. Hampir mirip-mirip yang disajikan dalam serial tayangan islami, seperti yang tampak dalam buku kedua Andrea, Sang Pemimpi, yang disebut oleh Aulia sebagai "pertobatan".
Lakunya karya Andrea, ditambahkan Aulia karena menampilkan keharuan. Termasuk juga strategi penerbit yang menampilkan Andrea sebagai awam yang menulis sastra. Orang menjadi ingin tahu. Ini seperti melejitnya nama Feri atau Ikhsan peserta Indonesian Idol, yang menampilkan sosok anak keluarga yang tak mampu. Bahkan untuk pergi menyaksikan aksi panggung anaknya, ayah Ikhsan harus dengan menjual becak.
Kemudian soal endorsement atau catatan oleh para pakar, menurut Pemimpin Redaksi Suaramerdeka.com itu membuktikan betapa tidak percaya dirinya seorang pengarang. Hal lainnya, adalah soal pengkotak-kotakkan sastra menjadi beberapa jenis. Menurut Aulia, tidak perlu membuat kategorisasi sastra, termasuk kategori orang awam menulis sastra. Yang terpenting adalah karya itu bagus, diapresiasi oleh pembaca.
Bagi Aulia strategi apapun halal dilakukan penerbit. Tapi yang jauh penting dilakukan penerbit adalah bagaimana agar buku bisa murah. Yang penting karya itu dibaca."Bagi saya karya itu dibaca saja sudah sangat senang," katanya.
Oleh karena itu, menurut Pemimpin Redaksi suaramerdeka.com itu tidak perlu mendewa-dewakan karya. Bahwa karya ini bagus, penulisnya hebat. "Pengharapan yang terlalu berlebihan atas suatu karya, seringkali mengecewakan. Makanya biasa saja dalam menanggapi suatu karya. Secara wajar," kritik alumnus Fakultas Sastra Undip itu.
Menanggapi kritik Aulia, Andrea mengatakan bahwa dirinya melihat pasar secara praktis. Soal ketidakpercayaan pengarang, dirinya mengaku mulanya juga tak percaya jika para pakar sastra memberikan pujian atas karyanya.
"Makanya, saya pernah meledek seorang teman dari penerbitan. Saya katakan ada tiga profesi yang tidak bisa dipercaya. Yang ketiga itu adalah penerbit," ujar pengarang kelahiran Belitong, yang kini bekerja di PT Telkom Bandung ini, sambil tersenyum lepas.
Dalam acara "Bincang dan Temu Penulis" yang digelar oleh LPM Hayamwuruk bekerjasama dengan toko buku Toga Mas di Joglo Fakultas Sastra Undip (27/3) itu, Andrea juga menyampaikan sekilas novel ketigasnya yang berjudul "Edensor". Dalam kesempatan itu Andre membacakan abstraksi atau sinopsis dari vonel ketiganya. Yang unik, kendati
novel ketiganya masih prelaunch, tapi seperti yang tampak di banner yang dipajang oleh panitia, ditampilkan juga sampul buku yang keempat.
"Apa anda bisa menikmati mengarang dalam waktu sesingkat itu, atau sebenarnya anda sudah menyiapkan sejak lama?
Atau jangan-jangan anda memanfaatkan aji mumpung, mumpung lagi laku?" tanya Diantika, mahasiswa Sastra Indonesia Undip.
"Saya sendiri juga tak tahu. Saya begitu cepat menyusun novel-novel itu. Saya tak ada beban. Mungkin karena ini pengalaman saya pribadi," jawab Andrea. [tulisan ini diterbitkan di suaramerdeka.com]
*Liputan lain ditulis di Harian Suara Merdeka (cetak) di rubrik seni. Klik di sini
No comments:
Post a Comment