07 July 2005

Wabah Skeptisme Terhadap Pejabat Publik

Oleh Muhamad Sulhanudin

Bagai disambar petir di siang bolong saat mendengar kabar adanya kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU), yang merupakan pos untuk efisiensi biaya perjalanan ibadah haji. Apalagi setelah mengetahui bahwa pelakunya tak lain adalah mantan menteri agama (Kompas, 24/6/2005).

Masih hangat dalam ingatan kita, kabar kasus dugaan korupsi juga terjadi di KPU. Seolah tak percaya bahwa pelakunya ternyata melibatkan Mulyana W Kusumah, sosok yang dikenal idealis.

Dua kasus itu adalah sebagain kecil dari serentetan kasus dugaan korupsi yang terjadi di lembaga publik. Lebih memperihatinkan, pelakunya adalah oknum yang dikenal sebagai sosok yang idealis yang diharapkan bisa membawa perubahan. Perbuatan amoral itu juga justru dilakukan oleh mantan oknum yang pernah terlibat dalam pembinaan moral bangsa ini.

Apa boleh buat, korupsi memang nikmat. Tak peduli apakah dia kaum intelektual ataupun kyai yang tindak tanduknya akan disorot oleh publik. Lihat saja bagaimana mungkin jatah dana untuk pengadaan buku ajar bagi siswa juga ikut dikorupsi. Siapa pelakunya kalau bukan orang-orang yang bercokol di instansi pendidikan itu sendiri.
Senang atau tidak senang itulah kenyataan yang terjadi. Bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, yang konon menjunjung tinggi nilai-nilai moral dengan budaya ketimuran, ternyata juga tak bermoral ketika dihadapkan dengan kekuasaan. Padahal seharusnya mereka merupakan pejabat publik yang harus melayani kepentingan rakyat, bukan penguasa publik yang justru memeras rakyatnya sendiri.

Melihat kenyataan pahit itu, berharap bahwa para penguasa kita akan sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral saja tidak cukup. Hukum yang tegas harus diberlakukan yakni dengan mengimplementasikan dalam sebuah sistem yang bisa memperkecil, kalau tidak bisa menghilangkan sama sekali, potensi praktek-praktek korupsi.

Sudah menjadi cemoohan bila pegawai negeri (PNS) di negeri ini tidak mendapatkan upahnya secara ideal. Hal ini kemudian yang menjadi alasan untuk membenarkan tindakan kotor itu.

Sementara di satu pihak masih terjadi ketimpangan pemberian upah yang akan mengundang kecemburuan publik. Berapa upah para tenaga pendidik dan berapa upah para pejabat eksekutif, legislatif, Pertamina? Namun, kendati betapa tinggi upah para pegawai itu, toh mereka juga masih korupsi.

Masyarakat tentu masih berharap pemerintah dengan program “8 Langkah Pemberantasan Korupsi” tidak hanya mampu menjaring para karuptor dari kelas teri, tapi juga koruptor kelas kakap atau bahkan paus. Dan yang lebih penting adalah tindaklanjutnya setelah koruptor-koruptor itu terbukti bersalah. Hanya ada dua pilihan: tembak mati atau hukum pancung agar membuat para pelaku atau calon pelakunya jera.

Rupanya pemerintah masih kerepotan karena ternyata lembaga penegak hukumnya sendiri juga belum bebas dari praktek kotor itu. Jalan keluar yang harus segera dilakukan pemerintah adalah membereskan pekerjaan besar yang satu ini bila tidak akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.****

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment