15 April 2005

Menilik Eksistensi dan Profesionalisme Pers Mahasiswa

Gelombang reformasi ’98 membuka gerbang kebebasan media massa di Indonesia. Momen ini ditengarahi telah mengambil alih peran pers mahasiswa (persma) sebagai media alternatif yang kritis seperti pada masa orde baru.

Namun zaman telah berubah. Pasca reformasi ‘98 bergulir, media massa Indonesia telah menemukan kebebasannya, sesuatu yang teramat mahal harganya di era orde baru. Kabar ini tentu menggembirakan untuk perkembangan jurnalisme di Indonesia dalam masa transisi ini.

Melihat perubahan itu, tak salah bila gerakan persma ditarik kembali ke kampus (back to campus). Sikap ini bukan berarti mengkhianati idealisme persma, pun tak berarti bahwa persma telah tutup mulut atas sebuah ketidakbenaran. Kembali ke kampus lebih tepatnya bermaksud agar persma lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan seputar kampus. Oleh karena itu format persma kemudian berubah dari pers alternatif menjadi community paper.

Perubahan format persma saat ini tidak mengubah fungsi dan perannya sebagai pers, selama masih berpegang teguh pada aturan main yang benar. Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam bukunya “Elements of Journalism” menyebutkan sembilan elemen dalam jurnalisme. Kovach menempatkan elemen “kebenaran” sebagai elemen pokok dalam jurnalisme.

Berangkat dari pemahaman di atas, tugas pers, tak pandang apakah pers umum atau pers mahasiswa, adalah menyampaikan kebenaran atau fakta kepada warga. Pembaca di sini bisa meliputi masyarakat luas –bukan rakyat dalam arti sempit - atau pun civitas akademika kampus, tergantung pada pangsa pembaca mana yang akan dibidik. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa persma hadir di tengah-tengah lingkungan intelektual, yang selalu mengedepankan cara berpikir ilmiah. Dan tak kalah penting pers harus independen, prinsip cover both side tetap harus dijalankan agar berita yang disampaikan kepada pembaca berimbang.

Tak jarang independensi persma terancam ketika akan mengkritik pihak birokrat kampus, sementara dana penerbitan masih didanai oleh mereka. Untuk menghadapi dilemma ini, persma perlu mencari sumber pendanaan lain. Atau paling tidak mengurangi ketergantungan dengan mencari sumber dana tambahan.

Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan menarik iuran dari swadana mahasiswa sebagai ganti biaya cetak atau pun dengan mencari tambahan dana dari pemasang iklan. Langkah ini sudah diterapkan oleh beberapa persma, terutama di tingkat fakultas yang notabene tidak dihegomoni langsung oleh pihak rektorat.

Selain itu, independensi persma juga akan terancam ketika wartawan persma terlibat pada salah satu kubu gerakan ekstra mahasiswa. Idealnya, wartawan persma netral, tidak menempatkan pada salah satu pihak. Untuk itu, dia harus rela menanggalkan semua identitasnya, ketika berprofesi sebagai wartawan kampus. Hal ini penting agar pemberitaan persma tidak menjadi berat sebelah.

Masalah pengambilalihan peran persma oleh pers umum bukan merupakan persoalan utama yang sedang dihadapi persma saat ini. Persma saat ini sedang dililit oleh berbagai persoalan non teknis. Misalnya, kurikulum dan sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang gerak bagi mahasiswa untuk beraktivitas dalam kegiatan kemahasiswaan menjadi penghambat aktivitas para wartawan persma.

Akibatnya, banyak persma mengalami degradasi keanggotaan. Sebenarnya kondisi ini tidak hanya dialami oleh persma, unit-unit kegiatan mahasiswa lain pun kurang lebih merasakan hal serupa. Iklim pendidikan yang diciptakan oleh birokrat kampus telah memasung kebebasan mahasiswa untuk beraktivitas di luar jam kuliahnya. Kondisi ini melahirkan sikap apatisme mahasiswa terhadap berbagai bentuk kegiatan kemahasiswaan.
Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan, bila persma dan organ kemahasiswaan lainnya masih ingin bertahan hidup. Peran persma sebagai media kampus sangat penting untuk mendobrak ‘kemandekan’ sistem ini. Sikap apatisme mahasiswa terhadap kegiatan di kampus harus segera direspon dan dijadikan sebagai bahan koreksi untuk kegiatan bersama.

Mahasiswa yang tidak terlibat harusnya juga menyadari kondisi ini dan tidak lantas seenaknya mencerca kegiatan mahasiswa yang mandul, sementara mereka sendiri tidak mau melibatkan dirinya.

Laboratorium Jurnalistik
Persma tak perlu berkecil hati menghadapi wajah baru pers umum saat ini karena sebenarnya masih ada tempat bagi mahasiswa yang ingin mengasah kemampuannya di bidang jurnalistik.

Kita sering beranggapan bahwa tenggang waktu penerbitan yang relatif longgar menjadi kelemahan persma. Justru itu dijadikan asset, untuk membuat tulisan yang lebih baik dengan menyajikan informasi yang lebih mendalam (indepth reporting).

Agar materi berita yang disajikan oleh persma tidak cepat basi, tema yang diangkat sebaiknya tidak terpatok pada persoalan yang aktual karena tema-tema seperti ini telah banyak digarap oleh pers umum. Tema akan lebih menarik bila bisa menyentuh aspek human interest.

Selain itu, cara menulis agar menarik untuk dibaca, juga perlu dipelajari. Sebagai orang yang baru belajar di persma, saya beruntung sekali mendapat kesempatan mengikuti kursus jurnalisme sastrawi (literary journalism) di Yayasan Pantau Jakarta. Kursus ini diikuti oleh para wartawan media mainstream lokal maupun nasional.

Kursus yang dipandu oleh Janet E Steel, professor dari Harvard University ini mempelajari tentang teknik menulis dengan model bertutur (narrative journalism). Dengan teknik ini, tulisan menjadi menarik. Membaca berita terasa seperti membaca sebuah cerpen. Tidak berat dan akan terasa mengalir. Pembaca juga akan mendapatkan gambaran yang jelas karena informasi yang disajikan amat lengkap, lebih detail dari feature, model yang telah biasa dipakai. Lebih dari itu, tulisan tidak terkesan menggurui, karena penulis di sini tidak banyak beropini.

Model penulisan dengan gaya sastra ini kali pertama diperkenalkan oleh Tom Wolfe pada tahun 1973 (baca: New Journalism). Sayang, model yang telah lama populer di Amerika ini belum banyak diterapkan oleh media Indonesia kendati sebenarnya mereka menyadari akan pentingnya model penulisan seperti ini. Dari perdebatan yang saya dapatkan selama kursus, tulisan seperti ini relatif memakan waktu yang lebih lama karena butuh waktu untuk melakukan riset dan reportase yang mendalam.

Alasannya, deadline di media umum mengikat, terutama media harian yang menuntut wartawan menyampaikan informasi lebih cepat. Namun karena ada fasilitas kelonggaran deadline itu, persma bisa mencoba model ini, sekaligus belajar untuk membuat tulisan yang lebih baik. Dengan demikian pilihan beraktivitas di persma menjadi sangat berarti untuk mengasah kemampuan jurnalistik para anggotanya (laboratorium jurnalistik).

Lalu, manakah yang lebih penting, terbit tepat waktu ataukah terbit dengan tetap menjaga mutu? Idealnya, keduanya bisa dilakukan oleh persma. Namun dalam realitanya persma masih banyak menghadapi keterbatasan. Karena sedang belajar, lebih baik sedikit melanggar deadline namun tetap mempertahankan standar mutu liputan, daripada sekedar terbit dengan menurunkan informasi yang kering. Keduanya bisa dicapai secara bertahap.

Di sisi lain, saya juga tidak menampik pentingnya organisasi untuk menfasilitasi komunikasi antar persma. Namun dari organisasi yang ada, baik itu tingkat daerah atau tingkat nasional seperti PPMI, belum berperan maksimal. Gerakannya timbul-tenggelam. Bahkan karena tidak banyak dimanfaatkan oleh anggotanya, organ itu hanya jadi tempat kumpul-kumpul yang tidak jelas agendanya.

Yang Aneh, gerakan PPMI akhir-akhir ini banyak dipertanyakan oleh anggotanya karena pengurus dinilai hanya bisa buat kegiatan dan proyek bagi mereka sendiri. Kritikan ini menjadi PR bagi pengurus kali ini dan juga para anggotanya untuk merumuskan arah gerakan organisasi ini ke depan, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua anggota.

Agenda selanjutnya, persma harus mulai dari saat ini untuk membangun pers masa depan yang independen dan sadar prosedur, agar bisa memberikan informasi yang tidak menyesatkan masyarakat.****

Diskusi tentang pers mahasiswa lebih lanjut klik di sini

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment