27 April 2005

Antara Jurnalisme dan Sastra

Tanggapan untuk Rieke di Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra, Universitas Lampung.

Mohon maaf, saya lupa menyebutkan bahwa sastra yang saya maksudberlaku untuk karya sastra dalam arti sempit (novel, cerpen, puisidll) tidak merambah ke soal jurnalisme. Jurnalisme dan karya fiksijelas beda. Meski jurnalisme ditulis dengan mengadopsi modelpenulisan fiksi, bukan berarti karya jurnalisme sama seperti karyafiksi.Teknik penulisan dengan model Jurnalisme sastra hanya menduplikasiteknik penulisan yang dipakai dalam penulisan karya sastra dalam artisempit itu. Tujuannya agar tulisan lebih enak di baca. Namun teknik-teknik jurnalisme yang benar, dari a-z, harus dipakai.Sehingga meskijurnalisme menggunakan model penulisan fiksi, tidak seharusnya bahasajurnalisme bisa mendayu-dayu seperti dalam sastra. Misalnya, "malammenusuk, siang meleleh, dan seterusnya". Penggunaan kata sifat bahkanharus dihindari oleh penulis. Ini adalah salah satu bentuk kehatia-hatian bahwa jurnalisme sastrawi tidak mengumbar opini, yang bisadikatakan fiksi.Standar kebenaran keduanya juga berbeda (baca: Myth and Fact).Jurnalisme berpegang teguh pada fakta, dan karya fiksi bermain dalamkerangka imajinasi. Dengan kata lain, ketika seorang menulis cerpen,Novel dan karya sastra lainnya, penulis tidak harus menyampaikanfakta yang sebenarnya. Bisa saja dia hanya merekonstruksi darikejadian yang ia lihat atau ia alami (sastra realis) atau dia hanyamerekonstruksi sesuatu yang ada di imajinasinya saja yang fakta dankebenarannya tak harus ada dalam kehidupan sehari-hari(sastra nonrealis)berada dalam ranah fiksi (theory of literature: Rene Wellex&Austin Warren).Perbedaan yang lain, dalam sastra juga muncul dramatisasi oleh sipenulis dalam narasi. Agar tulisan menarik, si penulis memasukkanbumbu-bumbu sastranya (ada alur, konflik, setting, penokohan, pointof view dan language devices) yang kehadirannya untuk mendramatisasiagar narasi yang dibangunnya menarik. Teknik sastra tersebut (alur,konflik dst) juga dipakai dalam teknik penulisan jurnalisme sastrawi,namun kehadiran keduanya berbeda.Proses dramatisasi tidak dibenarkan dalam karya jurnalisme.Dramatisasi dalam artian mendramatisir (melebih-lebihkan)agar sebuahtulisan menarik, jelas telah mengubah fakta yang sebenarnya terjadidi lapangan. Ini tidak boleh terjadi dalam karya jurnalisme, karenakebenaran jurnalisme adalah fakta, bukan fiksi. kecuali bila andaakan membuat konsep sendiri "dramatic journalism", ha ha hui huiJadinya gak jauh beda dengan produk jurnalisme Pos Kota grup Jawapositu(di Jakarta ada Lampu Merah, di Semarang ada Meteor dll).Soal pesan dan kesan. Paham art is for art sebenarnya sudah lamamuncul di sejarah kesusasteraan inggris abad awal. paham ini munculsebagai sebuah penolakan ketika sastra digunakan untuk menyampaikanajaran gereja pada era puritan. Gerakan seni untuk seni ini jugamuncul pada sejarah perkembangan sastra di Indonesia meski telah jauhterpaut setelah perkembangan di Inggris. Modusnya sama, sebagai sikappenolakan atas fungsi ganda sastra.Saya menyebutnya sastra tendens. Sastra yang mempunyai tujuanmenyampaikan suatu paham kepada pembaca. Ini juga terjadi padaperkembangan sastra indonesia modern. Jauh sebelum berdirinya FLP,telah berdiri komunitas Lekra Manikebu. Komunitas sastra inimengusung paham sosialis yang digunakan bersamaan dengan masuknya isukomunisme di Indonesia. Keduanya sama, tetap sastra tendens.Paham art is for art memang kedengarannya sangat abstrak. Namundemikianlah untuk menjelaskan kriteria estetika, terutama pada orangawam. Singkatnya begini. Ketika penulis sudah membekali dirinya bahwamenulis untuk menyampaikan pesan (ideologi), estetika sastra disitudikhawatirkan akan runtuh. Orang akan cenderung menggurui, dan tidakmembebaskan pembaca. penulis seperti katak dalam tempurung, karenakebebasan mereka sudah dibatasi oleh otoritas ideologi di luar sastraitu sendiri.Dalam jurnalisme, untuk hal ini, juga demikian. Ingat kita juga takboleh terlalu banyak menggurui pembaca. Pesan sudah melibatkan frameopini penulis. Jadi pesan yang anda maksud adalah bentuk lain dalamopini, hal ini dikhawatirkan akan menggurui pembaca."saudara-saudara seiman, dan seagama, menurut saya yang baik beginiyang tidak baik begitu...", itu kah pesan yang anda maksud. Teksseperti itu hanya layak dibajakan saat pidato siraman rohani dimasjid, di gereja, atau di tempat-tempat agama lain, yang udahmenggunakan landasan ideologi keagamaan sebagai sebuah kebenaran yangtak boleh didebat.Dan apakah anda menemukan hal-hal semacam itu dalam tulisan HikayatKebo karya Linda Christanty, atau Taufik bin Abdul Halim karya AgusSopian, atau Republik Indonesia Kilometer Nol oleh Andreas Harsosno,atau Hirosima karya John Hersey. Dalam Tulisannya mereka membiarkan pembaca yangmenafsirkan sendiri. Tugas wartawan cukup menyajikan fakta-faktanya sanja. Manayang benar mana yang salah, silahkan pembaca yang memutuskan. Bukankah begitu,poro sedherek poro sedhulur sedhoyo?Saya pernah mendapat penjelasan dari Janet E Steel, sewaktu kursusjurnalisme sastrawi di Yayasan Pantau, bahwa detail dalam tulisanjurnalisme sastrawi adalah detail yang tanpa penjelasan. Penjelasanyang dimaksud adalah sama seperti opini atau pesan yang anda maksuditu. Dan detail juga bukan berarti penulis menyampaikan seluruhdetail berita, bahkan detail-detail yang tidak perlu. MenurutJanet "menulis lambat pada bagian yang penting dan menulis cepat padabagian yang tak penting". Saya sepakat sekali dengan pendapatnya.Kembali ke persoalan karya sastra, bukan jurnalisme, saya tidakmanfikan kehadiran sastra islam dalam perkembangan sastra diIndonesia, namun bukan sastra islami. Anda harus bisa membedakan ini.Sastra islam menyampaikan nilai-nilai islam secara universal, namunsastra islami menyampaikan islam secara formal atau bentuk (istilahlain syariat) tidak dengan simbol-simbol yang bisa diterima olehbanyak orang, bukan hanya komunitas tertentu.Dan saya bersyukur, mereka (komunitas penulis fiksi islami, diantaranya FLP)sudah mencoba untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan itu. Dalam diskusi yangsaya ikuti di milis FLP, mereka juga menyadri kekurangan itu. Mereka merasakarya sastranya selam ini hanya dinikamti oleh komunitasnya saja. Apakahperkembangan selanjutnya, akan lebih baik, ataukah ini hanya kejenuhan merekayang hanya berkutat pada persoalan islami itu, perjalanan waktu yang akan bisamenjawab.Bila anda jeli, anda akan merasakan hal yang beda ketika membacatulisan-tulisan Gus Mus, Danarto, Gunawan Muhamad, Abdul Hadi,KuntoWijoyo yang semuanya penulis islam, dengan karya-karya penulis fiksiislami, salah satunya komunitas FLP.Ketka saya membaca karya penulis-penulis islam itu, dan sebenarnyamereka juga tidak mau bila tulisannya disebut tulisan islami, yangkita dapatkan adalah kesan yang kita dapatkan dari karya mereka.Namun dalam kebanyakan karya penulis fiksi islami, kesan itudiciptakan oleh pesan-pesan yang disampaikan secara vulgar. Caraseperti ini sangat lemah dari kacamata estetika sastra.Saya telah membuktikannya sendiri. Dua minggu yang lalu, saya pernahmewawancarai salah seorang penulis besar FLP, namanya Habiburrahman(sarjana lulusan universitas Kairo, koordinator FLP Mesir). Sayasudah menebak sebelumnya, ketika saya menunjukkan kelemahan estetikasastra tulisan kebanyakan penulis fiksi islami, dia langsungmenyerang balik dengan menunjukkan kelemhan pada karya ayu utami(yang ia sebut sebagai sastra sekuler, yang menurutnya terlalu banyakmengumbar sisi seksualitas).Argumenya tidak kuat. Bahwa cara ayu utami menyampaikan pesan sangatvulgar, dan dikwatirkan akan membahayakan pembaca, dia mencontohkanadegan ranjang dalam beberapa karya ayu utami. Namun ketika sayaminta untuk menunjukkannya, dia malah berkelit. Di sisi lain diamembenarkan cara dia menyampaikan pesan dengan halus walupunmengupas tema-tema seputar remaja.Nah dari sini, dia sudah menghalal-haramkan sastra. Bahwa adeganranjang dalam karya ayu Utami, meski dia tak bisa menunjukkannya,tidak sesuai dengan syariat islam. Memangnya sastra ada menggunakanstandar syariat islam (al qur'an dan Hadits)? Qala bla...bla... thatliterature must be relied on .... I say that actually he cannot proveit, he can only defend and how to make bla..bla...Dari situ, saya melihat mereka hanya menyerang tidak punya landasanargumen yang jelas. Modal awal mereka menulis karena ingin berdakwah,bisa jadi karena saking gemesnya dengan Ayu Utami, dkk itu yangdikhawatirkan akan memberikan pelajaran tidak baik bagi para pembaca.Dengan kata lain, mereka baru bisa membuat tandingan (sastra islamiversus sastra sekuler), karena tidak diberangi dengan pemahamansastra yang memadai perbandinagn itu tampak tak seimbang. Seharusnyamereka menyadari, bahwa ketika dia menggunakan lahan sastra untukmisi dakwah mereka juga harus menggunakan perangkatnya, dalam hal iniestetika.Selain itu, kebanyakan para penulis fiksi islami tidak beranimengangkat tema-tema yang universal. Paling-paling, tentang pacaran(pacaran pun versi islami), tentang keburukan yang akan kalah dengankebaikan, dan kebanyakan berakhir dengan kemenangan sang hero. Konsephappy ending, menurut Aristoteles adalah jenis karya sastra yangrendah. Dan karya sastra seperti ini hanya layak dinikmati olehpembaca yang mempunyai pemahaman sastra yang rendah pula.Ada beberapa ciri lain menurut Aristoteles (kebanyakan aliranpemikiran yang dianut para kaum intelektual saat ini, termasuksastra, menganut pemikirannya), adalah konsep deus et machina, yaitumunculnya kekuatan magis dlam karya sastra, menjelma sepertimalaikat;tuhan dll, yang membangkitkan kesadaran palsu pembaca. Dalamhal ini menggunakan agama sebagai legitimasi atas otoritas tekssastra. Cara ini juga salah satu ciri kelemahan dalam karya sastrabila dilihat dari aspek estetikanya (bukan syariat).Bila Anda masih ingin berdebat lebih lanjut tentang tema ini, sayaakan lebih senang dan senang yang tanpa di dramitisasi. Insa 4JJtulus, ciee. Kebetulan semester ini saya sedang mendapat mata kuliahliterary critism di jurusan Sastra Inggris. Dan saat-saat ini sayajuga sedang tertarik mengikuti perkembangan sastra (karya fiksi,bukan jurnalisme lho), ya baik yang islami maupun yang tidak islami.bagi saya semuanya halalan toyyibaan.Ngomong-ngomong anda perasa juga ya, ha ha ha. (ups astaghfirullah)Sapere Aude, berani berpikir sendiri...yuppps!!!

Tulisan yang masih berkaitan:



1 comment:

  1. Bang, terus kalau bedanya jurnalisme sastrawi dengan feature bagaimana?

    ReplyDelete