17 July 2007

Jika Menulis adalah Jalan Hidupmu

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

..................................................



Barangkali sajak Chairil Anwar itulah yang cukup bisa menjelaskan sikap Erskine Cadwell ketika memutuskan meninggalkan karir jurnalistiknya di The Atlanta Journal demi menjadi penulis fiksi profesional. Seperti yang didapatkan setelah membaca sajak "Si Binatang Jalang" itu, kesan yang muncul dari sikap Erskine itu, dia adalah pribadi yang angkuh dan tak kenal kompromi. Baik Chairil maupun Erskine sepertinya tak mau berdamai dengan keadaan, sebaliknya mereka malah hendak menaklukkannya. Jelas saja keputusan Erskine itu membuat cemas beberapa rekan kerjanya.

Hunter Bell, redaktur di The Atlanta Journal, tempat Erskine mulai meniti karir jurnalistik profesionalnya, menasehatinya agar mengurungkan niatnya. Hunter memberikan gambaran sebuah masa depan suram bagi mereka yang tidak beruntung dalam hidup yang berharap dapat hidup, makan, dan berjalan di muka bumi tanpa memiliki pekerjaan tetap. Hunter berharap Erskine akan berubah pikiran.

Namun Skinny—begitu ia biasa disapa oleh rekan kerjanya-- sudah membulatkan tekad. Keinginnannya untuk melibatkan diri secara total dalam dunia penulisan kreatif tak bisa dicarikan tandingannya. Dan kini hasrat itu harus disalurkan, ia harus segera dituntaskan, entah apapun keadaannya.

Sebenarnya jika dirunut keputusan nekad Erskine itu terpicu oleh Peggy Mitchel, seorang perempuan dengan personalitas menarik dan memiliki wajah cantik menurut ukuran Erskine, yang rela meninggalkan karir jurnalistiknya setelah bekerja selama sepuluh tahun di The Atlanta Journal. Bagaimanapun Peggy berhasil menerbitkan bukunya Gone With The Wind. Erskine mengaguminya karena kepercayaan dirinya untuk melepas pekerjaan demi menulis sebuah buku. Dia bertanya pada dirinya sendiri, mampukah aku suatu saat membuat keputusan serupa?

Maka siang itu, setelah ia menerima jamuan makan dari Fred Houser, manajer The Atlanta Convention and Tourist Bureau, atas liputannya yang memuaskan, dia menegaskan keputusannya untuk menjadi penulis fiksi profesional. Ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dirinya juga bisa hidup dari menulis fiksi.

****

Akhir pekan ia meninggalkan Atlanta menuju Negara Maine, sebuah tempat yang jauh dari peradaban kota. Pedesaan dengan perbukitan yang mengombak oleh beragam pepohonan rindang, padang rumput yang lebat memagari sungai-sungai kecil berliku, menjadi hunian barunya. Ia berpikir tempat ini sangat cocok untuk menulis.

Musim panas segera berakhir, ia mulai mengumpulkan kayu untuk perapian di musim dingin. Ia mananam kentang di ladang untuk di makan. Siang hari ia habiskan di ladang dan mengumpulkan kayu, malamnya ia menulis, sisanya untuk istirahat. Secara matematis, 24 jam dalam sehari ia habiskan 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk menulis, dan sisanya 8 jam untuk beristirahat.

Belasan, hingga puluhan cerita pendek telah ia tulis dengan mesin ketik butut yang ia beli dari hasil memeras keringatnya menjadi buruh kasar di pabrik minyak biji kapas ketika dirinya masih duduk di bangku setingkat SMU. Ia bekerja di malam hari, berangkat ketika orang di rumah mulai tertidur dan kembali dengan mengendap-endapkan langkah kakinya agar orang di rumah tidak terbangun dan mengira ia tertidur pulas semalaman. Sebentar kemudian dia bergegas berangkat ke sekolah.

Sebenarnya penghasilan ayahnya sebagai pastor di gereja di dekat tempat tinggalnya sudah mencukupi. Namun karena keinginannya untuk bekerja, membuatnya mau bekerja apa saja. Semasa sekolah ia melakukan pekerjaan apa saja, menjual koran, menjadi juru ketik, menulis berita didaerahnya untuk beberapa surat kabar. Rupanya minat menulisnya tanpa disadari mulai tumbuh. Ketika kuliah di Universitas Virginia dia melanjutkan minat menulisnya dengan menjadi kontributor untuk beberapa surat kabar.

Ia mulai mengirim cerpen-cerpennya ke beberapa surat kabar. Namun tak satupun dimuat. Ia sudah cukup senang ada satu-dua yang memberikan penjelasan alasan penolakan. Kegiatan ini terus dilakukan, mengirim cerpen, dan mendapati surat penolakan, hingga surat-surat itu menumpuk. Diam-diam memandangi tumpukan surat penolakan dan membacanya menjadi kenikmatan yang tak bisa ia jelaskan.

Seorang redaktur menyarankan agar dia meniru cara menulis para penulis yang sedang populer. Seorang redaktur lain menyarankan agar dia menekuni bidang pekerjaan lain mengingat bisnis surat kabar yang tidak menentu akibat krisis yang sedang melanda Amerika, sehingga peluang untuk menulis cerpen semakin sempit. Komentar-komentar itu dibacanya, diambil seperlunya agar ia tak sakit hati dibuatnya.

Dengan persediaan uangnya yang mulai menipis ia masih butuh membeli perangko untuk mengeposkan surat, membeli beberapa batang rokok, kopi dan gula untuk teman mengetiknya di malam-malam hari. Dia bertekad menjual buku-bukunya yang dikumpulkan dari hasil menjadi pereview buku di The Atlanta Journal. Koleksi bukunya mencapai ratusan, dan kebanyakan adalah novel dan kumpulan cerpen. Ia pergi ke kota, mengunjungi tempat penjualan buku bekas hingga akhirnya bertemu kenalan yang menawarinya untuk menjalankan bisnis buku.

Bersama kawannya ia membuka kios buku. Buku-buku koleksinya dan beberapa buku tambahan dari agen penerbit ditata di rak. Namun bisnis buku ini bukannya menghasilkan tapi malah membuatnya makin terlilit hutang. Ia sudah kehabisan akal bagaimana untuk mendapatkan uang. Yang jelas dia hanya ingin menjadi penulis, bukan berbisnis buku.

Dia berjanji kepada dirinya sendiri, pekerjaan apapun, diluar menulis, dilakukan hanya untuk sementara dan semata-mata untuk tujuan bertahan hidup, memiliki tempat tinggal, dan berpakian layak.

Seorang teman lama mengajaknya ke suatu tempat, yang kemudian dia tahu tempat yang dituju itu adalah bank. Pegawai bank menanyakan jaminan apa yang dapat diberikan Erskine, kapan dia sanggup mengembalikan pinjaman. Erskine tak punya jaminan yang cukup bernilai, kecuali sebuah mobil tua dan mesin ketik usang. Temannya meyakinkan pegawai bank kenalannya itu bahwa Erskine adalah seorang calon penulis. Dia serius ingin menjadi penulis, dan kelak bukunya akan diterbitkan. Pegawai bank yang mengaku sebenarnya juga ingin menjadi penulis itu mengangguk dan segera menyuruh stafnya mencairkan pinjaman sebesar $1000.

****

Erskine pasti sudah memperhitungkan keputusannya meninggalkan pekerjaan demi menjadi penulis fiksi profesional. Godaan akan selalu menghantui bagi siapa saja yang mengambil keputusan seperti dirinya, yang hendak menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sementara hasil menulis sebagai mata pencaharian tak kunjung terpenuhi.

Mental sekuat baja, tak bisa ditawar, harus dipersiapkan agar mampu menjalani masa-masa yang paling sulit, masa di mana tiada jaminan finansial yang memadai. Jika tidak, ia akan tergoda untuk mengalihkan perhatiannya kepada pekerjaan yang bagi kebanyakan orang lebih rasional, pekerjaan yang lebih bisa menghasilkan uang. Dan keinginan menjadi penulis fiksi profesional menjadi angan-angan yang lebih layak untuk ditertawakan.

Memang Erskine pada akhirnya dapat memetik hasil jerih-payahnya. Perlahan-lahan cerpennya mulai dimuat di koran kecil, hingga menembus Scribner’s Magazine, sebuah keinginan yang sudah dinanti-nantinya menaklukan media yang memiliki distribusi luas.

Kumpulan cerpennya yang diberi judul American Earth dibukukan. Tak lama kemudian menyusul novel perdananya Tobaco Road, yang terinspirasi dari sebuah kehidupan di perkampungan miskin di dekat tempat tinggalnya, sebuah jalan yang dibuat dengan menggelindingkan tong yang diisi tembakau yang diawetkan. Untuk pertama kalinya, ia menerima bond royalty dari penerbitan buku.

Hingga novel God’s Littele Acre yang menurutnya paling memuaskan, You Have Seen Their Faces, dan novelnya Tobaco Road yang telah dipentaskan lebih dari tujuh tahun, hasil royalty yang diterimanya tidak bisa dibilang telah cukup membuatnya menjadi seorang yang terbebas dari masalah keuangan. Penghasilan darinya waktu itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan sehari-harinya, bahkan masih kurang untuk gaya hidupnya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia memang gemar sekali mengunjungi tempat-tempat baru, menjelajahi seluruh kawasan benua Amerika, bahkan dunia. Kondisi finansialnya baru dikatakan lebih membaik setelah dia menjadi penulis skenario untuk film di MGM, yang menggajinya $3000 per minggu, penghasilan tertinggi yang pernah di terima sepanjang hidupnya.

Berapapun jumlah penghasilan yang didapatkannya dari menulis fiksi, setidaknya dia sudah mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karyanya di surat kabar, kumpulan cerpen dan novel-novelnya sudah dibukukan. Selama penghasilannya dari menulis fiksi belum bisa untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, maka dengan sadar ia pun akan melakukan pekerjaan lain demi mewujudkan ambisinya. Kini kerjanya sudah membuahkan hasil. Namanya disandingkan dengan John Steinbeck , William Faulkner, dan pengarang terbaik Amerika yang lainnya.

****

Menyimak perjalanan hidup Erskine ini, sama seperti saya, barangkali anda akan mengajukan pertanyaan, kenapa dia bersiteguh ingin menjadi penulis fiksi professional, kenapa tidak menjadi bankir, atau melakukan pekerjaan lain yang lebih mudah menghasilkan uang.

Dalam buku “Menulis adalah Jalan Hidupku” yang diterbitkan oleh Penerbit Bustan Yogyakarta, diuraikan secara rinci perjalanan menulis Erskine Cadwell. Buku yang ditulis sendiri oleh Erskine ini di dialihbahasakan dari buku Call it Experience, The Years of Learning How to Write.

Diakuinya, keputusan Erskine menjadi penulis fiksi profesional karena dirinya suka menulis, dan tak yakin bisa melakukan pekerjaan lain selain bidang ini. Oleh karena itu, ia ingin menjadikan menulis sebagai penopang hidupnya. Ia menganggap apa yang dikerjakanya sebagai hal yang wajar, karena baginya semua pilihan pekerjaan membutuhkan ketekunan. Begitu juga dengan menulis.

Kalaupun ada seorang yang hendak menjadi penulis, namun ditengah jalan menemukan alasan yang menurutnya lebih logis untuk melakukan pekerjaan lain, berarti memang dia tidak punya modal yang cukup untuk menjadi seorang penulis. Pada akhirnya tingkat intensitas keadaan pikiranlah yang menentukan kesuksesan atau kegagalan seseorang dalam profesi yang diinginkannya.

Menulis fiksi dipilihnya karena cerpen atau novel adalah cermin bagi orang-orang. Ia mendefinisikan cerpen atau novel sebagai cerita imajiner bermakna yang cukup menarik perhatian pembaca dan cukup mendalam untuk meninggalkan kesan abadi dalam pikirannya.

Ia menampik anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis seorang harus miskin dulu agar cocok dengan dunia kepenulisan. Yang dibutuhkan adalah semangat keuletan yang dapat melecut orang untuk berjuang keras mengatasi setiap penghalang menuju kesuksesan.

Ia pun tak menganjurkan siapa saja yang hendak menjadi penulis untuk meninggalkan pekerjaan utamanya. Ia mengambil contoh banyak penulis ternama yang bukan penulis profesional. Banyak karya bermutu yang dihasilkan oleh mereka yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah setiap hari atau menjalankan bisnis dalam lima atau empat hari dalam seminggu. Ketika menulis sudah menjadi hobi, maka siapapun akan menyempatkannya. Dan seperti hobi-hobi yang lain, menulis bisa dikerjakan tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama.

Keputusannya meninggalkan karir jurnalistiknya bukan karena keterampilan menulis jurnalistik bertentangan dengan menulis fiksi. Sebaliknya, menulis jurnalistik justru yang mengantarkan minatnya dalam dunia tulis-menulis. Belajar menulis dengan bentuk apapun tak ada yang merugikan. Dari pengalamannya, menulis jurnalistik membantunya untuk membiasakan diri menulis setiap hari. Menunggu inspirasi adalah pernyataan yang jarang sekali dijumpai di kalangan wartawan yang terlatih.

Anda boleh saja menganggap apa yang dilakukan oleh Erskine itu sebagai sesuatu yang mengada-ada, sesuatu yang berlebihan yang sebenarnya mudah tapi dibuat sulit oleh dirinya sendiri. Namun bagi anda yang saat ini sudah memutuskan diri menjadi penulis profesional, baik itu fiksi maupun non fiksi, sedikit banyak pasti sudah melewati masa-masa itu. Hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Anda bisa saja lebih beruntung ketimbang Erskine yang menempuh karir menulis profesioanlnya dengan berdarah-darah. Jika anda menyadari ini, maka anda akan bersyukur bahwa ternyata ada yang lebih menderita dari anda.

Pada akhirnya hidup adalah pertaruhan. Maka saya dan juga anda harus berani memilih dan tegas mengambil tindakan. Profesi apakah yang sebenarnya anda inginkan. Apakah anda lebih mencintai menulis dari kesenangan-kesenangan anda yang lain? Jika iya, maka teruslah berjuang. Contohlah semangat menulis kedua "binatang jalang" Chairil dan Erskine. Percayalah, setiap usaha pasti ada hasilnya. Good Luck!

Tulisan yang masih berkaitan:



2 comments:

  1. mas udin, apa seorang penulis adalah seorang yang selalu menggantungkan hidupnya pada penulis? saya jadi ingat acep zam zam. dia bilang, dia gak pernah menggantungkan diri pada puisi. ia menghidupi puisi semata2 krn dia butuh. dlm kondisi itu, mngkn seorang penulis akan lebih tulus, sebab dia menulis bukan karena (sekedar) uang. seorang yg menulis hanya semata2 demi uang, dia akan sulit membuat tulisan yg tulus, dan ikhlas.

    btw, trims dah nemeni ngobrol td. mngkn pikiran ttg buat skripsi about blog bs saya pikir lebih lanjut. ha2. minta bantuannya kalo bener2 jadi. ha2

    ReplyDelete
  2. tentu saja tidak.siapapun yang ingin menulis bisa sambil mengerjakan yang lainnya.tapi ketika menulis sudah menjadi jalan hidup,maka menulis memiliki porsi yang utama.kecntaan pada menulis melebihi dari kecintaan2 yang lain.jadi bukan karena uang.kita bekerja karena cinta,dan dari kerja itu kita dapat uang,kan ya wajar.orientasinya adalah kecintaan,kecintaan yang total.itulah yang dilakukan erskine,dan kukira chairil pun total dengan jalan puisinya.

    ReplyDelete