Pergantian akhir 2004 diliputi suasana berkabung. Tak ada gemerlap layaknya perayaan menandai pergantian awal tahun. Penyambutan detik-detik tahun baru kali ini diwarnai air mata pedih. Beberapa warga tampak khusyuk berdoa untuk para korban bencana alam yang melanda Aceh dan Sumatera Utara pada Minggu 26 Desember menjelang akhir tahun lalu.
Dalam peristiwa itu, tak terhitung lagi korban dan kerugian yang diderita warga setempat. Mayat-mayat bergelimpangan tertimbun reruntuhan bangunan. Dalam sekejap, harta benda mereka hancur luluh diterjang badai tsunami. Sedangkan warga yang masih tersisa hanya bisa menangis. Tak ada lagi yang dimilikinya, kecuali sepotong kain compang-camping yang melekat di tubuh. Banyak warga yang kehilangan orang-orang tercintanya. Ayah, ibu, anak, sanak keluarga, dan teman dekat entah di mana.
Selang sehari setelah peristiwa tersebut, pemerintah menyatakan, bencana yang melanda warga Aceh dan Sumatera Utara itu merupakan bencana nasional. Beberapa stasiun televisi kemudian marak menayangkan program Indonesia Menangis. Seketika itu juga masyarakat luas terharu setelah menyaksikan cuplikan peristiwanya di layar kaca.
Kita bisa menyaksikan, peristiwa tersebut mampu mengetuk hati setiap manusia. Beberapa media, cetak maupun elektronik, termasuk koran ini, dan beberapa sukarelawan menggelar penggalangan dana dari masyarakat. Tak pandang suku, ras, maupun agama, semua elemen berbaur mengulurkan bantuan kepada para korban.
Berbagai elemen mahasiswa ambil bagian dalam aksi solidaritas penggalangan dana kemanusiaan tersebut. Mereka turun ke jalan-jalan dan dari mal ke mal mengetuk hati setiap orang yang ditemuinya. Bahkan, mereka rela berhujan-hujanan sambil menengadahkan "kotak amal" di pinggir-pinggir jalan. "Penderitaan kami ini belum seberapa. Biarlah kami membantu penderitaan rakyat di Aceh," ujar salah seorang mahasiswa di Semarang (koran ini, 31/12/2005).
Tetap Waspada
Dalam berbagai keadaan apa pun, mahasiswa dan masyarakat diharapkan tetap waspada. Tidak menutup kemungkinan, di tengah-tengah mengucurnya dana dari masyarakat, ada oknum atau pihak-pihak yang hanya ingin mencari keuntungan. Karena itu, diperlukan badan pengawas untuk memonitor penyaluran dana kemanusiaan kepada para korban.
Badan pengawas idealnya dibentuk organisasi nonpemerintahan (NGO) agar bisa berjalan independen. Badan pengawas tersebut nanti harus melaporkan hasil pengawasannya kepada masyarakat. Badan pengawas itu idealnya juga diberi otoritas untuk melaporkan setiap pelanggaran yang ditemukan di lapangan kepada pihak yang berwenang.
Bantuan-bantuan berupa kebutuhan pokok seperti pakian pantas pakai, makanan, dan air bersih sebaiknya lebih diprioritaskan karena sangat dibutuhkan korban. Bila kebutuhan pokok tersebut tidak segera dipenuhi, kelaparan dan wabah penyakit akan menyebar luas. Karena itu, distribusi serta mobilisasi pengerahan bantuan harus dilakukan secara cepat.
Dalam hal ini, ketersediaan transportasi sangat penting untuk mengangkut barang-barang itu ke tempat tujuan. Namun, banyak kendala ditemukan di lapangan. Beberapa medan masih terisolasi dan belum bisa dilalui kendaraan darat. Sedangkan ketersediaan transportasi udara dari pemerintah cukup terbatas.
Sayangnya, relawan dan masyarakat yang ingin membantu pengevakuasian korban mengalami kesulitan. Sebab, selain belum terlatih, mereka tidak didukung perlengkapan memadai. Di sisi lain, TNI yang lebih profesional menangani kasus tersebut memiliki keterbatasan personel. Sedangkan di sisi lain, mereka masih mempunyai tanggung jawab terhadap pertahanan negara. Lantas, siapa yang akan menangani bila tiba-tiba ada kerusuhan di luar Aceh, misalnya, saat semua kekuatan TNI dipusatkan untuk penanganan korban bencana di Aceh?
Idealnya, negara harus memiliki satuan khusus terlatih yang profesional untuk menangani kasus tersebut. Satuan itu bisa direkrut dari masyarakat sipil. Satuan khusus tersebut juga harus stand by setiap saat. Sehingga, bila ada kejadian serupa, tenaga penolong bisa segera dikerahkan. Agar mereka bisa bekerja maksimal, ada baiknya mereka diangkat layaknya PNS dan tentu diberi gaji sepantasnya.
Rehabilitasi
Setelah kebutuhan pokok untuk korban relatif teratasi, hal lain yang sangat mendesak dilakukan pemerintah adalah menyediakan tempat tinggal bagi para korban. Sebab, para korban pascabencana sebagian besar sudah tak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, pemerintah bertanggung jawab untuk mengusahakan penyediaan tempat tinggal yang layak bagi mereka.
Bencana yang menimpa warga Aceh dan Sumatera Utara tidak hanya menyisakan korban fisik. Namun, trauma juga masih akan terus membayangi para korban. Bagaimana tidak, kejadian yang dalam sekejap dan tidak disangka-sangka itu menghancurkan segala yang mereka miliki. Kekhawatiran akan terulangnya kembali hal serupa tidak bisa dihindarkan.
Kekhawatiran serupa juga akan dialami warga yang tinggal di daerah-daerah yang rawan gempa. Mereka akan memilih daerah lain yang dianggap lebih aman untuk bertahan hidup. Akibatnya, akan terjadi migrasi besar-besaran ke daerah lain. Bila hal tersebut terjadi, pemerintah akan kewalahan karena akan terjadi kepadatan penduduk yang tidak merata.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur saja tidak cukup. Pemerintah juga harus memikirkan sistem manajemen teknologi pencegahan serta penanggulangan bencana. Dengan demikian, korban pascabencana di Aceh dan Sumatera Utara beserta warga Indonesia pada umumnya bisa menikmati hidup lebih aman. ***
*Jawa Pos, 03 Januari 2005
No comments:
Post a Comment