Menggugat misi pengarang dalam karya sastra
Seorang penulis ingin membuat sebuah karya besar, karya yang dapat memberikan pencerahan kepada seluruh umat manusia. Sebuah tugas mahaberat, tapi ia yakin akan mampu menjalankan misinya.
Orang seringkali memulai suatu pekerjaan dengan sebuah niat besar. Begitu juga dengan aktivitas menulis, termasuk menulis karya sastra, penulis seringkali menyertainya dengan embel-embel niat tertentu.
Memang tak ada yang salah dengan niat dalam menulis. Setiap penulis tentu saja memiliki tujuan tertentu ketika ia menyampaikan ide lewat tulisan. Akan tetapi menjadi masalah ketika niat itu mengontrol keseluruhan materi cerita. Akibat semangat penulis untuk menyampaikan pesannya berlebihan, karya yang dihasilkan akhirnya menjadi didaktis.
Apakah penulis yakin bahwa tulisannya akan mencerahkan. Dengan cara apa penulis akan menyadarkan pembaca. Apakah akan disampaikan seperti orang yang tengah berceramah di forum-forum keagamaan itu?
Bila anda sepakat, dunia sastra tidak sama dengan dunia dalam kehidupan sehari-hari. Memang cerita dalam karya sastra boleh diambil dari cerita keseharian. Namun ketika masuk dalam medium sastra, cerita itu sudah memiliki tempatnya sendiri.
Karya sastra berbeda dari karya sejarah, maupun disiplin ilmu lainnya. Kebenaran dalam sastra tidak sama dengan kebenaran versi sejarah. Kebenaran sejarah tersusun atas data-data faktual, yang bisa dibuktikan secara materi, namun kebenaran dalam sastra adalah nilai-nilai yang bersifat abstrak. Pesan yang diserap oleh masyarakat adalah nilai-nilai dari karya sastra, bukan kebenaran cerita secara utuh.
Shakespere tak harus membuktikan bahwa tokoh Romeo dan Juliet itu benar-benar ada dalam kehidupan yang sebenarnya. Tak penting pula Ayu Utami membeberkan data-data yang digunakan dalam ceritanya Saman maupun Larung. Nilai-nilai yang disampaikan dalam cerita Romeo and Juliet maupun cerita dalam novel Ayu Utami itu yang jauh lebih penting bagi pembaca daripada kebenaran dibalik cerita yang ditulis oleh pengarang.
*****
Pada artikel sebelumnya saya telah menyampaikan tentang peristiwa kematian pengarang dan perlunya peran pembaca dalam menafsirkan sebuah teks yang diangkat dari esai Roland Barthes “The Dearh of The Author”. Masih tentang pemikiran Bathes, kali ini saya mengutip esainya “from Wrting Degree Zero”.
From Wrting Degree Zero adalah buku pertama Barthes yang memuat perselisihannya dengan Sarte --meskipun nama Sarte tak disebutkan secara langsung— tentang pandangannya terhadap karya sastra, selain juga perselisihan dengan Sarte tentang imajinasi dalam buku terakhirnya Camera Lucida.
Meskipun sepakat dengan Sartre bahwa tugas penulis adalah menyeru pembaca kepada kebaikan (etis), Barthes tidak menekankan moralitas sebagai tujuan akhir sebuah cerita. Ia menjadikan moralitas sebagai permasalahan ketimbang solusi yang membentuk sebuah karya sastra.
Barthes membedakan teks menjadi dua, teks yang berpusat pada penulis dan teks yang berpusat pada pembaca. Teks yang berpusat pada penulis bertujuan agar pembaca tak sebatas menjadi konsumen, tapi juga menjadi produsen teks. Pembaca mempunyai kesejajaran dengan bentuk penafsiran yang menegasakan ‘permainan bebas’ (freeplay) dan di luar jangkauan batas kemanusiaan. Sedang teks yang fokus pada pembaca atau teks klasik, mempunyai pluralitas yang terbatas dan oleh sebab itu tidak berada di luar jangkauan penafsiran.
Sama halnya dengan Derrida, pioner gerakan post strukturalisme, Barthes memusatkan perhatiannya pada teks yang fokus pada pembaca dengan tujuan agar mampu menunjukkan “perbedaan” yang ada dalam teks.
Bagi Barthes bahasa adalah tujuan awal dan akhir dari sastra. Bahasa adalah segalanya. Dengan kata lain, semua realitas telah diwakili melalui bahasa—termasuk kebijkasanaan pengarang dan struktur karyanya. Sikap Barthes ini sekaligus merupakan penolakannya terhadap pandangan Sartre, ketika sastra dibawa untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik dan agama.
Barthes menganggap tidak ada kewajiban sebuah tulisan menghasilkan sesuatu diluar tulisan itu sendiri –baik untuk tujuan sosial maupun moral— yang menjadikan sastra sebagai instrumen perlawanan dan subversi, tapi sebagai bentuk praktek penulisan itu sendiri. Baginya bahasa tidak pernah menjadi kekuatan.
Selain yang disebutkan di atas, Barthes menganggap menulis sebagai aktivitas bebas, termasuk menyampaikan pandangan politik. Dia memahami sastra sebagai sebuah usaha pembaharuan dari tuntutan hak individu secara terus-menerus, dan semua hak itu pada akhirnya adalah hak politik. Dan Barthes sendiri termasuk orang yang menolak sastra dikaitkan dengan politik.
Kebebasan penulis digambarkan seperti sebuah penerbangan. Penulis adalah utusan dari egonya sendiri –sebagai pribadi dalam penerbangan terus menerus sebelum akhirnya ditentukan dengan tulisan, begitu juga pikiran, ia berada dalam penerbangan abadi dari doktrin. “Who Speaks is not who writes, and who writes is not who is.” Pada akhirnya yang ingin dituju oleh Barthes adalah pencapaian akan keindahan.
*****
Meski bersifat abstrak, kebenaran dalam karya sastra memiliki kedudukan yang tinggi, lebih tingga dari ilmu pengetahuan lainnya bahkan agama. Matthew Arnold dalam esai “studi puisi”-nya menegaskan : “Agama kita telah mewujudkan dirinya dalam kenyataan, kenyataan yang diduga; ia telah melekatkan emosi pada kenyataan, dan sekarang kenyataan itu mengecewakan.” Sebaliknya, “Puisi telah melekatkan emosi pada ide; ide itu adalah kenyataan. .... Tanpa puisi, sains kita akan terasa tidak lengkap; dan kebanyakan yang sekarang kita lewatkan dengan agama dan filafat akan diganti dengan puisi.”
Sebagai pembaca, setiap orang berhak melakukan penafsiran terhadap teks sastra. Menafsir berarti tidak hanya melakukan pembacaan ulang, tetapi juga menelusuri makna dibalik teks untuk menemukan makna-makna baru. Jangan takut untuk membaca, bahkan dari kesalahan membaca itu bisa saja muncul sebuah kritik yang estetik.
Jika anda sebagai penulis, sebaiknya anda tak usah membebani diri dengan keinginan untuk menyampaikan suatu ajaran kepada pembaca. Alih-alih pesan anda akan sampai, pembaca sudah buru-buru menutup tulisan anda karena tidak menikmatinya. Oleh karena itu, biarkan pembaca sendiri yang menemukan pesan dari teks yang anda tulis.
Ketika anda menulis, tak perlu juga diniati untuk membuat sebuah karya sastra yang besar (masterpice). Ketika karya anda sudah menyentuh kenikmatan pembaca, dengan sendirinya kebesaran karya anda telah mendapatkan pengakuan. Niat maupun keinginan yang berlebihan hanya akan membebani penulis dalam menghasilkan karya. Menulis menjadi terhambat. Bagaimana tidak, menulis belum dimulai, tapi sudah memasang target.
Sekarang, menulis, menulis sajalah. Membaca dan membaca. Tentu dengan terus belajar untuk menjadi penulis dan pembaca yang baik.
*Tulisan ini dipublikasikan di Buletin Sastra Hysteria, Edisi September 2006
Ganti layout melulu Din?
ReplyDeleteIkram
Untuk kawan Udin,
ReplyDeleteSaya Yudi dari Lampung, Sekarang sedang terlibat dalam penyuntingan buku ontologi Puisi. Beberapa kontibutor buku itu rajin mengundang saya berdiskusi tentang sastra, Tapi kenapa ya, dalam diskusi sastra yang saya ikuti, para penyair berargumen dengan corak dan style masing-masing! misalnya, penyair berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, mengunakan teori aliarannya, untuk mendebat penyair yang tidak sealiran. Dan itu membuat saya terus mengalir binggung. Begitu rumit tampaknya untuk menikmati sastra. Sehingga para sastrawan aliran itu, sangat perlu memperdebatkannya. Anehnya setelah perdebatan yang simpang siur dikepala itu, tidak mempengaruhi apresiasi saya terhadap karya yang dibahas, melaikan sebuah informasi tentang si pembahas dan orang yang sedang dibahas. Lalu diakhir diskusi, ada pertanyaan yang tersisa “memang apa sih definisi sastra itu?”
Saya juga pernah mencoba membuat puisi. Rencananya beraliran surealisme, macam puisi Goenawan Moehamad yang sering menginspirasi. Dorongan untuk mencipta puisi yang berangkat dari keinginan untuk memunculkan estetika tertentu ini. Ternyata tidak dapat membebaskan diri saya. ketika mulai menuliskan bait-bait puisi, Saat itu eksploitasi bahasa dan kata menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangun tidak bisa hadir secara spontan, tidak bisa utuh, dipaksakan. Kawan saya mengkritik. "Kau gagal membangun komunikasi dengan pembaca."
Akhirnya dengan mengabaikan semua teori sastra saya pasrah pada indrawi. Saya baca puisi koleksi favorit, dan saya dapati berbagai keriuhan, tumpang tindih, simpang-siur, bahkan remuk dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata, ternyata dapat membangun susunan imaji yang utuh. Saya menikmatinya, dan berpikir masabodo, teori dan style penulisannya.
Mohon Tanggapannya!
Salam
Yudi, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon maaf saya baru bisa menanggapinya.
ReplyDeleteDalam sastra terdapat tiga dunia: pengarang,pembaca, dan kritikus. Sebagai penulis atau pengarang, sebaiknya anda memang terbuka dengan kritikan dari pembaca maupun kritikus. Namun tak perlu juga anda terlalu merisaukannya.Ambil saja sisi positifnya.
Dan sebenarnya, ketika karya dikritik, saat itu pula karya anda berarti diperhatikan. Bahkan agar diperhatikan, sejumlah pengarang punya teknik, yakni memunculkan kontroversi. Tapi hal ini nggak bertahan lama, karena sifatnya sesaat. Kalau anda berani, tunjukkan kualitas. Dengan begitu, anda akan diakui sebagai pengarang yang memiliki kelas.
Apakah lantas salah, jika kemudian para kritikus itu selalu meributkan karya pengarang? Jelas saja tidak, karena itu memang kerjaan kritikus. Sama seperti pengarang, kualitas kritikus pun bisa kita cermati dari paparan yang disampaikan. Jadi, jika anda menemui kritikus yang iseng, cueki saja. Tapi jika memang yang disampaikan bersifat konstruktif untuk perbaikan karya anda ke depan, ya seharusnya memang diperhatikan.
Pandangan antara kritikus dan pembaca memang belum tentu sejalan. Bahkan lebih sering berseberangan. Pembaca cenderung membaca apa adanya, berbeda dari kritikus, yang (kadang) membaca untuk mencari kesalahan.
Semua itu, justru akan menjadikan geliat di dunia sastra menjadi menarik selama masing-masing memahami perannya masing-masing.
Sekian dulu tanggapan saya. Anda tentu saja boleh menyanggah pandangan yang saya sampaikan ini.
Tetap menulis, dan salam buat teman-teman di Lampung, khususnya Teknokra.