25 May 2005

The Da Vinci Code: Thriller yang Cerdas*

Oleh Leny Nuzuliyanti**


Judul buku : The Da Vinci Code
Penulis : Dan Brown
Penerjemah : Isma B. KOesalamwardi
Jumlah halaman : 641 halaman
Cetakan : I, Juli 2004
Penerbit : Serambi, Jakarta


The Da Vinci Code pertama kali diterbitkan oleh penerbit Double Day penerbit di Amerika. The Da Vinci Code begitu mengguncang sejak awal kemunculannya pada bulan April 2003. Hingga kini, karya ini telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa. Per 20 Maret 2005, angka penjualannya telah mencapai 18 juta kopi.

Di Indonesia, The Da Vinci Code diterbitkan oleh Penerbit Serambi. Dirilis pertama kali pada Juni 2004. Dalam waktu 10 bulan, telah mengalami 15 kali cetak ulang dan telah terjual sebanyak 70.000 eksemplar. Dalam versi Indonesia, The Da Vinci Code terbit dalam dua edisi: edisi soft cover dengan kertas koran seharga Rp. 74.900,00 per eksemplar, dan edisi hard cover dengan kertas HVS seharga Rp. 99.000,00. Angka penjualan tersebut begitu fantastis untuk ukuran Indonesia. Barangkali hanya bisa ditandingi oleh Harry Potter tulisan J.K. Rowling dan Jakarta Undercover tulisan Moamar Emka.

The Da Vinci Code mengusung tema yang akan menikam jantung keimanan Katholik tentang pernikahan rahasia Yesus Kristus dengan Maria Magdalena dan keturunan mereka yang masih bertahan hidup hingga zaman modern ini.

Cerita diawali dengan petualangan Robert Langdon, seorang profesor simbologi agama dari Havard University yang terjebak dalam konspirasi yang diciptakan oleh Sir Leigh Teabing, sejarawan Grail Inggris, selama enam bulan sebelumnya.

Konspirasi itu berawal ketika Sir Leigh Teabing mendengar kasak-kusuk bahwa Vatikan akan mencabut dukungan kepada Opus Dei, gereja Katholik konservatif. Dengan menyamar sebagai Guru, Sir Leigh Teabing menawarkan kekuasaan pada Uskup Aringarosa, pemimpin Opus Dei, berupa Dokumen Sangreal. Dokumen itu hanya bisa dibuka dengan Batu Pengunci.

Uskup Aringarosa menyuruh Silas, anak asuhnya, untuk mencari Batu Pengunci di Paris. Informasi tentang Batu Pengunci didapat Silas dari anggota Priory of Sion, yang terdiri dari seorang grand master atau pemimpin dan tiga orang senechaux atau pengawal. Setelah mendapat informasi yang diinginkannya, Silas membunuh keempatnya. Namun Silas kecele karena ternyata dia tidak mendapati Batu Pengunci yang dicarinya di Gereja Saint Sulpice.

Grand master Priory of Sion adalah Jacques Saunaire. Jacques Saunaire sendiri sehari-hari bekerja sebagai kurator di Museum Louvre. Priory of Sion adalah sebuah persaudaraan kuno yang bersetia menjaga kemurnian ajaran agama Kristen yang tertuang dalam sekumpulan dokumen penting –Sangreal, Sangraal, Angreal, atau Holy Grail- tanpa perduli berapa lama waktu yang mereka butuhkan.

Sebelum mati di tangan Silas di Museum Louvre, Jacques Saunaire meninggalkan kode agar dalam penyidikan kematiannya, polisi melibatkan Sophie Neveu, cucunya, yang bekerja di Departemen Kriptologi. Di sinilah keterlibatan Robert Langdon bermula. Dia dicurigai sebagai pembunuh Jacques Saunaire karena Jacques Saunaire menulis namanya sebagai bagian dari kode di samping mayatnya. Selain itu, nama Robert Langdon juga tercantum dalam daily planner Jacques Saunaire: keduanya ada janji untuk minum pada waktu terbunuhnya Jacques Saunaire.

Sophie Neveu tahu bahwa pelibatan Robert Langdon oleh Bezu Fache, kapten Polisi Pengadilan Perancis, merupakan jebakan untuk menyelamatkan reputasinya sendiri. Sophie Neveu merasa bahwa ketika kakeknya mencantumkan nama Robert Langdon, bukannya tanpa tujuan. Berikutnya, Robert Langdon memang banyak membantu Sophie Neveu memecahkan kesulitan yang dihadapi Sophie Neveu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang ahli simbologi agama.

Sophie Neveu lantas menyelamatkan Robert Langdon dari cengkeraman Bezu Fache. Akibatnya, Robert Langdon dan Sophie Neveu menjadi buronan begitu keluar dari Museum Louvre. Bezu Fache yang melibatkan Interpol menyulitkan pelarian Sophie Neveu dan Robert Langdon.

Jacques Saunaire mewariskan sesuatu untuk Sophie Neveu di Bank Penyimpanan Zurich. Warisan Jacques Saunaire berupa sebuah kotak kayu berukir mawar yang berisi cryptex. Pelarian mereka dari Bank Penyimpanan Zurich dibantu Andre Vernet, direktur bank itu yang sekaligus kawan baik Jacques Saunaire.
Perjalanan mereka berlanjut ke Puri Villette, kediaman Sir Leigh Teabing. Sir Leigh Teabing alias Guru sudah memersiapkan segalanya. Dia memerintah Silas mengincar cryptex yang dibawa Robert Langdon dan Sophie Neveu yang diduganya sebagai Dokumen Sangreal. Keadaan menjadi runyam ketika Silas berusaha merebut cryptex itu tanpa tahu bahwa Guru yang selama ini menyembunyikan identitasnya sebenarnya adalah Sir Leigh Teabing.

Sir Leigh Teabing membantu Sophie Neveu dan Robert Langdon melarikan diri karena polisi berhasil mengejar keduanya hingga ke rumahnya. Mereka meninggalkan Perancis dengan pesawat pribadi Sir Leigh Teabing, Elizabeth, dari bandara Bourget. Tujuan mereka adalah Bandara Biggin, Inggris.

Dalam perjalanan itu, terkuaklah penyebab rusaknya hubungan Sophie Neveu dan kakeknya. Sepuluh tahun silam, Sophie Neveu menyaksikan upacara Hieros Gamos, ritual pernikahan suci, yang menobatkan Jacques Saunaire sebagai grand master Priory of Sion. Sophie Neveu tak tahu apapun tentang Hieros Gamos. Di mata Sophie Neveu, apa yang dilihatnya adalah sebuah sebuah upacara seks. Sejak saat itu Sophie Neveu tak mau lagi berhubungan dengannya. Sophie Neveu menyesal setelah tahu semuanya dari penjelasan Robert Langdon.

Di Bandara Biggin, Bezu Fache sudah bersiap menyambut rombongan Sir Leigh Teabing dengan bantuan polisi setempat. Sir Leigh Teabing berhasil menyelamatkan Sophie Neveu, Robert Langdon, dan Silas yang disekapnya dari polisi dengan bantuan Remy Lagaludec, pembantunya.

Mereka menuju Gereja Kuil yang ditengarai menyimpan kunci pembuka cryptex itu. Kekacauan terjadi ketika Remy membebaskan Silas dan bersama-sama berpura-pura menyandera Sir Leigh Teabing untuk mendapatkan cryptex yang masih berada di tangan Sophie Neveu dan Robert Langdon.

Setelah cryptex itu berpindah tangan, Sophie Neveu dan Robert Langdon menuju perpustakaan King’s College untuk melakukan riset tentang Dokumen Sangreal. Sedangkan Remy Lagaludec, Silas, dan Sir Leigh Teabing menuju St. James Park dengan limosin Sir Leigh Teabing. Di sana Silas harus turun dan beristirahat di markas Opus Dei London.

Remy Lagaludec membebaskan Sir Leigh Teabing yang tak lain adalah Guru. Sir Leigh Teabing lantas membunuh Remy Lagaludec dengan meracun minumannya karena Remy Lagaludec lah satu-satunya yang mengetahui identitasnya sebenarnya. Sir Leigh Teabing mengambil cryptex yang diduganya sebagai Dokumen Sangreal dari Remy Lagaludec dan mencari kunci pembukanya di dalam Wesminister Abbey, salah satu katredal paling terkenal di Inggris Raya.

Polisi dan Uskup Aringarosa mengejar Silas di markas Opus Dei London. Uskup Aringarosa sudah tahu semuanya –bahwa dia dan Silas hanya diperalat oleh Guru alias Sir Leigh Teabing- dari Kapten Bezu Fache. Penyadapan yang dilakukan Remy Lagaludec atas perintah Sir Leigh Teabing di loteng Puri Villette ditemukan Letnan Collet menyediakan banyak informasi tentang konspirasi Sir Leigh Teabing. Saat menghindari polisi, tanpa sepengetahuan Silas, pelurunya bersarang dalam tubuh Uskup Aringarosa.

Di Wesminister Abbey, Sir Leigh Teabing tak menemukan kata kunci pembuka cryptex yang dibawanya. Melihat kedatangan Sophie Neveu dan Robert Langdon, Sir Leigh Teabing berpikir untuk mengalihkan perhatian mereka ke Chapter House, sebuah gazebo segi delapan yang dulu biasa dipakai sebagai ruang sidang.

Di Chapter House, ketiganya bertemu. Sophie Neveu dan Robert Langdon terkejut mengetahui bahwa penculikan Sir Leigh Teabing adalah rekayasanya sendiri. Sir Leigh Teabing menyandera Sophie Neveu. Bagaimanapun juga, Sir Leigh Teabing masih membutuhkan bantuan Robert Langdon untuk membuka cryptex itu. Pun Robert Langdon bisa membuka cryptex itu, Robert Langdon memilih membiarkan cryptex itu pecah dan menyimpan sendiri papirus di dalamnya. Polisi yang mendapat laporan dari penjaga Wesminister Abbey akan kedatangan Sir Leigh Teabing menangkap Sir Leigh Teabing di Chapter House.

Sophie Neveu dan Robert Langdon meneruskan perjalanan menuju Kapel Rosslyn, 7 mil ke arah selatan dari Eidenburg, sesuai petunjuk yang terdapat dalam papirus. Mungkin di sana terletak Dokumen Sangreal. Sophie Neveu merasa mengenali gereja itu. Kakeknya pernah membawanya ke tempat itu semasa masih kecil. Sophie Neveu menemui pimpinan Kapel Rosslyn yang tak lain adalah neneknya.

Rahasia kehidupan Sophie Neveu terkuak. Sophie Neveu sebenarnya adalah keturunan langsung dari keluarga Merovingram, keturunan langsung Yesus Kristus dan Maria Magdalena. Kecelakaan mobil yang menewaskan kedua orang tua Sophie Neveu ditengarai telah direncanakan –mungkin oleh Vatikan yang memang selalu berusaha menghabisi keturunan Yesus Kristus – Maria Magdalena. Untuk melindungi cucunya, Jacques Saunaire memutuskan untuk hidup di tempat terpisah dari istrinya. Jacques Saunaire mengasuh Sophie Neveu, sementara istrinya mengasuh adik Sophie Neveu. Keduanya hanya bertemu setiap upacara Hieros Gamos pada setiap awal musim semi di bulan Maret.

Robert Langdon kembali ke Perancis dan meninggalkan Sophie Neveu di Eidenburg untuk sementara waktu tinggal bersama keluarganya yang baru saja berkumpul setelah sekian lama tercerai berai. Beberapa hari setelah istirahatnya cukup, Robert Langdon merasa bahwa dia tahu dimana Dokumen Sangreal sesungguhnya tersembunyi. Diikutinya petunjuk dalam papirus peninggalan Jacques Sauniere. Perjalanan Robert Langdon berakhir pada Le Pyramid Inversee di depan Museum Louvre. Robert Langdon berlutut merasai suara Maria Magdalena karena sesungguhnya pencarian Dokumen Sangreal adalah keinginan untuk berlutut di depan tulang belulang “perempuan suci yang terbuang”.

TIDAK sedikit kritik yang dialamatkan pada Dan Brown selaku penulis The Da Vinci Code maupun Doubleday selaku penerbit. Brown membuka diskusi terbuka tentang The Da Vinci Code melalui website-nya, www.danbrown.com. Menanggapi kritik yang menghujaninya, Brown hanya berkomentar, “It’s a work of fiction.” Sementara penerbit Double Day hanya memberi keterangan bahwa Brown sedang berkonsentrasi dengan buku terbarunya.

Vatikan sendiri, setelah sekian lama berdiam, akhirnya mengeluarkan tanggapan. Cardinal Tarciso Bertone dari Genoa dalam Vatican Radio seperti dikutip Washinton Post, 20 Maret 2005, menyatakan bahwa tak seorangpun seharusnya membaca The Da Vinci Code dan sudah waktunya toko buku Katholik berhenti menjual buku itu.
Sekurang-kurangnya 20 buku telah ditulis untuk menangkis apa yang dikatakan Brown dalam The Da Vinci Code. Tiga diantaranya adalah The Da Vinci Hoax tulisan Carl E. Olson, seorang editor majalah Envoy, dan Sandra Miesel, seorang ahli abad pertengahan dan mantan jurnalis Katolik; Breaking The Da Vinci Code tulisan ... (CEK!); dan Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code tulisan ... (CEK!). Beberapa gereja sampai membuat brosur dan memberikan studi pendampingan bagi mereka yang telah membaca The Da Vinci Code dan mempertanyakan keimanannya. Hal ini ditempuh karena ternyata tak sedikit orang yang merasa keimanannya terguncang setelah membaca The Da Vinci Code.

Selain materi, referensi yang digunakan oleh Brown dalam The Da Vinci Code juga diragukan kredibilitasnya. Sebagai contoh Holy Blood, Holy Graill tulisan Michale Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln yang dikenal sebagai penulis fiksi yang senang berfantasi dan menghubung-hubungkan Maria Magdalena, kaum Merovingian, kaum Kathar, legenda “Piala Suci” (Holy Grail), dan sebagainya. Buku-buku lain seperti The Gnostic Gospel (Elain Pagels); The Templar Revelation: Secret Guardians of the True Identity of Christ (Lyn Picknett & Clive Prince), The Godess In The Gospels: Reclaiming The Sacred Feminine dan The Woman with Alabaster Jar: Mary Magdalen and the Holy Grail (Margaret Starbird) juga dianggap tidak valid. Brown pada halaman pertama The Da Vinci Code mencantumkan sumber-sumber tersebut sebagai “fakta”.

Sebenarnya, The Da Vinci Code bukanlah satu-satunya buku yang menyerang sensi-sendi iman Khatolik. Jesus Christ Superstar yang digarap oleh Andrew Lioyd Webber bercerita tentang affair Yesus dan Maria Magdalena. Demikian halnya The Last Temptation of Christ yang disutradarai Martin Scorsese. Sayangnya, baik Jesus Christ Superstar maupun The Last Temptation of Christ tidak begitu fenomenal seperti The Da Vinci Code.
Saat ini, Penerbit Serambi tengah mempersiapkan The Da Vinci Code dalam edisi bergambar. The Da Vinci Code versi ilustrasi itu akan dirilis bersamaan dengan karya Brown yang lain, Digital Forstress yang diterjemahkan menjadi Titik Muslihat, pada Juli 2005.

The Da Vinci Code tak luput dari perhatian Hollywood. Saat ini sedang digarap oleh Columbia-Tristars Pictures. The Da Vinci Code versi film disutradarai oleh Ron Howard yang juga pernah menyutradarai A Beautiful Mind dam dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini baru akan dirilis pada November 2005.


*Dipublikasikan di Hawe Pos, edisi 12/Mei/2005, dalam rubrik Pustaka.
**Pemimpin Perusahaan LPM Hayamwuruk

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment