Kahyangan geger! Suralaya diserbu balamala Nurkala Kalimantra. Dewa kalah, parah, pasrah! Bidadari pada resah! Para dewa turba ke bumi. Mereka hendak mencari jago dewata untuk menumpas Nurkala Kamantra. Satu-satunya yang bisa mengalahkannya tak lain adalah Arjuna.
Rudal Ardadedali menembak telak Nurkala Kalimantra. Kalimantra meniada. Kalimasada mengada.
Begitulah akhir cerita Lakonet karangan Ki Harsono Siswocarito yang berjudul "Nurkala Kalimantra Geger di Suralaya". Lakonet kependekan dari Lakon Internet, yakni lakon yang dimainkan lewat media internet atau dunia maya.
Lakonet bisa juga disebut Wayang Maya atau Wayang Citra. Disebut Wayang Citra karena memang adanya di dunia maya dan memanfaatkan gambar, grafis, digital, foto maupun animasi sebagai wayangnya.
Selain "Nurkala Kalimantra Geger di Suralaya", ada lakonet lain yang sudah di hasilkan Ki Harsono. "Balada Utopia Dr Sucitra, "Sang Seta Panglima Amarta" dan yang paling hot adalah "Kembang Kampus Sokalima".
Lakon yang digunakan memang nama-nama lama yang sudah dikenal dalam pewayangan konvensional. Namun setting dan ceritanya lain. Lakonet "Kembang Kampus di Sokalima" mengambil setting di kampus. Srikandi si cewek cantik yang lagi cerdas. Jinak-jinak merpati ia mengagumi Arjuna, mahasiswa ganteng yang kutubuku dan supercuek. Banowati si centil dan mentel yang pede bisa menggaet Arjuna dengan keseksiannya.
Lakonet dan Wayang Mbeling
Jika dicermati, lakonet yang digagas Ki Harsono ini menyerupai jenis Wayang Mbeling yang berisi satire atas fenomena sosial di masyarakat. Bisa mengritik pemerintah atau perilaku masyarakat yang menyimpang.
Menurut Ki Harsono Wayang Mbeling yang sudah ada lebih mirip dengan cerpen. Berbeda dari yang lain, Ki Harsono tetap mempertahankan estetika sastra pedhalangan (seperti: suluk murwo, nyandra janturan dan pocapan, antawacana swara dan omomatopia) yang digubah dalam bentuk baru, yakni menggunakan media internet.
Karena menggunakan media internet, apakah lakonet yang dicetak dalam bentuk print out masih bisa disebut Lakonet?
"Tidak bisa. Gambar-gambar digital itu tak bisa dipandahkan ke dalam kertas. Lakonet hanya ada dalam dunia maya."
Lalu apa istimewanya dari Lakonet ini, bisakah ia menjadi sebuah genre tersendiri dalam dunia perwayangan?
Ide membuat blog Lakonet ini bermula dari kegemasan Ki Harsono atas minimnya literatur pewayangan di internet. Ia berpikir mendalang juga bisa dilakukan dalam dunia maya seperti dengan menulis di blog. Audiennya tak lain adalah pembaca blog itu sendiri.
Memang tak ada suara khas gamelan dan sinden, tak ada wayang yang dimainkan dengan tangan oleh si juru dalang. Tapi itu bisa disiasati. Ki Harsono membuat sendiri gambar dalam bentuk digital seperti Kayon, Gapuran yang dicantumkan dalam ceritanya.
Membaca cerita Lakonet Ki Harsono ini tak ubahnya menonton pertunjukan wayang secara live. Ceritanya hidup. Bahasanya mengalir, banyak menggunakan bahasa slank dan kerap diselipi istilah-istilah kamus dan teoritis.
Siapa sangka jika ki dalang rupanya mengerti konsep postmodernitas Alvin Toffler yang mengatakan modernitas cuma bisa diatasi dengan postmodernitas. Lewat lakon arjuna, ki dalang juga menyanggah konsep seni yang digagas oleh tokoh Formalisme Rusia Viktor Shklovsky, yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk kesenian menampilkan hukum-hukumnya sendiri, bukannya alasan-alasan yang mendorong kita dalam hidup sehari-hari. Baginya, Seni adalah deformasi!
Selain keluwesan bertutur, kita bisa menjumpai sejumlah kata yang menggunakan imbuhan atau pengulangan. Menurut Ki Harsono, model ini menganut pakem dalam bahasa pedalangan yang menggunakan bentuk pengulangan. Dan jika diteliti dengan jeli, penulisan baris per baris, per paragraf, per adegan, ditulis dengan rapi sesuai kaidah penulisan script drama.
Tak cukup itu. Dalang yang satu ini mahir mendalang dalam empat bahasa: Indonesia, Jawa, Sunda dan Inggris. Dalam blog wayangcitra itu disediakan link-link menuju halaman-halaman empat bahasa itu.
Siapakah gerangan Ki Harsono Siswocarito ini?
Belum lama ini saya menyempatkan menemui Ki Harsono Siswocarito di kantor jurusan Sastra Inggris Universitas Diponegoro. Di almamaternya ki dalang dikenal dengan nama Siswo Harsono, dosen jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Undip.
Dosen Sastra Inggris ini memang sudah lama akrab dengan dunia pewayangan. Naskah-naskah wayang mbelingnya pernah diterbitkan di Harian Suara Merdeka dan tabloid Mingguan Cempaka.
Ia ingin menerbitkan naskah-naskah lakonet itu ke dalam sebuah buku. Diakuinya, naskah itu sebenarnya sudah siap diterbitkan langsung dalam empat bahasa. Rencananya ia akan menerbitkan sendiri namun karena ongkos penerbitan di Semarang masih terbilang mahal, ia merencanakan untuk mencari alternatif lain, mencari percetakan dengan biaya yang lebih miring.
No comments:
Post a Comment