UNTUK menyensor secara ketat dan lebih keras atas bejibunnya informasi melalui internet, pemerintahan garis keras Iran mensyaratkan pendaftaran semua website dan weblog dalam negeri pada 1 Maret. Kontan, hal ini menuai penolakan dari para blogger di Iran yang menganggapnya sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat.
Sebuah komisi yang beranggotakan pejabat pemerintah, termasuk anggota intelejen, kehakiman, telekomunikasi, dan kementerian urusan kebudayaan dan Islam, akan menjadi penanggung jawab mengenai persetujuan konten website-website tersebut. Komisi ini bertugas menghalangi atau menyaring berbagai website dan weblog yang dianggap ilegal.
Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melarang dan menyaring ribuan website dan weblog tanpa penjelasan. Tapi, untuk kali pertama, undang-undang baru ini secara khusus berisi konten macam apa yang tidak diizinkan.
Para pendaftar website dan weblog juga harus menyertakan identitas pribadi mereka. Para pengelola yang mengabaikannya terkena risiko ditutup website dan weblog-nya, dipidana, dan jika kasus ini dibawa ke pengadilan, para terdakwa bisa dipenjara.
Sejumlah aktivis berencana menentang persyaratan-persyaratan baru tersebut. Farnaz Seify, seorang blogger-cum-feminis di Teheran, mengatakan, “Kebijakan baru pemerintah soal pemberlakuan regitrasi ini menunjukkan sikap penguasa yang makin jelas bahwa tidak seorang pun diizinkan mengkritik atau bahkan berdiskusi soal agama, kebijakan pemerintah, revolusi, Ayatollah, dan masalah-masalah sosial."
”Kebebasan berbicara tidak bisa dikekang dan dibatasi –tapi, pemerintah Iran telah merusak hak dasar manusia ini,” katanya. “Dengan undang-undang baru ini, pemerintah menistakan saya sekaligus kecerdasan saya. Saya tak akan mendaftarkan website pribadi saya. Saya tak butuh izin untuk menjalankan kebebasan berekspresi.”
Farnaz, yang blog-nya pernah disaring karena berisi kampanye feminis yang terang-terangan, menambahkan, “Saya tahu mereka akan menyensor saya lagi. Ini memperlihatkan kekuatan mereka namun bukan legitimasi mereka. Saya tidak akan menyetujui hukum yang anti-kemanusiaan ini dengan menaati hukum tersebut maupun menghormatinya.”
Hukum baru ini mewajibkan pendaftar weblog dan website untuk melengkapi nama, alamat, nomor telepon, calon pengunjung, perkiraan jumlah pembaca, dan informasi detil lainnya. Pelarangan yang komprehensif ditujukan pada konten yang berkaitan dengan beragam isu, dari kecaman terhadap tokoh-tokoh agama hingga masalah seks, dan juga konten yang menyerang Ayatollah Khomeini (pendiri Republik Islam), Ayatollah Khamenei (Pemimpin Tertinggi Iran), atau yang dianggap melecehkan hukum-hukum Islam.
Menteri Urusan Kebudayaan dan Islam, yang merancang hukum baru ini, mengatakan bahwa aturan ini dibuat untuk mendukung website-website legal dan menghilangkan yang “ilegal”.
“Hukum ini diharapkan akan membuat atmosfer internet menjadi bersih dan aman,” demikian pengumumannya.
Bagi banyak orang Iran, internet adalah satu-satunya arena publik tempat mereka bisa berbagi dan bertukar pikiran, perhatian, dan emosi tentang masalah seksualitas hingga masalah sosial. Juga berbagai isu yang diperdebatkan seperti hak-hak perempuan serta kecaman terhadap rezim saat ini dan kebijakan-kebijakannya. Setelah intenet menjadi ruang yang relatif aman untuk kebebasan berpendapat, para pengkritik hukum baru tersebut mengatakan bahwa syarat-syarat baru itu akan secara efektif mematikan pertahanan terakhir komunikasi ini.
Sejak 2002, pemerintah telah memberlakukan sistem pembatasan ketat, yang secara efektif melarang berbagai website dan weblog milik orang-orang Iran di dalam negeri. Negara mengontrol seluruh Penyedia Layanan Internet (Internet Service Providers), dan menjadikan Iran sebagai negara yang paling membatasi ruang internet setelah China.
Hukum baru ini tak hanya menjamin pemerintah mengontrol seluruh konten dari semua website yang dirilis di Iran. Kini penguasa juga bisa menyaring ribuan website dan weblog yang ditulis dalam bahasa Farsi di luar Iran.
Dalam beberapa tahun terakhir –sejak hukum baru— banyak wartawan dan blogger ditangkap dan dipenjarakan. Arash Ashoriania, seorang photo-blogger dan pemenang lomba Reporters Without Borders Best of the Blogs yang diselenggarakan German Broadcaster Deutsche Welle pada 2006, mengatakan bahwa hukum ini mempengaruhi aktivitasnya sejak “blog saya disaring oleh penguasa tanpa alasan yang jelas. Dan saya tak merasa kehilangan dengan menolak mendaftarkan website saya.”
Blogger dan wartawan Iran terkenal lainnya, Hanif Mazruie, yang pernah ditahan dan dimasukkan di penjara yang terpencil selama lebih dari 90 hari pada 2004, meyakini peraturan baru ini hanya akan mempunyai efek jangka pendek.
”Orang-orang Iran secara terus-menerus bekerja dengan cara baru untuk melewati penyaringan tersebut. Kebijakan ini hanya akan membuat mereka makin getol dalam mengabaikan kewajiban dan mendapatkan informasi yang mereka inginkan,” kata Mazruie.
Kebanyakan website dan weblog politik yang mengkritik pemerintah telah diblokir. Dengan pemantauan yang meningkat, hal ini menyiapkan jalan bagi penindasan dan kontrol resmi terhadap internet.
”Blog-blog dan website-website politik adalah kelompok yang menjadi terget,” kata Mazruie. “Juga NGO dan organisasi hak asasi manusia, yang menggunakan internet sebagai sarana utama komunikasi, adalah kelompok utama yang akan dibatasi. Pemerintah ingin melarang, menghentikan, dan memperingatkan orang yang menulis tanpa nama (anonim).”
"Para pejabat intelejen yang menjadi kekuatan penyeimbang selama masa jabatan Presiden Khatami (1997-2005) sekarang menjadi bagian pemerintahan ini dan mereka bernafsu untuk melanjutkan tindakan tegas terhadap aktivis pengguna internet sejak Ahmadinejad berkuasa,” ujarnya. “Meski demikian, mereka tak berhasil.”
Wartawan sekaligus blogger Roozbeh Mirebrahimi mengatakan bahwa kebijakan registrasi juga menciderai konstitusi Iran. “Persetujuan dari kabinet tidak berarti keputusan pemerintah sah. Mereka harus melewati parlemen. Meski demikian, ini menunjukkan suasana konservatif di Iran yang dengan mudah menutup mata terhadap kebebasan berpendapat,” katanya.
“Semua pengalaman yang mereka punya termasuk mengancam, menangkap, dan mengintimidasi para aktivis pengguna internet dan wartawan,” tandas Mirebrahimi, yang pernah dipenjara karena tulisannya di internet pada 2004 dan telah dibebaskan dengan jaminan.
”Pemerintah hendak mengontrol wilayah maya dengan berbagai cara. Walaupun, tak mungkin untuk mengontrol internet untuk waktu lama. Teknologi dan orang yang bernafsu untuk mengembangkan pengetahuan akan menemukan satu cara untuk bergerak maju dan pemerintah hanya menghamburkan waktu dan biaya,” katanya.*
Translated by Imam Shofwan
Edited by Budi Setiyono
* ) Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS.
No comments:
Post a Comment