Lima tahun lalu, saya bergabung dengan pers mahasiswa (persma). Dunia baru yang pada mulanya sangat awam dalam kehidupan saya, seorang lulusan sekolah menengah kejuruan yang kemudian memilih studi ilmu kesusasteraan di bangku perkuliahan. Namun dalam masa yang terbilang singkat itu, setidaknya untuk ukuran kematangan sebuah proses seorang yang bergelut dalam dunia pers, saya menemukan kenikmatan. Saya rela mencurahkan waktu yang lebih di komunitas ini disela-sela waktu studi saya di kampus yang singkat.
Lima tahun berproses, saya dihadapkan pada wacana soal reposisi persma: menjadi media komunitas kampus atau –seperti era sebelumnya—menjadi media pengontrol kekuasaan, baik di dalam kampus maupun keluar kampus (media alternatif). Dalam kategori yang pertama, persma cukup menjadi media sambung-rasa antar sivitas akademika, selain juga sebagai tempat mahasiswa belajar dunia tulis-menulis dan pers (laboratorium jurnalistik). Pada kategori kedua, persma dituntut untuk keluar dari komunitas, tak hanya mengcover isu-isu kampus, tapi juga mengamati kehidupan di masyarakat, isu politik yang lagi aktual baik dalam skala nasional maupun global, dan isu-isu lain yang terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat kecil.
Lalu, ke mana persma sekarang harus menempatkan diri?
Dalam acara Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang diadakan di Semarang pada 5-7 April di Kampus I IAIN Walisongo Semarang, dilontarkan beberapa wacana soal reposisi pers mahasiswa. Mohamad Arman, perwakilan persma dari Sulawesi yang juga menjabat sebagai Sekjen PPMI, mengemukakan perlunya payung hukum bagi persma. Menurutnya, UU Pers yang ada di Indonesia saat ini (UU tentang Pers: UU No. 40/1999), tidak secara eksplisit mencantumkan pers mahasiswa sebagai bagian dari lembaga pers di Indonesia. Dari informasi salah seorang teman yang mengikuti kegiatan itu secara keseluruhan, suatu malam dibahas rencana aksi turun kejalan. Aksi ini sebagai tindaklanjut dari rangkaian diskusi dan seminar-seminar yang telah digelar sejak hari pertama. Tapi diskusi yang berlanjut hingga larut pagi itu tidak mencapai titik temu. Selain konsep yang tidak jelas, sebagain perwakilan dari persma mempertanyakan esensi dari aksi turun ke jelan tersebut.
Dari sepenggal cerita di atas, saya melihat beberapa teman yang bergiat di persma ingin diakui eksistensinya. Saya pribadi menganggap "tidak perlu" dengan usulan adanya payung hukum secara khusus yang di dalamnya mencantumkan persma dalam penjabaran UU tentang pers. Terlebih lagi dengan rencana aksi turun ke jalan, jika kedua usulan itu ditujukan untuk mengharapkan pengakuan dari publik terhadap eksistensi persma. Alasannya sederhana, meski secara eksplisit persma tidak disebutkan dalam UU per situ, tapi persma termasuk lembaga pers yang sudah tercakup di dalamnya. Jangankan persma, tulisan diblog yang dikerjakan dengan metode kerja jurnalistik secara benar, sudah memliki kedudukan yang sama dengan pers pada umumnya. Jika tulisan itu dipersoalkan, misalnya oleh oknum atau lembaga yang tidak senang terhadap muatan tulisan, maka di pengadilan penulis atau jurnalis (dan siapapun bisa menjadi jurnalis, tidak harus wartawan yang bekerja untuk media mainstream) bisa memakai payung hukum pers di pengadilan.
Saya punya cerita. Persma yang saya ikuti pernah digugat dalam salah satu edisi yang memuat soal korupsi di koperasi mahasiswa Undip pada tahun 2002. Media kami diancam somasi oleh salah seorang yang namanya tercantum sebagi debitur bermasalah. Setelah somasi itu tidak digubris, yang bersangkutan menuntut kami ke pengadilan. Jujur, waktu itu beberapa awak kru redaksi, para senior saya, sempat tegang. Kami menghubungi beberapa teman persma dan lembaga-lembaga terkait untuk dimintai bantuan, atau sekedar solidaritas. Kabar kami ini akhirnya didengar oleh teman-teman dari Aliansi Jurnalis Independen dan mereka bersedia memberikan advokasi. Berita acara dan persiapan ke pengadilan sudah disiapkan. Ternyata, surat dari pengadilan tak kunjung datang!
Saya tak sepakat karena yang diharapkan oleh teman-teman persma itu adalah bentuk pengakuan. Pentingkah? Bagi saya wacana ini muncul karena ketidakpercayaandiri para pegiat persma yang saya duga masih terbebani oleh segala macam warisan kejayaan para pendahulunya. Apakah persma sekarang harus sama seperti persma di masa Orde Baru, di mana persma menjadi media gerakan bawah tanah melawan rezim pemerintahan, apakah aktivis persma harus bersama-sama berada di tengah massa demonstran di depan gedung dewan?
Hal itu juga menurut hemat saya, kenapa PPMI hingga hari ini belum mendapatkan pengakuan secara luas dari persma di seluruh Indonesia. Secara gergrafis, anggota PPMI kebanyakan berasal dari kampus-kampus yang berada di Indonesia bagian timur. Organisasi induk persma yang resmi ini (setidaknya melihat dari sejarah terbentuknya yang digalang oleh perwakilan aktivis persma di Indonesia yang kemudian ditetapkan dalam sebuah Kongres pertama di Yogyakarta pada September 1993) dalam gerakannya masih ditempatkan sebagai gerakan politik. Saya kira tidak semua pegiat persma sepakat jika organisasinya ditarik dalam arus wacana politik, khususnya wacana politik di luar kampus, sebagai pengawal agenda kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil. Sebagian persma lebih memlih isu-isu lokal yang lebih bersinggungan langsung dengan komunitas pembacanya di lingkungan kampus. Beberapa diantaranya malah lebih menyorot gaya hidup mahasiswa, yang secara ideologi jauh dari wacana politik praktis. Kondisi ini harus dipahami karena iklim kehidupan kampus sekarang sudah tak seperti di era Orde Baru. Saya menyebut gerakan ini sebagai gerakan persma kembali ke kampus. Persma menjadi media komunitas.
Apakah ada yang salah jika persma menjadi media komunitas?
Apapun pilihan persma, apakah ingin menjadi media komunitas yang mewadahi isu seputar kampus, atau tetap menjadi media alternative yang mengcover isu di luar kampus, bagi saya keduanya tak ada masalah. Tinggal siapa sasaran pembaca yang dituju, dan kemudian bagaimana cara mengemasnya. Keduanya tetap akan punya pembaca, baik pembaca di lingkungan kampus, maupun pembaca di luar. Saya sepakat dengan FX Sugiyanto, salah satu pembicara dalam Seminar Peran Media dalam Mengawal Ekonomi Kerakyatan, yang mengusulkan agar persma menyorot isu-isu aktual sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Persma yang anggotanya dari fakultas Hukum bisa menyorot masalah kebobrokan hukum dari kacamata akademis, begitu juga yang ada di fakultas Ekonomi, Fisip, Sastra, dan lain-lainnya.
Anggapan bahwa peran persma sekarang tergeser oleh media umum memang ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya tepat. Masih banyak isu yang bisa digarap oleh persma mengingat terbatasnya space yang disediakan oleh media umum (saya sebut sebagi media komersil). Ini berbeda dengan persma, yang secara pengelolaannya relatif lebih lentur. Sebagai gambaran, di media persma bebas memuat tulisan apapun dan sepanjang-panjangnya, toh pegiat persma sendiri yang menentukannya. Di sini persma bisa menyajikan informasi secara tuntas, secara kritis dengan angle yang belum tersentuh oleh media komersil.
Persoalannya, jika di media komersil itu kebijakan redaksi juga terikat dengan kebijakan manajemen secara umum, termasuk juga pemegang saham, maka sebagian besar persma pun hampir sama. Mereka berada di bawah manajemen dekanat maupun rektorat, dan tak jarang dalam prakteknya para birokrat kampus itu turut campur tangan dalam menentukan kebijakan redaksi karena mereka merasa telah mengucurkan dana. Kedua, ketika persma tetap ingin menjadi media alternatif, yang secara cakupan lebih luas, apakah secara SDM persma sudah siap. Apakah awak persma sudah dibekali pengetahuan dan kemampuan jurnalistik yang memadai? Dan ternyata, alih-alih persoalan mendalami ilmu jurnalisme, persma saat ini lebih dihadapkan pada masalah kaderisasi.
Jalan keluarnya, pertama, jika persma tetap ingin menjadi media alternatif yang independen, persma harus melepaskan aliran dana dari pihak rektorat ataupun dekanat. Cara ini barangkali bisa mengurangi campur tangan para birokrat kampus. Dengan mencari dana sendiri, maka persma bisa lebih leluasa, meski secara struktural masih berada di bawah lembaga birokrasi kampus. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan menggalan dana penerbitan dari mahasiswa, yangsecara langsung dikelola oleh persma atau lembaga mahasiswa, bukan oleh kampus. Pertanyaanya, siapkah persma?
Kedua, soal SDM persma, yang diduga baik secara kuantitas dan kualitas mengalami penurunan. Kondisi ini akan menghambat kinerja persma, entah ingin menjadi media komunitas maupun media alternatif. Bagaimana tidak, kita belum bicara masalah kualitas, tapi SDM sendiri masih lemah. Barangkali ada satu-dua anggota yang matang, tapi apakah yang bersangkutan akan seterusnya menjadi anggota persma, sementara studi di kampus dibatasi, maksimal 14 semester bagi mahasiswa Strata I. Ini masalah klasik, setidaknya beberapa kurun waktu belakangan ini, kaderisasi adalah persoalan yang melilit kinerja persma. Sebagai jalan keluar, para pegiat persma harus bisa memetakan kebutuhan yang lebih mendesak, tentu saja sesuai kemampuan awak kru yang ada. Setahap demi setahap, dengan pembenahan sistem kaderisasi, mungkin (tidak pasti lo), akan bisa mengurai persoalan teknis ini.
Kembali persoalan reposisi persma, posisi apapun yang diambil oleh media, termasuk persma adalah sah hukumnya. Media apapun, termasuk juga persma, selama dikerjakan dengan metode kerja jurnalistik secara benar, maka hasil karyanya disebut karya jurnalistik. Oleh karenanya, siapapun yang mengerjakannya berhak mendapatkan lindungan dibawah UU Pers. Jadi wartawan mahasiswa, pede aja lagi…
*ingin diskusi seputar jurnalisme, pers mahasiswa dan media secara umum, gabung saja di milis jurnalisme-sastrawi@yahoogroups.com.
PPMi kayake lebih baik dibubarkan ya, mas?
ReplyDeleteehmm...nggak juga sih.teman-teman persma tetap butuh sebuah organ induk, wadah. entah itu apa namanya.kebetulan di tingkat nasional sudah PPMI.ya dimanfaatin saja.untuk apa,jalin silaturahmi, tukar komunikasi.dan tentu saja untuk jalin solidaritas, misal salah satu persma sedang menghadapi masalah di kampusnya.organ itu bisa membantu mengadvokasi.nah,PPMI minimal bisa difungsikan untuk ini.entah apa masalahnya,yang saya temukan PPMI lebih banyak didominasi persma dari Indonesia bagian timur, seperti Surabaya, Makassar, dan memang ada juga Yogya,Semarang, Bandung.apakah teman2 persma terlalu disibukkan dengan urusan internal, atau memang nggak perlu.saya tak tahu persis karena saya juga bukan pengurus PPMI,LPM kami juga tak terlibat jauh di keanggotaan PPMI.Cuma kalau diundang kami ya tetap datang.
ReplyDeleteHidup PMI!
ReplyDelete"ya dimanfaatin saja.untuk apa,jalin silaturahmi, tukar komunikasi.dan tentu saja untuk jalin solidaritas"
ReplyDeletehmmm.... dulu ppmi ditawarin gitu gak mau. malah mencak-mencak.
btw, sampe sekarang isunya masih reposisi melulu? duh persma, piye tho. negara mo bubar besok masih aja ngomongin yang sama dari 7 tahun lalu. ya reposisi, revitalisasi, reinvensi, segala macem re-re-re dipake. yang keliatan ya pancet wae.
tentang dana. mau dari siapa aja gak masalah. termasuk rektorat/dekanat. yang penting tidak menggoyahkan sikap, terutama kalau diintervensi. duit terima, tapi kalau harus disikat ya gasak aja.
tentang sdm. rasanya masalah hanya pada metode yang harus dirubah.
salam kenal yaaa...