26 December 2004

Antara Idealisme dan Kebutuhan

Dalam keadaan ekonomi yang serba sulit seperti sekarang ini, mencari pekerjaan memang tak mudah. Menjadi pegawai swasta jelas tidak memberi jaminan, karena sewaktu-waktu bisa terancam PHK (putus hubungan kerja) ketika perusahaan yang bersangkutan terancam bangkrut. Alternatifnya adalah menjadi PNS. Walaupun dengan gaji yang relatif tidak terlalu besar, akan tetapi jaminan masa depan menjanjikan.

Tanggal 24 November yang lalu, seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dilaksanakan secara serentak di seluruh daerah di Indonesia. Dari data yang dihimpun dari berbagai media, peminat CPNS kali ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Terlihat ketimpangan yang sangat mencolok antara pendaftar dan formasi yang dibutuhkan.

Ternyata memang benar, menjadi PNS menjanjikan jenjang karir seseorang. Kenaikan jenjang dilakukan secara regular tanpa ada persaingan yang ketat seperti di swasta. Hematnya, kalau yang bersangkutan sudah bertahun-tahun mengabdi maka jenjang karir akan secara otomatis mengebirinya. Belum lagi tunjangan dana pensiun dan berbagai fasilitas kenyamanan lainnya menjadi alasan kuat mengapa masyarakat kita mati-matian menginginkan posisi ini.

Kondisi tersebut menjadikan iklim kerja di lingkungan PNS tidak kondusif. Karena sudah ada jaminan, dimanjakan dengan berbagai macam fasilitas, mereka menjadi malas untuk bekerja secara maksimal. Akhirnya banyak PNS yang keluyuran pada waktu jam kerja.

Di lain pihak, menjadi PNS ternyata juga memberikan citra yang positif di masyarakat. PNS menjadi sosok yang disegani oleh setiap orang. Hal ini masih berlaku sampai tempo terakhir ini. Sehingga meski sadar harus membayar mahal, banyak lulusan perguruan tinggi rela menggadaikan ijazahnya untuk mendapatkan status ini.

Melihat kondisi dilematis tersebut, tak dapat dipungkiri praktek KKN masih mewarnai penerimaan CPNS tahun ini. Sebuah fenomena rutin yang selalu saja terulang tiap tahunnya. Setiap kali ada penerimaan CPNS saat itu pula masyarakat kita sibuk memanfaatkan peluang. Kedua belah pihak tampak saling membutuhkan, satu pihak butuh pekerjaan, satu pihak lain juga butuh tambahan penghasilan.

Begitulah keadaan masyarakat kita dari dulu sampai sekarang. Kuliah hanya untuk mencari ijazah. Setelah itu, ijazah digadaikan untuk menjadi PNS. Sayangnya, meski perubahan sering digemborkan mahasiswa sendiri belum bisa meninggalkan stigma masyarakat skizrofenis. Di satu sisi mengecam, di lain pihak mereka masih menikmatinya.

Penyelesaian persoalan ini memang akan terasa absurd selama belum ada komitmen dan sikap tegas dari semua pihak untuk tidak akan mengulangi praktek KKN. Bagaimanapun juga, paradigma korupsi berjamaah tidak hanya terjadi dalam satu departemen, namun sudah merambah ke semua lini pemerintahan.

Untuk memutus mata rantainya, implementasi hukum harus tegas. Idealnya mulai dari kejaksaan, kepolisian yang merupakan aparat penegak hukum harus dibersihkan. Tidak mungkn kita dapat membersihkan lantai yang kotor, dengan sapu yang berlumuran lumpur, tentu akan bertambah kotor. Begitu juga tidak mungkin bangsa ini dapat mmbersihkan praktek korupsi selama aparat penegak hukumnya sendiri juga melakukan praktek yang sama.

Kesadaran Masyarakat
Masalah ketenagakerjaan dan pengangguran sampai saat ini masih menjadi persoalan klasik. Keadaan ekonomi yang belum menunjukkan titik cerah, ketegangan politik yang belum juga reda akibat pergulatan para elitnya untuk melindungi kepentingan pribadi dan partainya, ditambah lagi hutang negara yang kian menggunung melengkapi penderitaan bangsa ini.

Hal ini menjadi pilihan pahit bagi para lulusan perguruan tinggi. Idealisme mereka akan dihadapkan pada realita dunia kerja dan budaya masyarakat kita. Realita dunia kerja yang jauh dari yang mereka angankan sebelumnya. Ilmu yang diajarkan di bangku perkuliahan cenderung bersifat teoritis, seringkali sangat tidak sesuai dengan realita yang ditemukan di lapangan.

Konstruksi pemahaman masyarakat bahwa menjadi PNS akan memberikan jaminan hidup justru akan menyesatkan di kemudian hari. Karena setelah tahu bahwa ternyata pendapatannya tidak seperti yang diharapkan, maka mereka akan mencari celah penghasilan lain untuk menebus dana yang sudah dikeluarkan untuk menjadi PNS. Dan kekecewaan itu akan terus berlanjut, dari generasi ke generasi berikutnya, hingga akhirnya akan melestarikan praktek KKN di negeri ini.

Gagasan memberlakukan kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi untuk menyiapkan mahasiswa ke dunia kerja sebenarnya sangat tepat dilakukan ketika juga dibarengi dengan konsep yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan pembatasan yang tegas antara kurikulum yang ditawarkan kepada mahasiswa program diploma dan SI agar tidak terjadi tumpah tindih kurikulum karena orientasi praktis di dunia kerja keduanya pun berbeda. Mahasiswa SI yang disiapkan untuk menjadi ilmuan yang ahli dibidangnya dan mahasiswa diploma yang memang disiapkan untuk menjadi tenaga profesional siap kerja.

Di sisi lain, penyusunan kurikulum harus bisa menampung kebutuhan realita dunia kerja. Materi perkuliahan yang sudah tidak relevan, disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan di lapangan tanpa menggeser orientasi pendidikan yang sesungguhnya. Selanjutnya, kurikulum yang disusun juga harus lebih banyak melibatkan peran aktif mahasiswa dalam aktivitas perkuliahan daripada peran monoton seorang dosen. Pemberian materi perkuliahan dapat disajikan dalam bentuk diskusi sehingga tidak akan membosankan.

Yang tidak kalah penting, pola pendidikan karbitan harus diubah. Kuliah cepat, IP tinggi bukan merupakan solusi untuk mendapatkan jaminan pekerjaan. Akan lebih baik jika mahasiswa dimatangkan terlebih dahulu sebelum mereka meninggalkan bangku perkulihan dengan ditunjang aktivitas akademik maupun non akademik yang kelak akan berguna ketika mereka terjun di masyarakat.

Sudah saatnya lulusan perguruan tinggi mulai memikirkan bagaimana seharusnya mereka bisa menciptakan pekerjaan tidak hanya menitipkan semua harapannya pada bangsa yang sedang kesakitan ini. Minimal bisa menyediakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri, dan akan lebih baik bila dapat melibatkan orang disekitarnya.

Dengan seperti ini, secara bertahap akan mengurangi angka pengangguran. Sosok generasi muda seperti inilah yang bisa diharapkan untuk memperbaiki kehidupan bangsa ke depan.

*Dipublikasikan di Suara Merdeka, 23 Desember 2005

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment