19 July 2007

Antiklimaks Nasionalisme Suporter Indonesia

Sepakbola hingga kini masih terbukti ampuh menjadi alat perekat rasa nasionalisme masyarakat Indonesia. Fakta ini bisa ditemukan dalam perhelatan Piala Asia yang berakhir dramatis dengan kekalahan Indonesia dari Korea 1-0. Meski Tim Merah Putih gagal melaju ke babak perempat final, namun sejumlah suporter tetap memberikan sanjungan. Apapun yang terjadi, Merah Putih tetap dikibarkan.

Tengok saja Jaya Prawira yang rela jauh-jauh datang dari Yogyakarta demi menyaksikan secara langsung tim kesayangannya berlaga. Ia mengaku telah memberikan dukungannya langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno sejak laga perdana Tim Merah Putih. Ia pun selalu menyempatkan untuk menonton di kelas VIP. Biasanya ia ke Jakarta dengan pesawat, namun karena kehabisan tiket, hari itu ia berangkat dengan Kereta Api.

“Sudah habis berapa juta saya untuk ini semua,” ujarnya kepada wartawan Detik. Tak cukup itu, Slemania yang mengaku bekerja di Dinas Pendidikan Nasional di daerahnya sampai membolos kerja.

Lengkap sudah kekecewaan Jaya. Sudah banyak berkorban, tapi tim yang didukung dengan segenap pengorbanan tak memberinya kemenangan. Namun demikian ia tetap mengibarkan bendera Merah Putih ukuran kecil sembari menyanyikan lagu sebagai ekspresi kekecewaannya.

Nggak bisa menang. Indonesia mimpi menang. Bangun-bangun kalah.” Ini diulang-ulangnya, dengan terduduk lemas di depan jalan keluar stadion, tangannya terus mengibarkan bendera merah putih. Tak pelak polahnya ini mengundang perhatian sejumlah orang yang melewatinya.

Kecintaan Jaya pada timnas merah putih adalah nasionalisme yang dipertaruhkan atas rasa kecewa pada sesuatu yang dicintainya. Sebuah cinta yang dipertemukan atas dasar rasa se -tanah air, sebangsa Indonesia, sebuah komunitas semu (immagined community) yang dibayangkan sekelompok masyarakat, menurut Benedict Anderson. Sebentuk cinta yang tanpa menuntut, cinta dengan alasan yang sulit dijelaskan.

Nasionalisme Jaya juga berarti pengorbanan seorang suporter timnas sepakbola Indonesia yang bertahun-tahun menunggu timnya masuk dalam pentas sepakbola dunia berakhir dengan kekecewaan. Jaya barangkali hanya satu dari sekian ribu suporter yang rela berkorban demi rasa kecintaannya pada tim sepakbola tanah air. Kalau pada akhirnya dia kecewa, ini wajar karena dia sudah banyak berkorban.

Memang tanggapan atas kekalahan timnas Indonesia cukup beragam. Meski kecewa, ada juga yang tetap merasa bangga karena tim kesayangganya telah mampu menunjukkan permainan terbaik.

“Kita kalah dengan terhormat, wajarlah lawannya Korea,” komentar Adhiyaksa Dault, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

Komentar Adhiyaksa tersebut memang melegakan, tapi di sisi lain mengecilkan timnya sendiri. Seolah menyimpulkan, apa mau dikata, timnas Korea memang lebih baik.

Lihat saja ekspresi Nudin Halid, sang Ketua Umum PSSI, yang mukanya merah padam. Namun demikian dia tetap memberikan sanjungan bahwa timnas merah putih telah menunjukka permainan kelas dunia.

Sementara itu, Sang pelatih Ivan Kolev mengatakan Indonesia beda kelas dari Korea. Korea adalah tim tangguh yang beberapa kali masuk Piala Dunia memiliki kemampuan di atas timnas Indonesia. Lagi-lagi dia pun bangga dengan anak-anak asuhnya. Baginya ini apa yang diberikan mereka sudah yang terbaik.

Apapun hasilnya, toh cinderamatan kaos timnas tetap laris manis. Meski kecewa, mereka tetap bangga membeli atribut timnas itu entah untuk sekedar oleh-oleh keluarganya di kampung halaman, atau sebagai simbol rasa nasionalismenya pada timnas Indonesia. Meski timnya kalah, suporter tetap membeli kaos tim kesayangannya. Ini seperti menyiratkan, meski kalah, timnas Indonesia tetap dicintai, atribut sebagai simbol kebesaran tim tetap disematkan.

Blogger Suporter

Dari hasil penelusuran, ada beberapa blogger yang secara khusus mengulas seputar dunia bola. Dari sekian itu, ada yang lebih khusus mengulas dunia suporter dengan segala wacana dan pernak-pernik suporter bola dalam negeri. Ada bangunsuporter.blogspot.com yang dikelola oleh Aji Wibowo, Suporter.blogspot.com dikelola oleh Bambang Haryanto, Pemegang Rekor Muri Sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli dan Warga Epistoholik Indonesia, Persebaya.blogspot.com, dikelola oleh bonekmania, suporter Persebaya Surabaya, dan tentu masih ada blog suporter lainnya baik yang dikelola oleh perorangan maupun komunitas.

Dari sekian blog yang saya kunjungi, masindra.wordpress.com adalah blogger yang pertama kali mencatatkan komentarnya atas pertandingan Indonesia vs Korea malam itu juga. Bisa jadi ada blogger lain yang luput dari penelusuran saya.

Pemilik blog tersebut menggabarkan situasi menjelang pertandingan yang ditangkapnya dari luar stadion. Ada suara letusan, ada suporter membakar salah satu loket penjualan tiket Ada aksi pembubaran massa dengan gas air mata oleh petugas kepolisian.

Untuk apa suporter sampai membakar loket, kenapa juga polisi menyemprotkan gas air mata untuk supporter yang ingin mendukung tim setanah-airnya?

Apakah itu terjadi karena rasa nasionalisme. Nasionalisme versi suporter yang hendak mengekspresikan rasa kecintaannya kepada tim, dan nasionalisme petugas kemanan yang ingin mengamankan perhelatan akbar simbol keperkasaan merah putih? Lalu kenapa pula kedua kubu tak bisa sejalan, bukankah mereka punya satu kepentingan, membawa satu bendera?

Dari awal pemilik blog http://masindra.wordpress.com sudah menduga, pemain Indonesia akan terlihat sedang belajar bermain bola, karena kecepatan yang selama ini diandalkan untuk melawan tim timur tengah tak efektif untuk melawan Korea Selatan. Belum lagi sikap yang terlalu hati-hati sang pelatih Ivan Kolev untuk mengganti pemain dan mengubah strategi permainan.

“Melihat permainan tim Indonesia malam itu seperti mengingat masa lalu, pemain panik dan tegang, ketika tertekan banyak membuang bola, sering melakukan kesalahan passing dan salah mengontrol bola. Antiklimaks permainan Indonesia. Dengan permainan seperti itu wajar saja kalah melawan Korea Selatan yang sebetulnya bermain dengan sangat biasa, tidak istimewa,” catatnya.

Mencermati catatan blogger itu, tampak sikapnya yang tegar. Sikapnya yang seolah-olah tak hendak membela kekalahan, menutupi kekecewaan. Inilah rasa nasionalisme yang melihat fakta secara obyektif. “Sedih tapi tetap realistis. Belum waktunya kali ya,” tulisnya.

Ya, tetap harus diakui bahwa timnas Korea di atas kertas lebih unggul. Namun demikian, permainan timnas Indonesia dalam Piala Asia kali ini sudah menunjukkan peningkatan. Meski tidak lolos ke babak perempat final, apa yang sudah diberikan oleh skuad timnas Indonesia adalah hasil yang sudah patut dibanggakan.

Tentu saja membela mental para pemain juga menjadi hal yang penting karena bagaimanapun mereka sudah berusaha maksimal. Dan sebagai pelatih dan para pembina sudah seharusnya memberikan dukungan moral pada anak-anak asuhnya.

Tapi sebagai suporter tentu saja tak bisa dituntut untuk bersikap seperti layaknya mereka yang berada di jajaran pembina. Suporter adalah anak, sekelompok rakyat yang dengan sukarela berteriak-teriak memberikan dukungan, begadang menahan kantuk untuk menonton pertandingan, bahkan sampai nekad membolos kerja, seperti yang dilakukan oleh Jaya suporter dari Yogyakarta. Jangan paksa mereka untuk menghibur timnya, biarkan saja mereka menumpahkan segala ekspresinya: kesal, jengkel, dongkol, kecewa.

Belajar dari suporter sepakbola Indonesia, baik yang blogger atau bukan, mereka yang berasal dari beragam daerah, yang hampir masing-masing memiliki tim lokal, bersatu-padu meleburkan diri mendukung perjuangan tim nasional Indonesia, entah betapapun akhirnya dikecewakan. Kecewa karena kalah, namun tetap bangga karena timnya telah menunjukkan permainan yang maksimal. Betapa sakit, betapa kecewa, namun tetap bangga. Masing-masing dari mereka punya beragam cara untuk mengeskpresikan kecintaannya pada tim kesayangannya. Apapun yang terjadi, demi nasionalisme, Merah Putih tetap dikibarkan!

Mengutip tulisan http://masindra.wordpress.com yang menyatakan "Antiklimaks Permainan Sepakbola Timnas Indonesia", di sisi lain frasa ini sesuai untuk mengungkapkan kekecewaan para suporter atas kekalahan tim nasionalnya. Maka tulisan ini akan diakhiri dengan "Anti klimaks Nasionalisme Suporter Indonesia"


Dimuat di suaramerdeka.com

Tulisan yang masih berkaitan:



2 comments:

  1. even macam piala ini memang lebih efektif untuk membangkitkan rasa nasionalisme daripada model upacara bendera.tapi kok dalam pertandingan antar klub liga Indonesia,para suporter kok sering bentrok,kan mereka sama-sama warga Indonesia.ah nasionalisme emang problematis, abstrak.

    ReplyDelete
  2. indonesia cuma belum di kasih menang

    ReplyDelete