03 April 2007

Jarar Siahaan: Blog Adalah Tempat di mana Hati Nurani Bisa Merdeka

Jarar Siahaan tak sanggup lagi untuk tidak menerima amplop. Gajinya sebagai wartawan daerah tak cukup untuk menopang kebutuhan anak dan istrinya. Dia tak mau lagi kehilangan anaknya atau mendengar lagi tuntutan cerai dari istrinya gara-gara sibuk dengan idealisme “anti-amplop”-nya.

Sebelumnya, Jarar memang termasuk golongan jurnalis yang mengharamkan amplop. Bersama rekan-rekannya di AJI (Aliansi Jurnalis Independen), sebuah organisasi jurnalis yang anggotanya tersebar dari kota-kota besar hingga daerah-daerah, dia turut menyerukan agar wartawan menolak segala bentuk "sogokan" yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Namun pada saat yang sama ia menjumpai praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh para pemilik media. Ia pun sempat bekerja dari satu media ke media lainnya. Tapi kondisi tak jauh beda. Menurutnya media di tanah air, terutama koran daerah, adalah mesin uang bagi para bunglon, pemeras, politisi, dan pelacur idealisme. Nuraninya memberontak, ia tak bisa bekerja di media seperti itu. Tapi ia juga tak bisa lagi untuk tidak menerima amplop sementara istri dan anaknya memang butuh penghidupan.

Maka ketika pindah ke Palembang dan anak keduanya lahir, tak lama kemudian pria 32 tahun itu pun mengundurkan diri dari AJI, organisasi yang pernah di”imani”nya hingga ia rela menelantarkan anak dan istrinya.

Sejak itulah dirinya membuka diri untuk menerima amplop. Ia tak munafik jika gaji yang diterimanya sebagai wartawan daerah tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pun ketika dirinya menjadi redaktur, ia masih harus pinjam sana-sini untuk sekadar membelikan beras istri atau menengok keluarga di kampung halamannya.

"Aku tidak sanggup lagi untuk tidak menerima amplop. Aku tidak sanggup lagi melihat anakku Gibran yang selalu tersenyum lucu meskipun tubuhnya dibalut baju yang sempit," tulis Jarar dalam surat pengunduran diri dari keanggotaan AJI.

Tapi, meski menerima amplop, dirinya menolak jika dikatakan telah melacurkan idealismenya sebagai seorang jurnalis yang memegang teguh kebenaran. Baginya, wartawan boleh menerima amplop selama amplop itu tidak untuk merekayasa berita.

“Bagiku, wartawan idealis bukanlah karena menolak amplop; tapi karena ia menulis sesuai hati nuraninya,” tulisnya dib log BatakNews.com.

BatakNews adalah ruang baru bagi Jajar untuk mencurahkan nurani jurnalisnya. Dia meninggalkan profesinya sebagai jurnalis yang telah ia geluti selama hampir 12 tahun. Ia bahkan menolak ketika ditawari menjadi redaktur di Global, sebuah media lokal yang dianggapnya cerdas dan menyejukkan. Ia lebih memilih menjadi penulis lepas daripada menjadi awak redaksi, sekalipun menjadi redaktur di media itu. Dan sejak itu pula ia memutuskan tidak akan kembali terikat dengan media manapun, selamanya. Dia ingin menjadi jurnalis yang independen, yakni melalui blog.

Jarar kemudian mengirim pernyataan sikapnya itu melalui surat terbuka yang dia kirim ke beberapa media nasional di Jakarta, Dewan Pers, AJI dan lembaga terkait lainnya. Saya sendiri kali pertama membacanya di milis yang diposting oleh Andreas Harsono. Dari surat itu diketahui jika Jarar juga melayangkan surat serupa secara pribadi kepada ketua Yayasan Pantau, yang kini menjadi penulis freelance di sejumlah media internasional itu.

Dalam surat terbukanya Jarar menyampaikan bahwa media tak seharusnya membuat aturan menolak amplop bagi watawannya, sementara media sendiri belum memberikan upah yang layak kepada para pencari berita itu.

“Jangan kalian 'rusak' para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah “sikat” wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan,” tulis Jarar dalam surat terbukanya.

Surat terbuka juga dikirim oleh Jarar ke para blogger Indonesia. Disampaikan bahwa blog bukan cuma media tanpa sensor. Tapi blog telah menjadi malaikat penolong dan tempat meneduhkan nurani bagi jurnalis yang masih punya rasa malu.

”Kurindukan suatu hari nanti, koran yang begitu akan mati; sebab mereka sering membunuh kebenaran. Kuimpikan detik ini, setiap warga akan menulis dan mengedit beritanya sendiri. Blog adalah tempat di mana hati nurani bisa Merdeka,” tulisnya.

Sikap Jarar kini telah direspon oleh khalayak luas. Beberapa hari terakhir ia menerima dukungan dari sejumlah wartawan dan blogger yang tersebar di seluruh Indonesia hingga luar negeri. Seperti yang ditampilkan dalam posting diblognya, Budiman S Hartoyo (sering dipanggil BSH) juga turut memberikan komentar.

"Saya setuju dan mendukung gagasan kau: desak para majikan media untuk menggaji wartawan secara layak (tentu wartawan yang bener). Kalau tidak, mogok saja! Setelah itu gencarkan anti amplop," tulis BSH, mantan wartawan senior Tempo dan salah seorang deklarator AJI itu.

Meski banyak pihak mendukung, banyak pula orang yang memberikan tanggapan sinis atas sikap Jarar. Beberapa rekan di daerahnya malah ada yang menganggapnya tak waras alias sinting!

Jarar menampik jika munculnya BatakNews sebagai bentuk kekecewaannya kepada AJI. Blog ini lahir karena dirinya kecewa pada media, koran daerah, yang umumnya tidak independen dan tidak memberi gaji layak.

BatakNews dionlinekan sejak 20 Maret 2007. Jarar adalah pendiri dan sekaligus pengisi beritanya. Ke depan blog ini diniatkan untuk menjadi tempat di mana setiap orang bisa melaporkan berita (citizen journalism). Setiap orang bisa menjadi jurnalis. Tapi tentu saja ada aturannya. Silakan baca di sini.

“Untuk saat ini aku belum punya rencana apa pun soal masa depan BatakNews. Aku takut mencari penyandang dana; karena bisa-bisa dia mengaturku untuk menulis sesuai kepentingannya. Aku juga belum berpikir untuk merekrut wartawan atau redaktur,” jawabnya dalam sebuah email.

Sejak awal Jarar meniatkan blog BatakNews mewartakan isu-isu lokal, terutama yang terjadi di Balige, ibukota Kabupaten Tobasa. Sementara ini, dia mengaku masih bisa meliput sendiri. Sebab Balige hanya kota kecil. Selain berita lokal, ia merencanakan blog itu memuat foto-foto lokal, artikel budaya Batak, opini pembaca (khususnya para perantau Batak yang tinggal di luar Tobasa dan luar negeri), feature dan tulisan tentang jurnalisme.

”Aku tak berharap muluk-muluk. Ibaratnya, BatakNews adalah sebuah koran komunitas beroplah kecil di sebuah kecamatan yang, karena kecanggihan internet, dibaca oleh para perantau di seluruh penjuru dunia,” tambahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jarar membuka usaha berjualan oli-campur dan pulsa HP di depan rumahnya yang ia kelola bersama istrinya.

“Alhamdulillah, olinya laku, karena rumah kami persis di samping pom bensin. Sehari rata-rata habis 15 botol, bisa dapat laba Rp 50 ribu. Voucher HP rata-rata 25 voucher per hari, dengan laba berkisar Rp 25 ribu. Jadi dari usaha istriku ini kami sudah bisa menutupi kebutuhan dapur. Untuk kebutuhan lain yang mendesak, sesekali kami minta bantuan dari orangtua,” akunya.

Bagaimana dengan istri, apakah dia tidak mengeluh dengan kondisi anda saat ini?

Dikatakan oleh Jarar, justru istrinya mendorong dirinya keluar dari media cetak dan membuat blog. Kata istrinya, “Daripada kau makan hati terus, lebih baik kau ngeblog asalkan kau bebas menulis mengikuti kata hatimu.’

“Istriku seorang yang sederhana. Ia tidak memakai perhiasan, tidak memakai make-up di wajah, tidak suka shopping baju. Ia seorang wanita desa yang betul-betul sederhana. Aku bersyukur punya istri seperti dia. Dan selama kami berkeluarga tujuh tahun, tidak pernah dia menyuruh aku mencari uang dengan cara yang banyak dilakukan [oknum] wartawan, seperti memeras”.

Selamat bung, akhirnya kau temukan tempat di mana nurani bisa merdeka.

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment