31 October 2005

Politisasi Bahasa Indonesia

Menjelang akhir bulan Oktober, tepatnya tanggal 28, kita memperingati hari sumpah pemuda. Ada hal yang dilematis dari pembentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pertanyaannya, apakah bahasa Indonesia bisa mewakili berbagai bahasa daerah, tidak hanya bahasa Melayu dan Bahasa Jawa oleh karena penggunya lebih banyak, tapi juga bahasa-bahasa daerah lain dengan pengguna yang relatif lebih kecil?

Tujuan M Yamin, sebagai penggagas bahasa persatuan, tentu amat mulia yakni ingin menyatukan segenap komponen bangsa. Bahasa menjadi sarana yang penting. Makanya ia menawarkan konsep bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pertanyaan yang sama sulitnya mungkin juga apa itu budaya nasional? Karena masyarakat Indonesia terdiri atas beragam warna suku, agama, dll.

Sah sah saja membuat konsep budaya nasional, bahasa nasional, asalkan itu tidak menjadi kepentingan politis kelompok tertentu. Lihat saja, ada isu geger dalam kongres kesenian. Beredar isu DKJ ingin memperkuat pengaruh dengan menderikan dewan kesenian Indonesia. Banyak daerah menentang karena itu hanya kepentingan orang dipusat saja, orang di daerah nggak dapat apa-apa. Keduanya mempunyai isu yang sama, penyeragaman. kesenian ingin memiliki organ induk. Tapi ketika itu hanya menjadi kepentingan politis, maka kacaulah semuanya.

Selain itu, yang dikhawatirkan adalah akan adanya dominasi dari yang mayoritas kepada yang minoritas. Akan ada identitas satu kelompok yang terkalahkan. Mereka terdesak karena tidak punya ruang oleh karena untuk persmaan, kesatuan. Bisakah kepentingan penyatuan tersebut memberi ruang pada komponen-komponen yang kecil, yang ada di daerah? Pertanyaan yang sama, bisakah dewan kesenian menjadi aspirasi dewan kesenian yang ada di daerah?

Kita bisa belajar dari masyarakat Amerika yang memiliki sejarah pembentukan warga negara yang unik. Ada istilah Melting Pot dan Salad Bowl. Pertama, kita bersatu tapi tanpa menanggalkan identitas sebelumnya. Misalnya, saya sebagai orang Jawa tidak akan kehilangan rasa kejawaan saya ketika bergabung dengan Indonesia. Ada rasa bahasa Jawa ketika saya bertutur dengan bahasa Indonesia.

Konsep yang pertama ini banyak dikritisi karena akhirnya Amerika selalu mengekor dari warga Eropa. Menurut sejarah Amerika terbentuk dari mayoritas imigran dari eropa. Penduduk asli kecil. Oleh karena itu para imigran kemudian mengimpor setiap temuan yang ada di Eropa ke Amerika. Dengan kata lain, Amerika adalah cerminan Eropa. Apa yang ada di Eropa bisa ditemukan di Amerika.

Kedua, bersatunya masyarakat Amerika yang amat jamak itu mampu menghasilkan citarasa masyarakat yang memiliki identias baru, yang tidak hanya mengekor pada Eropa. Seperti konsep Pizza, yang berasal dari berbagai bahan, namun bisa menciptakan warna baru.

Yang terakhir ini, bila diterapkan di Indonesia maka dari bertemunya orang Jawa, Sunda, Madura, Batak, dll akan menciptakan warna masyarakat baru, seperti masyarakat Amerika beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi berbagai identitas sebelumnya akan lebur. Seperti adonan dalam pizza yang masing-masing bahan melebur menjadi satu rasa, konon katanya orang Amerika. Kalau Pizza di Indonesia mungkin tidak begitu.

Sekarang komposisi warga Amerika lebih plural lagi. Bahkan beberapa orang Indonesia yang sudah menetap di sana sebagai warga negara Amerika. Sekarang Amerika bukan hanya cerminan Eropa tapi cerminan dunia. Semua yang ada di belajan dunia manapun akan bisa ditemukan di sana. Sungguh pesat perkembangan negara yang tersusun atas orang-orang imigran ini.

Nah, kita mau yang mana, yang pertama atau kedua? Setelah itu baru jawab perlu atau tidak Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia tersebut. Jangan cuma alasan politis melulu to?

Baca artikel terkait:
Tiada Bahasa Hilang Bangsa, Humaniora KOMPAS
Engdonesia oleh Ariel Heryanto

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment