23 May 2005

Buat Andreas Harsono,

Saya akan berbagi cerita tentang pengalaman saya dalam mengenal Anda. Saya belum begitu lama mengenal Anda. Pertama kali kontak dengan Anda saat Hayamwuruk akan mengadakan workshop jurnalisme sastrawi, sekitar bulan Oktober 2004.

Saat itu saya mengenal Anda melalui tulisan-tulisan Anda di majalah Pantau. Diam-diam saya juga bergabung di milis Pantau Komunitas. Meski saya hanya jadi pendengar setia. Sekilas saya menarik kesimpulan bahwa anda adalah orang yang keras kepala. Terlihat dari pemikiran-pemikiran yang keras. Kok ada ya orang seperti ini?, pikir saya saat itu.

Saya mengenal majalah Pantau dari para senior di Hayamwuruk. Majalah itu sering kami jadikan bahan diskusi. Kami pun kemudian sepakat untuk "meniru" teknik penulisan Pantau. Oleh karenanya, mulai edisi terakhir, Hayamwuruk bermigrasi dari format ala Tempo menjadi ala Pantau.

Kami menerima kabar gembira saat salah seorang pengelola Hayamwuruk mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus jurnalisme sastrawi di Pantau. Itu merupakan keenam kalinya Pantau mengadakan kursus serupa.Ia adalah Hendra Wibawa. Ia banyak bercerita tentang aktivitasnya selama mengikuti kursus.

Dalam diskusi kecil muncul pertanyaan. Kenapa pelatihan seperti itu tidak diadakan khusus untuk mahasiswa, bukankah ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas produk pers mahasiswa? Alasan tersebut yang melatarbelakangi keinginan kami untuk mengadakan kursus jurnalisme sastrawi bagi pers mahasiswa nasional.

BULAN Januari, awal tahun lalu, akhirnya saya bisa bertemu Anda. Tepatnya saat Pantau mengadakan kursus jurnalisme sastrawi yang ke tujuh. Itu pertama kalinya saya bertemu Anda. Saya masih agak canggung meski Anda bersikap amat ramah sebagai orang yang baru kenal. Maklum orang Jawa, sok malu-malu padahal mau, hik hik, kasihan deh saya.

Saya terlibat perbincangan dengan Anda saat berkunjung ke apartemen. Wuah, seketika itu juga anggapan-anggapan saya sebelumnya runtuh. Masak sih Andreas orang yang sangat keras kepala atau angkuh. Justru sebaliknya, apa yang saya dapati dia sangat rendah hati. Ya, kalau bukan karena rendah hati itu, mana mungkin ia mau ngobrol dengan orang awam seperti diriku. Bukankah dia adalah seorang wartawan yang hebat. Yang tak hanya di kenal dari Sabang sampai Merauke, tapi juga di berbagai belahan bangsa lain.

Kekagetan-kekagetan saya tak berhenti di situ. Dia ternyata mau mendengarkan pandangan dari orang lain. Bahkan untuk sekadar keluh kesah. Tak hanya itu, saya tak habis pikir, dia juga tak segan untuk minta komentar dari orang yang sangat awam sekalipun seperti saya. Seperti peristiwa yang terjadi pertengahan bulan Mei belum lama ini, saat saya dan kedua teman saya menginap di tempat Anda. Saat itu Anda menyodorkan naskah berbahasa inggris dan meminta saya untuk mengomentarinya. Dalam benak saya, "lha, po wis edan (apa aku dah gila), aku ngasih komentar untuk tulisan Andreas".

Bulan Februari lalu, selama tanggal 7-12, pelatihan yang direnacakan dilaksanakan di Semarang. Dalam kesempatan itu, Agus Sopian dan Linda Christanty, menjadi instruktur. Ditambah lagi Juwendara, salah seorang alumni kursus jurnalisme sastrawi di Pantau.

Agus Sopian adalah orang yang amat menyenangkan. Dia tak hanya pinter menulis, tapi juga mahir ngebanyol. Saya teringat saat salah seorang peserta perempuan dijebak pertanyaan berapa ukuran bra-nya. Perempuan itu tersipu malu. mukanya merah tak karuan. Tapi toh akhirnya ia menjawab juga. Setelah mendapat jawaban itu, Kang Agus baru memberi tahu kalau apa yang dilakukanya itu adalah trik untuk mengorek informsi dari yang bersifat umum sampai yang sangat bersifat personal. Beberapa orang yang tahu kemudian pun tak mampu menahan tawa.

Linda Christanty juga mempunyai kepribadian yang tak kalah menyenangkan. Dia lincah dalam menyampaikan materi. Salah seorang peserta bilang kalau mbak Linda orangnya manis. Sampai-sampai dia bertanya tentang statusnya saat itu. Hanya saja, pada acara itu dia kurang banyak bergaul dengan peserta. Ia banyak mengurung di kamar seusai menyampaikan materi di kelas. Katanya, ia sedang mempersiapkan 'kencannya' dengan Japan Foundation gara-gara cerpennya "Kuda Panggang Mario Pinto" itu. Pantas saja ia pulang satu hari lebih awal.

Dari situ saya banyak mengenal karakter orang-orang Pantau. Mas Andreas, Kang Agus, mbak Linda. Anda semua orang yang amat menyenagkan.

Dalam perbincangan dengan Ikram, awal bulan Mei lalu saat ketemu di Bandung, ia mengaku terkejut saat tulisannya dikomentari oleh Mas Andre."wuah, gue senang banget tulisan gue dikomentari sama Andreas Harsono", tuturnya. Di atas dipan tempat tiduranya saya menemukan dua lembar kertas ditempel di dinding kamar kos-kosnya yang tak terlalu luas itu."itu adalah komentar dari kang Agus, saat aku nulis di Boul (boulevard, pers mahasiswa ITB)", sahutnya.

Saya coba menangkap raut ceria di wajah Ikram. Ada apa dengan komentar Andreas, ada apa juga dengan komentar Agus Sopian, sampai-sampai Ikram memajangnya di atas tempat tidurnya. Apakah itu berlebihan?Saya mencoba menjawab dengan pengakuan sama seperti yang saya alami. Kenapa juga saya merasa begitu bangga bisa kenal orang-orang Pantau itu?

Dalam perbincangan kecil dengan Ikram, saya menemukan jawaban. "karena mereka sangat memperhatikan kami". Ikram tak menolak. Orang-orang seperti Andreas, Kang Agus, ini lah yang masih mau meluangkan waktu untuk memperhatikan perkembangan para calon wartawan, pers mahasiswa ini dan media Indonesia pada umumnya.

*Usai liputan majalah Hayamwuruk, Bandung-Jakarta, 7-14 Mei 2005

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment