14 December 2005

Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra

Antara Fakta dan Fiksi


De omnibus dubitandum. Segala sesuatu harus diragukan, kata Filsuf Rene Descartes. Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu.

Sementara sastra dinilai oleh banyak orang sebagai dunia rekaan yang menawarkan mimpi-mimpi dan penuh dusta. Ia hanya dunia refleksi, hanya bias atau bayang dari yang mewakilnya. Apapun yang bukan nyata, namun menyerupanya adalah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Demikian juga kartun, komik-komik, trgedi, atau apapun yang menjelma dalam sastra. Ia dapat menjelma menjadi kebenaran melalui pembenaran-pembenaran yang terjadi secara individual. Tak ada satupun prosedur yang memungkinkannya menjadi kebenaran massal atau kolektif.

Pernyataan dalam sebuah novel, puisi atau drama, tidak bisa dianggap benar secara harfiah. Ketiga jenis karya sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imaji. Seorang tokoh dalam novel berbeda dengan tokoh dalam sejarah atau tokoh yang hidup -tokoh sebenarnya. Akan tetapi tokoh dalam novel, hidup dari kalimat-kalimat yang mendeskripsikannya, dan dari kata-kata yang dirangkai oleh si pengarang.

Tokoh-tokoh dalam novel - shakespear, misalnya, diperlakukan seperti orang hidup. Padahal waktu dan ruang dalam sastra tidak sama dengan kehidupan nyata. Bahkan novel yang nampaknya realistis sekalipun, yang ditulis dengan gaya "potongan kehidupan" oleh para penulis naturalis, telah dibuat atas konvensi artistik tertentu.

Sebagai contoh, ada sebuah peristiwa tentang ditangkapnya seorang mahasiswa sesudah usaha demonstrasinya di depan parlemen dihalau dan dibubarkan oleh tentara. Sebuah media massa melaporkan berita tersebut dengan judul: "Oknum Mahasiswa Ditangkap Karena Menghina Presiden"; media yang lain menulis: "Karena Melawan Petugas , Seorang Demonstran Ditangkap"; atau yang lain lagi "Demo Di Depan Parlemen Dihalau Pasukan Huru-Hara: Seorang Mahasiswa Ditangkap."

Semua kalimat di atas dapat dengan segera memiliki arti dan pemahaman yang berbeda: yang satu netral, satu mendukung, dan yang lainnya menentang. Mana yang benar, yang nyata? Tidakkah pemberitaan tersebut malah membuat sebuah kenyatan menjadi relatif tafsirnya; sebagaimana sebuah fiksi? kemudian apa yang didapat dari pembaca? Kebingungan.

Kenyataan atau kebenaran yang diungkap dalam media massa sebenarnya lebih banyak merupakan fiksi dari pada fakta. Menurut Rene Wellek dan Austin Werren dalam bukunya Theory of Literature, mengatakan bahwa fakta adalah rangkaian ruang dan waktu terjadinya sebuah peristiwa. Jadi fakta adalah peristiwa itu sendiri. Dan ketika peristiwa itu di tulis ulang -dilaporkan-ulang, sebenarnya fakta itu sudah bergeser menjadi fiksi.


Jika kita mengamati, peristiwa di atas dilaporkan oleh media dari berbagai sudut pandang. Ada yang netral, ada yang mendukung, dan ada yang secara keras menentangnya. Fakta -rangkaian ruang dan waktu peristiwa-. dalam peristiwa itu, banyak yang dihilangkan. Kejadian mendetail, bagaimana para pasukan tentara itu manangkap para demonstran, bagaimana dengan demonstran yang lain, dan bagaimana keadaan sekitarnya. Detail peristiwa itu tidak semuanya disajikan. Berita yang disampaikan adalah potongan peristiwa yang dilihat dari satu sudut pandang.

Meskipun didasarkan atas fakta dan data, ternyata kenyataan yang dikabarkan tidak bisa secara langsung direduksi menjadi sebuah kebenaran. Dalam ilmu jurnalistik, kebenaran dapat dengan mudah tergelincir. Apalagi kalau sumber berita, data, atau fakta itu memiliki kekuasaan yang berpengaruh besar. Dengan mudah seorang pejabat, misalnya, mengatakan keadaan aman terkendali, sementara angka kriminalitas yang tinggi dimanipulasi. Ataupun seorang wartawan yang memberitakan kondisi perusahaan milik seorang pengusaha besar "tak bermasalah", sementara pembayarn kredit perusahannya macet lantaran takut ijin terbitnya akan dicabut atau jatah iklannya dikurangi.

Bill Kovach dan Rosenstiel dalam bukunya Elements of Journalism mengatakan kebenaran jurnalisme seharusnya bersifat fungsional; dapat digunakan dalam kehidupan praktis. Seorang polisi menangkap penjahat berdasarkan kebenaran fungsional. Dalam jurnalisme akurasi bukanlah sebuah tujuan. Akurasi hanya sebuah alat untuk menyampaikan kebenaran.

Seno Gumira Ajidharma lebih dikenal sebagai seorang penulis cerpen daripada wartawan. Padahal ia pernah berkarir di harian Jakarta-Jakarta. Seno menyampaikan peristiwa kekejaman di Timor-Timur ke dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Saksi Mata. Kenapa ia tidak menulisnya dalam laporan jurnalistik? Pertanyaan ini dijawab dalam esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Muncul pertanyaan, apakah yang ditulis oleh Seno tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah fakta, sebuah kebenaran? Bagaimana bila ternyata tokoh-tokoh dalam cerpennya itu ternyata fiktif, bukan nama sebenarnya. Ada bagian yang ditambah, atau bahkan didramatisir agar cerita lebih menarik?

Akan tetapi dusta dalam sastra, seperti yang dikatakan oleh Vincent Crummles, tokoh dalam karya Charles Dickens, Nicholas Nickleby. "art is not truth, art is a lie," namun Crummles kemudian melanjutkan, "that reveals the truth." Sastra adalah sebuah dusta, namun dusta yang menyingkap kebenaran.

Kita tidak bisa mengklaim seorang penyair yang mengekspresikan dirinya melalui puisi. Begitu juga kita tidak bisa menganggap apa yang diceritakan seorang novelis dalam certianya adalah sebuah dusta. Karena bisa saja apa yang ditulis oleh seorang penyair dalam puisinya, apa yang ditulis seorang pengarang dalam novelnya merupakan kebenaran. Kebenaran dari apa yang diamatinya dari penglaman, kebenaran dari apa yang diamatinya dari lingkungan sekitar, bahkan kebenaran dari apa yang dialaminya sendiri dalam perjalanan hidupnya.

Seorang penyair yang dalam puisi mbelingnya mengkritik dan mencaci sang penguasa tidak bisa dikatakan sebagai seorang penyebar propaganda. Seorang pengarang yang menceritakan sebuah kekejaman dalam novelnya bisa dikatakan adalah sebuah kebenaran adanya. Karena kebenaran sastra adalah kebenaran itu sendiri, karena sastra mempunyai dunianya sendiri, yaitu dunia reka atau imaji.

Sebagai sebuah kreasi imaji, karya satra memang tidak mampu menegakkan diri menjadi salah satu pusat legitimasi persoalan-persoalan sosial atau proses-proses institusional masyarakat yang memilikinya. Dunia imaji yang ditata dalam sastra adalah semesta yang menghimpun tak hanya kesadaran akal, namun juga kesadaran batin. Dunia empirik yang adanya tidak dapat dijelaskan oleh katagori sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan tidak akan pernah kita jelaskan secara menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya satra dari produk laboratorium, telaah sejarah, atau penyusunan biografi.

Oleh karenanya, pembaca dituntut untuk memiliki persiapan untuk menghadapi karya sastra sehingga mampu untuk memahami maknanya secara maksimal. Posisi persepsi pembaca seperti inilah yang memungkinkan dusta sastra menjelma kebenaran apapun definisinya.

Namun sayangnya, seringkali kita "membunuh" pembaca dengan menyatakan bahwa mereka adalah sesuatu yang naif, polos, dan tak berpamrih. Inilah dusta yang sebenarnya, karena sementara itu, pembaca sebenarnya diam-diam, lewat sejarah membacanya, ia telah menyusun strategi ketika ia mengeksprsikan karya sastra. Lalu kenapa kita tidak mengkuinya?***

*Disampaikan dalam diskusi ces batere magang dasar LPM Hayamwuruk 2004 dan disampaikan lagi pada magang 2005. Judul ini diambil dari kumpulan esai Radhar Pancadahana (Gramedia: 2001?). Makalah ini disusun dari riset berbagai pustaka. Pembaca disarankan untuk membaca lebih lanjut buku-buku terkait.

Tulisan yang masih berkaitan:



3 comments:

  1. Dalam jurnalisme akurasi bukanlah sebuah tujuan. Akurasi hanya sebuah alat untuk menyampaikan kebenaran.

    Apa benar?

    ReplyDelete
  2. aku temukan pernyataan ini di resensi sembilan elemen jurnalisme yang ditulis oleh andreas harsono. aku sepakat dengan itu. gmn? kau meragukannya?

    ReplyDelete
  3. Udin sepakat dengan apa? Dengan saya atau dengan Andreas?

    Kalau dibilang ragu, benar juga. Masa sih akurasi bukan tujuan? Bagaimana mungkin jurnalisme bisa menyajikan informasi yang dapat 'memerdekakan' warga kalau informasinya tidak akurat

    Mungkin yang Andreas maksud adalah objektifitas. Objektifitas adalah metode, bukan tujuan. Itu aku sering dengar.

    Gimana?

    ReplyDelete