Agaknya, masyarakat masih memandang tabu keputusan menikah muda dikalangan mahasiswa. Bagi kebanyakan masyarakat kita, untuk tak menyebutkan semua, menikah saat masih kuliah dianggap keputusan yang tak berdasar.
Meski dianggap tak wajar, bukan berarti mahasiswa yang menikah muda tak ada. Survei menunjukan, tak sedikit mahasiswa Undip berstatus menikah. Lebih menarik lagi keputusan mereka berumah tangga dibuat secara sadar.
Frida NRH Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran Undip menganggap fenomena itu sebagai hal yang wajar. Menurut alumni program pasca sarjana (S2) di Fakultas Psikologi UGM, kuatnya kontruksi sosial yang dibuat masyarakat justru bisa menimbulkan ketidakwajaran.
Ditemui di rumahnya yang asri di Jalan Sinar Waluyo 461 Semarang, ibu dua putri ini menerima M. Sulhanudin dan Shofatus Shodiqoh dari Hawe Pos.
Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena nikah muda dikalangan mahasiswa, khususnya Undip, ditinjau dari perspektif psikologi sosial ?Menurut saya pribadi, hal itu bukan masalah yang besar. Memang idealnya, kalau seseorang itu masih menjalani pendidikan apalagi S1 yang usianya berkisar antara 18-24-an itu sebenarnya merupakan usia-usia produktif untuk belajar. Kalau pada masa itu konsentrasi studinya terbagi dengan keluarga, itu cukup berat.
FRIDA NRH-Psikolog dari Universitas Diponegoro Semarang
Mengapa bisa demikian ?
Pertama, karena usia yang masih muda. Dalam masa ini banyak pikiran yang belum mapan. Artinya ide-ide dan juga tujuan hidup yang belum mapan. Kedua, Secara sosial ekonomi pasti juga belum mapan. Padahal yang namanya hidup berkeluarga pasti memiliki tanggung jawab, obligasi sosial yang harus dipenuhi. Dia tidak mengurusi dirinya sendiri, tapi juga ngurus anak orang lain dan mungkin anaknya sendiri. Menurut saya itu bukan hal yang mudah. Karena sebenarnya berumah tangga tidak hanya bertemu, nikah kan nggak. Tapi banyak sekali obligasi moral yang harus dipenuhi.
Anda mengatakan nikah muda bukan merupakan masalah besar, bisakah Anda jelaskan?
Itu tidak masalah, kalau menikahnya sudah di planning. Sudah ada persiapan. Sudah mempunyai pekerjaan. Dan secara ekonomi sudah mapan.
Menurut Anda, alasan-alasan apa yang membuat mereka memutuskan untuk menikah pada usia muda?Ada dua kemungkinan. Orang menikah muda memang betul-betul kepengen nikah. Yang kedua ya karena terpaksa. Bisa jadi karena ada trouble. Yang kedua ini yang distortif. Karena sesuatu yang dilaksanakan tanpa rencana akan menimbulkan permasalahan yang tak terduga.
Apakah Anda sendiri pernah melakukan penelitian tentang kasus ini?
Pernah. Di TV. Waktu itu acara Obrolan Simpang Lima. Kebetulan nikah muda diangkat menjadi tema. Saya hadirkan seseorang yang sudah menikah yang usianya relatif masih muda. Sedangkan istrinya adalah kakak kelasnya. Dia sendiri masih duduk di tingkat II semester II-red--. Mereka mengaku tidak merencanakan untuk nikah muda. Ya, Waktu mereka ketemu mereka memutuskan untuk menikah. Jadi sebelumnya mereka tidak berpikiran untuk nikah muda.
Motif atau keinginan apa yang melatarbelakanginya?.
Mereka berfikir. Ada orang mengatakan kalau mereka memang sudah menginginkan satu sama lain, kenapa nggak menikah saja. Tetapi mereka harus memperhitungkan konsekuensi dari keputusannya itu. Yang banyak dihadapi adalah pernikahan yang belum direncanakan. Ketika mereka tidak merencanakan, sementara yang namanya hidup berumah tangga itu banyak hal, dalam tanda kutip, tak terduga. Kita berteman saja dech. Kadang sering ada masalah. Apalagi berumah tangga. Satu sama lain punya kepentingan sendiri-sendiri. Sedangkan udah punya ikatan, baik agama atau sosial. Dan mereka punya harapan-harapan satu sama lain. Sehingga bagi mereka yang tidak merencanakan mungkin akan timbul rasa penyesalan. Kalau udah begitu masalah-masalah lain akan muncul, kekecewaan. Kekecewaan antara yang satu sama yang lain. Ini repotnya disitu. Padahal mereka harus dihadapkan pada tanggung jawab lain. seperti yang kita tahu kuliah sekarang nggak mudah. Dibatasi 14 semester. Apalagi mereka udah nikah, tentunya punya target setelah lulus cepet punya kerja. Jadi saya bayangkan mereka hidup dalam ketegangan, kecemasan kalau udah begitu akan muncul permasalahan lain.
Apakah problem-problem itu juga akan timbul pada pernikahan yang sudah direncanakan?
Mereka akan mengalaminya. Tapi mereka lebih fair kan. Mereka mengatakan bahwa ini keputusan kita. Setidak-tidaknya mereka sudah ada komitmen. Tapi yang tiba-tiba itu yang tidak diperhitungkan sebelumnya akan bermasalah. Masalah yang akan timbul mungkin sama dengan yang belum ada persiapan. Akan tetapi cara mengahadapinya yang berbeda. Keberhasilan seseorang di dalam menghadapi persoalan itu kan tidak tergantung pada apa itu masalahnya, bagaimana menghadapinya. Hal ini yang terjadi di sini.
Apakah fenomena nikah muda itu bisa dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat. Misal saja karena pandangan dalam keluarga yang demikian?
Itu boleh jadi. Tapi saya tidak yakin hal itu ada di kalangan mahasiswa. Saya kurang tahu apakah masih ada kultur ortu yang menginginkan anaknya nikah muda. Tapi itu kemungkinan yang kecil. Menurut saya kebanyakan yang terjadi itu karena kepekso. Mereka terpaksa menikah karena ada satu dan lain hal.
Permasalahan-permasalahan apa yang mungkin timbul selama paska nikah?
Sama saja. Sebenarnya permasalahan yang timbul dalam keluarga itu pada umumnya hampir sama. Pertama, kita harus beradaptasi dengan orang lain. Hidup sendiri dan ternyata sekarang hidup dengan orang lain itu butuh penyesuaian. Yang kedua kita mesti akomodatif . Mengakomodatifkan keinginan-keinginan yang lain. Misalnya yang satu suka masakan pedas yang satunya tidak. Selain itu kita juga harus adaptasi. Seperti yang kita sadarai bahwa keduanya berasal dari habitat yang berbeda yang harus hidup dalam satu tempat. Jadi satu sama lain harus sharing.
Apakah ada problem lain, misalkan dalam membagi waktu antara keluarga dan kuliah?
Belum lagi itu. Seperti yang saya katakan tadi. Sekali lagi mana yang harus diprioritaskan, ujian dulu apa anaknya yang sakit? Jadi dalam membagi waktunya itu memang harus canggih banget. Saya sering kagum dengan anak muda yang menikah. Karen itu butuh suatu kemampuan memanajemen diri untuk mengelola diri, waktu, lingkungan dan aktivitas lainnya. Semua itu memerlukan skala prioritas.
Bagaimana dengan pernikahan yang berkomitmen untuk tidak mempunyai anak dulu ketika mereka masih dalam masa studinya?
Itu hak pribadi mereka. Tapi jangan dikira tanpa anak tanpa masalah. Memang kadang dengan adanya anak menjadi penguat suatu komitmen tersendiri di antara mereka. Mereka tidak ada anak, tapi ada masalah lain. Seperti tanggung jawab.
Bagaimana dengan mereka yang menikah tetapi masih ikut orang tuanya. Apakah ada perbedaan dengan mereka yang sudah mandiri?
Ada sedikit perbedan ketika menikah, tetapi mereka tetap anak ibu bapak. Mereka masih tinggal di rumah ortu. Jadi menantunya hanya menambah anak dalam rumah ortunya. Dan mereka masih kayak anak-anak. Makan tinggal makan yang ada di meja makan, tidak berpikir bayar listrik, arisan PKK, dan sebagainya. Perbadaannya mereka menjadikan hanya sebagai rekreasi saja. Tapi saya tidak mengerti, apakah itu makna yang sebenarnya dari sebuah pernikahan. Apakah mereka menikah hanya untuk menghindari zina. Apakah itu caranya? Ini karena kita bicarakan mengenai nilai dari sebuah pernikahan. Artinya adalah sebuah pertanggungjawaban pada diri kita sendiri, orang lain. Saya melihat bahwa sebuah rumah tangga adalah merupakan deklarasi untuk membentuk sebuah negara sendiri. Kalau misalkan seperti itu berarti kita bener-bener berumah tangga. Ya mungkin dari pada dosa lebih baik mereka menikah. Mereka mungkin tidak mengalami permasalahan yang sebenarnya. Tapi saya khawatir dengan perkembangan tanggung jawab terhadap rumah tangga, nilai dari rumah tangga pasti akan berkambang secara berbeda dengan mereka yang berumah tangga, dengan punya negara sendiri. Cara mereka memandang ini itu sudah beda. Jadi mereka akan tetap mendapatkan permasalahan yang lain. Tapi enaknya mereka masih ikut mama papa, paling tidak PMI ( Pondok Mertua Indah ) Mereka nggak mikir, hepi aja.
Bagaimanakah dampaknya terhadap pergaulan di kampus? Apakah jiwa mereka masih cenderung terpengaruh oleh anak muda lain yang masih belum menikah?
Sepereti yang saya katakan, mungkin kalau mereka masih tinggal dengan ortu, mereka masih merasa bahwa mereka seperti anak yang lain, tiak mempunyai tanggung jawab. Tapi mereka yang sudah tinggal sendiri akan berpikir ketika mereka pergi sudah ada yang nunggu di rumah. Tadi saya mengatakan bahwa usia yang masih muda itu perhatian, minatnya. Itu khan masih anak muda. Kerepotannya di situ. Contohnya suami pengen sesuatu apa, isterinya bilang, tidak gimana, Iya juga gimana. Kalau saya nanti di rumah takut diomelin. Jadi itu konflik. Akhirnya dia menyesali, kecewa dan itu hukum waktu.
Lantas, bagaimana sikap mereka trehadap pergaulan di kampus?
Tergantung. Sebelum berkeluarga mereka sudah punya tanggung jawab. Itu bukan berarti mereka musti memisahkan diri, tetapi mereka pasti tidak bisa melakukan aktivitas seperti mereka yang belum berkeluarga.
Intinya kedua pihak harus ada pengertian dan komitmen?
Ya, mereka harus buat komitmen. Masalah untuk membuatnya mudah, tapi pelaksanaannya yang susah. Seperti yang saya katakan tadi, mereka berasal dari habitat yang berbeda dan kultur beda pula. Ada suami yang cuek bajunya yang tidak digosokin, tapi ada tipe yang lainnya yang menginginkan harus dilayani sebagaimana mestinya. Seperti yang saya pikirkan, saya nggak tahu, apakah mereka itu prepare.
Apakah ada perbedaan dari sikap teman-teman kampus sebelum dan sesudah nikah? Misalkan harus jaga jarak?
Mengapa harus jaga jarak? Dan mereka tidak perlu memperlakukan secara berbeda. Karena situasi akan selektif sendiri. Dalam artian misalnya ada kegiatan BEM, nanti siapa yang aktif, akan kelihatan. Tidak perlu gimana-gimana. Tapi mereka yang minat dan yang punya peluang. Nah masalahnya mereka punya minat tapi punya peluang apa tidak? Keadaan keluarganya memungkinkan nggak untuk melakukan kegiatan tersebut? Di dalam kegiatan tidak ada perbedaan kok antara yang nikah dengan yang belum.
Apakah dengan pernikahan muda menghambat mereka ynga ingin beraktivbitas di kampus?
Perempuan memang akan terhambat. Karena konstruksi sosial. Karena disadari atau tidak ada suatu konstruksii sosial yang membatasi perempuan. Kalau dia sudah punya anak akan terbatasi oleh peran kodratinya. Dia tidak bisa ikut kegiatan di kampus.
Kembali pada komitmen awal apakah ada kemungkinan untuk beraktivitas di kampus?
Bisa. Tapi seperti tadi yang saya katakan sudah dikonstrusikan secara sosial. Yang namanya perempuan ninggalin rumah itu mikir. Ya, tadi akan ada konflik. Misalnya saya sendiri sudah bekerja selama berpuluh-puluh tahun tetapi masih ada konstruksi sosial yang tidak bisa hilang dalam kehidupan saya.
Di negara maju, menikah bukanlah sebuah kebutuhan yang penting. Mereka lebih mementingkan karier. Menurut Anda?
Memang begitu. Mereka berpikir bahwa menikah bukan sekedar untuk diri mereka sendiri. Itu yang pertama. Mereka mengganggap bahwa pernikahan sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis. Sedangkan hal tersebut bisa mereka melakukannnya di luar nikah. Nah, kalau kita khan tidak. Jadi pernikahan itu adalah sebagai hal yang legal formal untuk kebutuhan biologis. Kita harus menikah dulu. Kemudian lagi kadang orang pengen punya anak. Mereka berpikir nggak harus dengan menikah. Mereka bisa mengadopsi. Kalau kita masih ada kultur lain. Perempuan harus menjadi sebagaimana perempuan. Jadi ini masalah kultur. Dan ini memang beda. Memang sekarang ada fenomena yang agak meningkat yang baru diteliti oleh mahasiswa Psikologi, yaitu “Perempuan Karier yang Melajang”. Tapi itu masih dikatakan fenomena karena masih ada kasus lain dan belum menjadi tataran yang lebih luas. Ya kalau memang kepentingannya seperti itu, itu hak dia. Hanya saja berarti dia tida mempunyai peluang untuk menjalankan peran-peran kodratinya. Kalau ada istilah “Laki-laki Melajang “ itu khan salah, karena dia tidak punya peran kodrati yang spesifik.
Bagaimana pendapat Anda tentang pandangan masyarakat jaman dulu dengan jaman sekarang ?
Pada jaman dulu masyarakat umum menganggap pernikahan di usia muda merupakan hal yang normal-normal saja. Namun berbeda dengan sekarang. Sekarang begitu banyak peluang. Justru menjadi pertanyaan khan jika mereka memilih menikah.***
*Dipublikasikan di Newsletter Hawe POs
No comments:
Post a Comment