Menulis skripsi identik dengan melakukan penelitian, yang merupakan bagian integral dari keseluruhan misi universitas, dalam kesatuan Tri Dhrama Perguruan Tinggi. Artinya, suatu bidang ilmu tidak sebatas dipelajari, namun juga diteliti dan dikaji, kemudian diterapkan sehingga dapat memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat di luar kampus.
Maraknya bisnis joki skripsi akhir-akhir ini dipicu oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah rendahnya budaya penelitian di kalangan civitas akademika perguruan tinggi. Aktivitas penelitian hanya menjadi komoditas segenlitir individu yang masih konsisten membaktikan keilmuannya pada masyarakat. Indikasinya bisa dilihat dari minimnya kebiasaan menulis (writing habit), yang bila ditelusuri lebih lanjut juga diimbangi oleh rendahnya kebiasaan membaca (reading habit) di kalangan masyarakat kampus.
Wabah syndrom di atas telah menyerang alam bawah sadar mahasiswa saat ini. Kultur akademik di perguruan tinggi sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Kemudian mentalitas di kalangan mahasiswa saat ini bahwa pendidikan bukan menjadi sarana masyarakat untuk memperdalam bidang keilmuan yang ditekuni namun hanya untuk mengejar gelar.
Akibatnya, sebagian mahasiswa hanya mengejar kelulusan. Kuliah tidak ditekuni secara serius. Cara apapun tak jadi soal, yang penting asal dapat nilai dan asal cepat selesai. Perilaku mencontek, menjiplak, tak lagi diperdebatkan sebagai sebuah pelanggaran intelektual.
Namun kondisi itu tidak sepenuhnya terletak pada mahasiswa. Menurut Dr Nugroho Mpsi, Sekretaris Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah, ada tiga variabel yang menyebabkan maraknya bisnis joki skripsi. Yakni kultur akademik yang rendah, adanya pelaku pasar (para joki), serta regulasi yang tidak jelas (Suara Meredeka, 22/4/2005)
Dosen Tak Teliti
Bila dosen cermat, ia akan menjumpai banyak tugas yang dikumpulkan oleh mahasiswa ternyata isinya sama. Mungkin tidak sama persis, namun idenya sama. Bila dosen juga mengikuti perkembangan dunia cyber, beberapa tugas mahasiswa itu ternyata juga dicomot paksa dari situs-situs di internet.
Kecepatan teknologi informasi internet menimbulkan efek negatif karena mahasiswa menjadi malas membaca buku. Artikel-artikel, dan informasi instan lainnya setiap saat bisa didapat dengan mudah tanpa meributkan soal HAKI (Hal Atas Kekayaan Intelektual). Dengan hanya copy and paste, tugas kuliah sudah siap saji hanya dalam beberapa menit.
Itu baru tugas buat makalah, belum lagi mereka dipaksa untuk membuat skripsi. Dikatakan dipaksa karena pada dasarnya bagi mahasiswa yang malas, tidak akan menikmati pekerjaan menulis skripsi itu. Membaca banyak buku referensi kemudian menguraikannya dengan seperangkat teori bukan pekerjaan mudah bagi kebanyakan mahasiswa saat ini.
Bagi yang malas, paling-paling akan mendatangi para joki skripsi dengan membawa segepok uang untuk mengerjakannya. Mereka hanya perlu training sebentar sebelum maju ke dosen pembimbing, sementara bahan-bahan telah dipersiapkan oleh orang lain.
Solusi
Untuk meminimalisir praktek perjokian skripsi, bila mengacu pada variabel yang dapakai oleh Dr Nugroho di atas, langkah pertama yang dilakukan adalah memperbaiki kultur akademik. Reading habit dan writing habit kalangan mahasiswa harus lebih dipacu lagi. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan menciptakan sistem perkuliahan yang pro aktif. Maksudnya, model perkuliahan yang bisa merangsang keaktifan mahasiswa, baik di dalam kelasa maupun di luar kelas.
Salah satu yang ditawarkan adalah model kelas diskusi. Kelas yang ideal, mahasiswa dari rumah sudah mempersiapkan dan membaca materi yang akan dibahas, di kelas tinggal membahas poin-poin yang belum dipahami. Sesekali seorang mahasiswa tak masalah bila berbeda pendapat dengan teman atau bahkan dosennya. Perbedaan persepsi itu kemudian diperdebatkan di dalam kelas. Tentu kelas seperti ini akan sangat menarik.
Pemahamaan yang diperoleh mahasiswa tidak hanya sebatas menghafal definisi-definisi dari bermacam-macam teori tapi sudah lebih dari itu, dia akan tahu kelemahan dan kelebihan dari teori atau keilmuan yang sedang dipelajarinya itu. Dengan model ini, mahasiswa yang belum membaca materi akan ketahuan karena mereka tidak siap. Sistem pengajaran model SKS (sistem kebut semester), tanpa melibatkan keaktifan mahasiswa akan sepintas lalu dicerna oleh mahasiswa.
Melihat potensi pasar yang besar, bisnis joki skripsi pun kian subur. Bila dulu mereka bergerak di bawah tanah, sekarang mereka terang-terangan. Dalam hal ini, saya tak menyalahkan mereka. Mereka hanya melayani kebutuhan pasar. Dan memang pasar kebetulan juga mempunyai potensi yang amat tinggi.
Langkah merazia atau menindak tegas para joki skripsi ke jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah. Praktek pelacuran intelektual ini masih tetap berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Persoalannya lain bila yang menjadi joki itu adalah oknum yang menjadi bagian dari civitas perguruan tinggi terkait. Ia harus melepaskan salah satu, memilih menjadi joki skripsi secara terang-terangan atau diberhentikan dari statusnya sebagai dosen.
Langkah yang paling efektif adalah memperbaiki kultur akademik perguruan tinggi. Ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, dosen juga perlu memperbaiki reading habit dan writing habitnya.
Faktor kesejahteraan dosen yang belum terjamin, ditengarahi sebagai pangkal minimnya perhatian dosen terhadap bidang penelitian. Tak hanya itu, seringkali dosen malas-malasan dalam mengajar, tak serius dalam membimbing skripsi, asal main coret, susah ditemui, dan lain sebagainya. Maka jangan salahkan bila mahasiswa kemudian menemui ‘joki skripsi’ untuk memberikan bimbingan karena dosen pembimbingnya di kampus tak serius membimbingnya.
Perubahan akan terjadi bila kita ada mulai dari diri masing-masing. Dengan adanya keasdaran, mentalitas mahasiswa yang menganggap bahwa gelar adalah tujuan segala-galanya, dan permalahan lainnya itu bisa dikelola dengan sistem perkuliahan yang baik, sehingga tak membuka celah bagi para joki skripsi.
No comments:
Post a Comment