06 March 2006

Kesempurnaan yang Naif

Seorang perempuan tengah mempertontonkan kulitnya yang mulus dan kuning langsat. Sebelumnya, mungkin kulitnya tak sehalus itu, tak sekuning seperti sekarang. Perempuan itu tersenyum puas. Sekarang, Ia merasa makin cantik.

Kulit kuning langsat, hidung mancung, postur tubuh tinggi semampai (bodi aduhai), baru sempurna. Orang akan bilang, perempuan itu cantik. Sementara seorang perempuan ketika melihat laki-laki berbadan kekar, dada bidang ditumbuhi bulu, hidung mancung, akan bilang laki-laki itu macho.

Para perempuan pun kemudian rajin memakai whitening lotion untuk memutihkan kulitnya, seperti yang ditampilkan dalam iklan di layar kaca itu. Tak jarang pula mengoperasi hidungnya biar tambah mancung atau payudaranya biar tambah besar, rajin mengkonsumsi obat antikolesterol untuk melangsingkan tubuhnya. Karena keputihan, kemulusan, kemolekan tubuh adalah ukuran kesempurnaan bagi perempuan untuk disebut cantik, seksi.

Cantik adalah perempuan yang berkulit kuning langsat, berhidung mancung. Seksi adalah perempuan yang berbibir tipis, langsing, berbodi serba proporsional. Sebaliknya, bila tidak memenuhi kriteria tersebut maka seorang perempuan tidak layak menyandang predikat cantik.

Para laki-laki juga sama. Mereka berobat untuk menumbuhkan bulu didadanya. Atau rajin fitnes untuk memiliki bentuk tubuh seperti yang diidamkan oleh para perempuan.

Dari mana sebenarnya definisi cantik, ganteng, gagah, seksi itu?

Sadar atau tidak, definisi itu terbentuk oleh lingkungan sekitar. Penilaian itu direkonstruksi oleh orang-orang disekitar kita. Di mana kita berada, di mana kita tinggal, dengan siapa kita bergaul, semuanya akan mempengaruhi pada penilaian kita. Dengan kata lain, penilaian itu tergantung pada komunitas yang memaknainya.

Pada jaman serba-teknologi ini, media memegang peranan yang amat penting. Tayangan sinetron di televisi yang banyak digandrungi oleh kaum tua-muda, laki-perempuan, ternyata banyak menyuguhkan definisi kesempurnaan kalangan tertentu. Bintang film, bintang sinetron dipilih perempuan yang berkulit putih, berpostur tubuh proporsional, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi penontonya bahwa kesempurnaan, kecantikan itu seperti yang ada di layar kaca.

Sungguh naif, orang-orang kampung yang menonton sinetron itu sekaligus juga mengkonsumsi gaya hidup (life-style) para selebritis. Mereka berdandan, bersolek, ala selebritis. Sementara apa yang dipertontonkan di layar kaca itu tak sepenuhnya sesuai dengan relita di sekitar kehidupan mereka.

Kebanyakan sinetron menampilkan kehidupan secara hitam-putih. Keluarga kaya yang saleh dan rajin beramal, si miskin yang berandalan, atau sebaliknya, keluarga kaya yang tak pernah hidup harmonis. Semuanya digambarkan serba trivial.

Kembali kepada definisi kecantikan, kegantengan, keseksian seperti yang digambarkan oleh sinetron, bagaimana dengan penduduk Papua, yang notabene berkulit gelap, berambut keriting, berbibir lebih tebal, sama sekali beda dengan definisi kecantikan yang dipertontonkan oleh layar kaca. Apakah mereka harus memakai whitening agar kulitnya berubah menjadi putih, agar mereka bisa disebut cantik, atau operasi bibir agar mereka bisa disebut seksi?

Dalam kondisi masyarakat yang majemuk ini definisi cantik di Indonesia perlu diubah. Bahwa cantik tak harus berkulit putih seperti bule, karena orang Indonesia rata-rata berkulit sawo matang, bahwa cantik tak harus berhidung mancung, bahwa seksi tak harus berpayudara besar, dll.

Maka ketika akan mengadakan Miss Indonesia, kriteria fisik yang dipatok tak perlu diterapkan standar Miss Universe, tapi dengan standar orang Indonesia. Dan tentunya dengan 'rasa' orang Indonesia pula, yang terdiri dari beragam suku, dengan beragam warna kulit, dan selera.

Bisakah kita memahami, bahwa dibalik kelegaman kulit orang Papua itu tersimpan kecantikan, dibalik ketebalan bibir itu menyimpan kesensualan dengan ukuran sendiri.

Bagaimana keuniversalan kecantikan, kegantengan, keseksian seorang? Untuk memahami perbedaan, pertanyaan ini tak perlu diperdebatkan, karena tiap orang punya ketertarikan masing-masing, tiap orang memiliki daya pikatnya sendiri, dan semua tak bisa dipakai ukuran yang umum.

Beranikah Anda memaknai sebuah kecantikan secara lain dari versi orang kebanyakan, memaknai cantik yang tak harus sama dengan komunitas Anda, atau mengatakan cantik yang berbeda dari kecantikan yang diajarkan oleh sinetron?

Tulisan yang masih berkaitan:



5 comments:

  1. Kalau Gilang, cantik tidak Din?

    :)

    ReplyDelete
  2. Emang ada yang bilang Gilang ga cantik?

    Postur tubuh, ok. Kulit, ehm tak ada masalah. Wajah, OK juga. Apalagi ya, setahuku semua ok.

    There isn't any problem with her outer beauty.

    Kalau menurutmu gimana, apakah Gilang bisa mewakili selera kamu?

    ReplyDelete
  3. Jawaban panjang itu. . . artinya "ya" atau "tidak"?

    :)

    ReplyDelete
  4. Penting ya Kram jawaban itu?

    Aku jadi curiga, jangan-jangan kau minta dukungan untuk penguatan. Seperti ketika aku masih SMA, pernah aku suka sama cewek, tapi karena ada teman yang bilang tak cantik, aku jadi berpikir ulang.

    Sebaliknya, ketika cewek yang dikatakan cantik oleh kebanyakan teman, atau dengan kata lain jadi rebutan, justru membuatku bersemangat. Dengan kata lain, waktu itu aku butuh penguatan orang lain. Kita ingin diakui kalau pacar kita itu cantik.

    Aku tak mengatakan ya atau tidak. Kukatakan bahwa tak ada masalah dengan kecantikan luar GDP. Artinya, kukira kebanyakan orang akan sepakat mengatakan bahwa GDP cantik, ketika melihatnya.

    Namun, untuk selanjutnya, untuk tahapan yang lebih "serius", tentu perlu pengenalan lebih jauh. Sejauh ini sepertinya juga tak ada masalah.

    Kalau aku pribadi, ehm kasih nilai AB lah, hehe. Soalnya nilai A hanya milik Allah, kata dosen Filsafat saya di kampus.

    Gimana, masih belum mantap, ha2

    ReplyDelete
  5. Nah, gitu dong. Pemirsa kan cuma ingin jawaban tegas.

    Gil, gimana?

    :)

    ReplyDelete