21 May 2005

Jalan Hidup Seorang Penulis*

Berhenti dari mengajar, Triyanto Triwikromo memilih jadi penulis

Oleh Sundari Dewi Ningrum**

Meski hari mulai gelap, aktivitas perkuliahan masih berlangsung di kampus Sastra Universitas Diponegoro. Bahkan tak kalah padat bila dibanding pagi dan siang harinya. Beberapa mahasiswa berkerumun di teras-teras depan ruangan. Pemandangan yang sama juga terlihat di panggung timur. Berbagai jenis mobil berderet di halaman parkir sebelah timur dan di tepi-tepi jalan depan kampus, turut meramaikan suasana. Tak asing lagi, seperti biasanya, sore itu kampus Sastra digunakan untuk kuliah mahasiswa program ekstensi dan pasca sarjana.

Dari Ruang Sidang, beberapa mahasiswa pasca sarjana berhamburan keluar ruangan. Saya menghampiri satu diantaranya. Ia adalah Triyanto Triwikromo, cerpenis cum wartawan yang baru melanjutkan studinya di Magister Ilmu Susastra di fakultas ini. Kami kemudian berbincang-bincang di bangku depan ruang Jurusan Sastra Inggris.


TRIYANTO Triwikromo adalah nama yang tengah bersinar dalam dunia penulisan fiksi, khususnya sebagai penulis cerpen. Dalam kumpulan cerpen Anak-Anak Mengasah Pisau yang dirilis tahun 2003, Darmanto Jatman, budayawan dan dosen FISIP Undip, memberi catatan pada endorsemen bahwa cerpen Triyanto merupakan dekonstruksi terhadap ideologi keindahan cerpen konvensinal.

Tak ketinggalan, Prof.Dr.Th.Sri Rahayu Prihatmi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, juga mencatat bahwa ketidakpastian cerita rekaan Triyanto ini justru merupakan salah satu ciri cerita rekaan yang menggunakan modus fantastik, satu cara ungkap yang merongrong tradisi Sastra yang mapan. Isinya pun seringkali merupakan penumbangan budaya mapan.

Kumpulan cerpen itu telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dr. IM Hendrati, MA, dosen Sastra Inggris Undip, dan putranya, Kristian Tamtomo. Children Sharpening The Knife, salah satu judul cerpen Triyanto yang diterjemahkan dari “Anak-Anak Mengasah Pisau”, disinetronkan oleh sutradara kawakan Dedi Setiadi. Cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga kecil yang hidup di daerah belakang Stasiun Tawang Semarang, yang isinya banyak pelacur dan gali.

Cerpen ini pula yang telah memberi inspirasi para seniman Galeri Langgeng di Yogyakarta untuk menggelar pameran lukisan tentang kisah dalam cerpen itu. Tak hanya itu, cerpen ini juga dipentaskan oleh Teater Closed, teater mandiri di kota Surakarta. Itulah sebabnya cerpen ini memberikan banyak kesan baginya. “Ternyata cerpen saya bisa jadi inspirasi bagi orang lain,” tuturnya.


TRIYANTO Triwikromo yang bernama asli Triyanto ini, lahir di Salatiga, 15 September 1964, 36 tahun silam. Triyanto kecil tumbuh dari keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang buruh pabrik Damatex, pabrik tekstil di Salatiga. Sementara, sang ibu sehari-hari menjajakan makanan kecil di depan kantor pegadaian yang terletak tak begitu jauh dari tempat tinggalnya, sekitar 10 menit dengan jalan kaki.

Bakat menulis Triyanto tak datang dari keluarga. Bakat itu tumbuh tumbuh semenjak ia duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu ia dipercaya menjadi pengurus majalah dinding di sekolahnya. Berawal dari membuat mading itulah rupanya ia mulai belajar menulis. ”Kadang kalau tak ada yang membantu membuat mading, saya yang buat sendiri semuanya, karena kebiasaan membuat itulah membuat saya harus belajar,” kenangnya.

Selepas SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Menurutnya, masuk SPG dianggap baik di kalangan masyarakat saat itu. Selain itu, ia bisa langsung mengajar karena ada ikatan dinas. Alasan yang kedua inilah yang sebenarnya mendasari pilihannya. ”Saya harus masuk SPG karena keluarga sangat miskin dan saya bisa menjadi guru, jadi bisa langsung kerja,” akunya.

Setelah lulus dari SPG, ia mengajar selama setahun di SD Kalicacing Salatiga. Rupanya perkembangan menjadi lain. Begitu lulus SPG dan mengajar, ia pun melanjutkan pendidikannya di IKIP Semarang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (sekarang menjadi Universitas Negeri Semarang, Red). “Dengan catatan nanti saya akan tetap mengajar,” ujar ayah dari Primaera Restu Wingit Anjani, Lang Lang Gredarera Sanrez Adami, dan Ibrah Fastabiqi Bawana Mukti. Karenanya, pada waktu mahasiswa, ia mengajar drama di SMP Gisik Brono. Tapi, nasib berkata lain. Ketika mengajar di sekolah itu, kepala sekolahnya tidak suka cara ia mengajar sebab kelas yang diajarnya sering membuat gaduh. Menurutnya, praktek drama dan puisi memancing keaktifan siswanya, hingga seringkali membuat kelas ramai.
“Rupa-rupanya dunia pendidikan tidak menerima saya. Ternyata teori-teori pembaharuan berbenturan dengan guru-guru yang lama,” ungkapnya mengenang masa lalu.

Teori-teori pembaharuan itu adalah teori cara mengajar yang aktif. “Ada dosen saya yang pinter, pak Ristiono namanya. Dia mengajarkan kami bagaimana mengajar dengan cara-cara yang aktif. Teori itu saya coba terapkan di tempat saya mengajar.”

Sebelum mengundurkan diri, ia menemui kepala sekolah. ”Pak nilai deduktif metodik saya A. Saya mengajar seperti ini secara teoritik ada, tetapi kalau saya tidak diperbolehkan mengajar, ya silakan,” ungkapnya waktu itu, kesal.

Setelah berhenti mengajar, setahun berikutnya, tahun 1988, ia mulai serius menulis dan dipercaya menganalisis puisi tiap bulannya di Harian Wawasan. Di tahun berikutnya, 1989, ia menjadi penyair terbaik Indonesia versi Gadis dengan sajak Perdamaiannya “Sajak Membaca Kepak Sayap Merpati”. Mulai saat itulah ia aktif di Suara Merdeka. ”Waktu itu Suara Merdeka meminta saya sebagai kontributor, secara resmi saya diterima di sana baru tahun 2000,” ujarnya.

Sebenanrnya, ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMA. Namun, baru dipublikasikan sejak tahun 1986. Itu pun karena dicuri dan dikirimkan oleh teman kuliahnya, tapi tetap atas namanya. Waktu itu, ia belum berkeinginan untuk mengirimkan karyanya. Bahkan, ia lupa karya pertamanya yang dipublikasikan. “Saya lupa judulnya, dimuat di Suara Karya kalau tidak salah,” tuturnya.


INSPIRASI menulis Triyanto bisa datang dari hal apapun. Tak jarang inspirasi itu datang tiba-tiba. ”Dari kehidupan, dari apapun yang menggetarkan saya. Dari orang-orang, bukan penderitaan saja tapi keromantisan, keindahan orang, peristiwa-peristiwa yang menyentuh bisa jadi inspirasi,” ujarnya.

Pernah suatu ketika inspirasinya datang saat ia menyetir, atau saat ia jalan-jalan ke luar negeri. ”Waktu saya jalan-jalan di luar negeri, di Sidney, saya melihat dua orang lelaki berciuman mesra dan indah, karena saya jijik saya ganti perempuan dengan perempuan dan menginspirasi cerpen “Ikan Asing dari Weipa-Nappranum,” ujarnya.

Lain lagi ketika ia sedang berhaji di Tanah suci, Arab Saudi. Seperti saat jalan-jalan di dekat makam Balqi. Triyanto melihat seorang ibu dan anaknya yang ingin sekali mendekati makam. Namun dalam tradisi Arab, perempuan tak boleh masuk makam. Dari situlah tercetus cerpen “Mata Sunyi Perempuan Takroni”.
”Saya mencari dan studi dulu tentang masyarakat Takroni, jadi tidak melulu imajinasi,” ujarnya menjelaskan bagaimana ia menyelesaikan cerpen itu.

Lama penyelesaian tiap cerpen berbeda-beda. Ada yang sangat gampang, semalam jadi. Ada pula yang bertahun-tahun karena kesibukan. Inspirasinya juga datang dari hasil pencariannya, tak hanya menunggu. ”Saya bukan orang yang suka menuggu. Lebih baik looking for, mencari. Menunggu bikin orang males. Kadang-kadang dalam menunggu itu saya sedang mencari,” ujarnya.

Dalam setiap karyanya, ia tidak monoton mengupas persoalan ketertindasan perempuan seperti yang seringkali dilontarkan oleh pembaca atas karyanya. “Tidak semuanya perempuan, tetapi orang yang tertindas. Dan kebanyakan yang tertindas itu juga perempuan. Ada lelaki yang kalah, perempuan perkasa, perempuan yang menyiksa perempuan lain….” ujarnya.

Cerpen-cerpen lainnya yang dimuat di berbagai media adalah “Tujuh Belas Agustus Tanpa Tahun” (1991), “Labirin Kesunyian” (1992), “Litani Kebinasaan” (1993), “Ninabobo Televisi” (1996), “Cinta tak Mati-mati” (1997), “Masuklah Ke Telingaku, Ayah” (1999), “Cermin Pasir dan Rahim Api” (2002), “Sayap Anjing” (2003), “Malam Sepasang Lampion” (2004), dan masih banyak lagi. Diantaranya, sudah tersusun dalam buku kumpulan cerpen.

Mantan Redaktur Nuansa (Tabloid mahasiswa UNNES, Red) ini, memandang menulis sebagai tempatnya berefleksi, merenung, dan mengekpresikan keinginan-keinginan yang tak bisa diungkapkannya dalam kehidupan di masyarakat. Dan pada akhirnya, publiklah yang akan menilai. Ia juga tidak pernah menghitung-hitung berapa pesan yang sampai pada masyarakat, yang penting ia berharap masyarakat menghayatinya. “Biarkan pembaca menemukan makna itu,” ujarnya.

Menulis adalah tempat ia berefleksi dan baginya tidak sederhana. Bercakap-cakap dengan diri sendiri merupakan jalinan yang sangat kompleks.

“Bagi saya, bercakap-cakap dengan diri sendiri tidak akan menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Mending saya tulis,” ujarnya.

Motivasi menulisnya, karena ia ingin menghilangkan ‘pikiran- pikiran pengganggu’, yaitu segala pikiran atau perasaan yang mengganggu apabila itu tidak ia munculkan dalam tulisan. Dalam menulis, buku-buku yang ia baca menjadi pengaruh penting dalam proses kreatifnya.

“Semua bacaan mempengaruhi saya. Saya hidup di lingkungan yang gemar membaca,” ungkapnya.
Dalam pendidikan putra-putrinya, tak ada paksaan untuk mengikuti jejaknya. Walaupun saat ini putri sulungnya mengambil jurusan yang sama sewaktu ia kuliah, yaitu Sastra Indonesia di Universitas Diponegoro.

“Dia masuk Sastra atas keinginannya sendiri, biarkan dia menemukan dirinya sendiri,” tuturnya.
Ia berharap anaknya mungkin bisa menjadi kritikus sastra, karena ia tidak menjadi kritikus sastra.
“....ya kalo bisa, kalo nggak bisa ya biarin...” ujarnya ketika mengakhiri pembicaraan kami di sela perkuliahan S2 yang tengah ia ikuti di Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro.

Tak salah bila Triyanto telah memilih jalan hidupnya sebagai seorang penulis meski harus melepaskan pekerjaannya sebagai guru. Pilihannya itu kini membawa kemenangan.****

*Dipublikasikan di taboid Hawe Pos edisi 12/Mei/2005
**Reporter Hawe Pos

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment