18 February 2015

The Lunchbox: Romansa Virtual di Jeda Makan Siang

Usaha seorang istri untuk mengembalikan keharmonisan rumah tangganya melalui masakan justru mempertemukan dia dengan pria lain.

Hubungan virtual ternyata bisa dilangsungkan melalui media lunchbox. Panci bersusun, berbahan dari alumunium, dilengkapi tangkai sebagai pengait antar panci tempat makanan sekaligus sebagai pegangan—kita menyebutnya rantang. Tak perlu perangkat semacam komputer dan sambungan internet. Jadul sekali. Sekalipun terkesan old school, romansa virtual digambarkan secara komplit dalam film debutant Ritesh Batra ini.

Rantang makan siang itu mempertemukan dua manusia yang sedang mengalami keterasingan. Ila, seorang ibu rumah tangga muda beranak satu, terasing dengan perilaku suaminya yang dingin. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencuri perhatian sang suami namun belum juga mendapatkan balasan yang semestinya.

Sementara itu, Saajan adalah seorang akuntan senior yang sedang dilanda kegalauan menjelang masa pensiun. Pekerjaan yang telah ia geluti selama 35 tahun di perusahaan yang sama, sebentar lagi akan ia tinggalkan. Ia akan tambah kesepian. Ditinggal mati istri dan kini akan meninggalkan rutinitas pekerjaannya.

Di tengah kegelisahan dua tokoh tersebut, tiba-tiba keduanya dipertemukan lewat kotak makan siang. Berawal dari Ila yang sedang frustasi atas sikap suaminya, ingin meluluhkan hati suaminya lewat masakan. Sebuah menu spesial makan siang, yang tentu saja diramu dengan sepenuh cinta, dikirim ke tempat kerja sang suami melalui jasa pengiriman makan siang. Siapa sangka kalau makan siang untuk sang suami itu terkirim ke pria lain. Dari sinilah Ila dan Saajan menjalin hubungan.

Setelah mengetahui rantang makan siang untuk suaminya salah kirim, bukannya segera memberitahu kurir, Ila malah menyelipkan secarik kertas ke dalam rantang yang dikirimkan keesokan harinya untuk menyelidik siapa gerangan penerima makan siang suaminya.

Korespondensi mengalir. Rantang yang dikirim diselipi catatan, kembali dengan catatan. Mirip sepasang kekasih yang sedang berbalas surat cinta. Mulanya ingin menguak siapa penerima makan siang sang suami, Ila beranjak ingin memecahkan misteri di balik sikap suaminya yang dingin. Dari pria asing penerima makan siang suaminya itu, Ila mendapat gambaran tentang kesibukan orang-orang di luar rumah. Ia tak banyak tahu tentang kehidupan di luar rumah. Sehari-hari waktunya dihabiskan di dapur dan urusan domestik lainnya.

Diam-diam Ila merasa nyaman untuk curhat masalah pribadi dengan pria asing penerima rantang makan siang untuk suaminya itu. Lebih-lebih setelah ia mencium aroma perselingkuhan sang suami di luar rumah. Maka ketika pria asing itu mengajaknya untuk mengunjungi ke suatu tempat, Ila tanpa basa-basi menerimanya lebih berani : “tak usah banyak omong, ayo ketemuan!”

Perkembangan emosi keduanya digambarkan secara lamban melalui korespondensi yang diselipkan dalam rantang. Rasa cemas akan apa yang dialaminya sekarang, kerinduan akan masa lalu, hingga tanpa disadari keduanya telah sama-sama menabalkan dirinya sebagai manusia yang kesepian.

Bagi Saajan makan siang menjadi momen yang paling dinanti. Matanya segera tertuju pada rantang setiap kali kurir meletakkannya di atas meja kerjanya. Pikirannya melayang menebak-nebak apa yang akan diceritakan Ila hari ini. Ila juga sama. Ia tak peduli lagi bahwa makanan untuk suaminya dinikmati pria lain. Terus saja ia menunggu kisah demi kisah berikutnya, segera membuka rantang dan meraih kertas, lalu mencari posisi terbaik agar bisa membacanya dengan lebih nyaman.

Saajan di mata Ila menjadi perwujudan dari sosok suami ideal yang diangan-inginkan tapi gagal ia dapatkan dalam realitas kehidupannya. Sebaliknya, Ila berhasil mengisi kerinduan lelaki tua itu akan sosok istrinya yang telah tiada.


Ambiguitas, dan Antitesis Bollywood

Dabawalla dikenal sebagai jasa pengiriman lunchbox yang profesional. Dari hasil penelitian Universitas Harvard, terungkap hanya 1 dari 6 juta kali pengiriman terjadi kesalahan. Maka salah kirim rantang Ila adalah salah satu peritiwa langka. Dan pertemuan Ila dengan Saajan karenanya bukan sebuah kebetulan, melainkan takdir.

Dabawalla diangkat dari kisah nyata. Di Mumbai---dikenal juga dengan nama Bombay salah satu kota paling ramai di India, penduduk setempat menggunakan jasa Dabbawalla untuk mengirimkan paket makan siang. Mereka bekerja dalam tim. Masing-masing kurir menjemput rantang makan siang dari rumah ke rumah yang letaknya tersebar di pinggiran kota. Rantang berbahan logam dibungkus dengan tas diikatkan bergelantungan di belakang sepeda. Rantang diangkut menggunakan sepeda onthel menembus padatnya lalu lintas kota Mumbai, melewati terik matahari juga kadang menerjang derasnya hujan. Untuk sampai di tempat yang dituju, para kurir menyambung dengan transportasi kereta api. Rantang-rantang dilepas dari sepeda onthel, dicampur dengan rantang-rantang dari kurir lain, dinaikkan ke atas kereta sebelum kemudian dioper lagi ke kurir lainnya.

Susah membayangkan bagaimana cara Dabbawalla menandai agar rantang yang telah berpindah tangan dari satu kurir ke kurir lain dapat sampai ke tempat tujuan, makan siang yang diramu dengan penuh rasa cinta oleh para istri di rumah dapat dengan tepat dikirimkan kepada para suami di tempat kerjanya? Salah kirim paket makan bisa berakibat salah kirim paket cinta!

Selain media jadul rantang, dalam film ini kita akan menemukan mode-mode jadul lainnya. Di kantor Saajan bekerja, sebuah perusahaan asuransi, masih menggunakan cara-cara hitung manual berupa buku jurnal dan mesin hitung kalkulator. Tidak ada komputer apalagi internet. Lantas film ini dibuat berdasarkan setting tahun berapa?

Menurut Ritesh Batra selaku penulis cerita sekaligus sutradara film, cara kerja manual masih bisa ditemukan di beberapa tempat di India sampai saat ini. Begitu pula Dabbawalla. Semenjak kanak-kanak hingga ia telah kembali lagi ke Mumbai setelah sekian tahun menetap di Amerika, jasa pengiriman lunchbox itu masih tetap bertahan sampai sekarang. Konon telah berlangsung 120 tahun lamanya.

Begitulah India, yang mutakhir dan yang jadul bisa hidup berdampingan. Teknologinya, juga orangnya. Ada kelompok wanita-karir yang berprofesi di luar rumah dan ada pula wanita-ibu rumah tangga yang masih memegang teguh prinsip 3 M (Masak, Macak dan Manak), sebuah prinsip yang diterapkan dalam tradisi masyarakat Jawa kuno.

Ila sebagai representasi kelas menengah konservatif – Hindu, yang dalam film ini sebagai penganut 3 M, dan Saajan dari kalangan Nasrani Ortodox. Dari latar belakang dan karakteristik keduanya, mustahil Ila dan Saajan dapat menjalin hubungan asmara di alam nyata. Namun rantang makan siang itu memungkinkan hubungan keduanya terjalin.

The Lunchbox keluar dari mainstream film Bollywood. Di sini tak ada joget dan kisah bahagia di akhir cerita. Ada saja nyanyian yang didendangkan para Dabawalla sambil bertepuk tangan, tapi itu lebih mirip sebagai yel-yel pengusir lelah. Kesederhanaan setting yang hanya berpusat pada tiga lokasi yakni dapur, perjalanan ke kantor, dan kantor itu sendiri, justru menunjukkan bahwa kehidupan yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dari apa yang ditampilkan oleh film-Bollywood-mainstream. Penonton tak sekalipun akan diperlihatkan sosok Auntie, tetangga apartemen Ila yang tinggal di lantai atas, kawan ngerumpi di dapur. Karakter Auntie diperkenalkan hanya lewat suara yang keluar dari balik jendala dapur Ila.

Dialog Saajan yang diperankan oleh Irfaan Khan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris ketimbang Hindi. Sebagaimana diakui sang sutradara, Lunchbox ditujukan untuk penikmat film di seluruh dunia, bukan cuma pecinta Bollywood, di India sendiri khususnya. Apakah ini satu kemajuan atau kemunduran, bergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Bahwa ia ingin berbeda dari yang mainstream, bisa dikatakan film ini berhasil. Tentu saja perlu dicatat, peran Irfaan Khan. Aura keterasingan begitu memukau ia tampilkan lewat sorot mata dan raut mukanya.

Menutup tulisan ini saya kutipkan perkataan Shaikh kepada Saajan suatu kali ketika mereka berada dalam perjalanan di atas kereta api, “Dari kereta yang salah dapat membawa kita menuju ke stasiun yang benar”. Masing-masing tokoh dalam film ini berusaha untuk menemukan kebahagian, meski awalnya, mungkin, menempuh jalan yang keliru. Semoga...

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment