12 July 2013

Nietzsche, Sartre dan Derrida

"saya tidak pernah mengalami angoisse. itu adalah salah satu kata kunci filsafat tahun 30dan 40-an. istilah itu juga muncul dari heidegger. memang istilah itu selalu dipakai, tapi bagi saya istilah itu tidak berkaitan dengan apa pun. tentu saja saya mengalami kekecewaan, bosan, kemalangan."

pernyataan sartre menjelang mangkatnya itu amat mengiris rasa kemanusian, sekaligus menggelikan. sartre yang semasa hidupnya menyanjung kebebasan, menjelang kematiannya menyadari akan keterbatasannya. manusia yang dikatakannya punya naluri untuk menidak, pada gilirannya pun akan lelah untuk terus-terusan menolak eksistensinya. bebas bertindak tanpa berharap pada apapun cuma omong kosong. pesimisme yang dirasionalisasikan sedimikian rumit itu akhirnya menguap.

sarte adalah potret manusia resah yang mau membabat habis segala bentuk pegangan, tetapi masih belum radikal menemukan solusi lain. dari nietzsche dia cuma mengambil semangat memberontak, atau lebih menggelikan lagi cuma mengaguminya sebagai penyair.

ateisme sartre diinspirasi dari kata-kata dostoevsky: kalau Tuhan tidak ada, apa saja dibolehkan. padahal pada ateisme--sebagai kepercayaan baru: kepercayaan pada ketidakpercayaan-- pun nietzsche ingin melampaui. tuhan nietzsche adalah tuhan tanpa nama, yang mengunjunginya sesuki hati; tuhan dionysos yang mengiya sekaligus menidak, tuhan yang tahu bagaimana menari. macam apakah tuhan nietzsche itu? tuhan nietzsche adalah konsep, prabentuk; bisa jadi kata "tuhan" yang kita pakai selama ini masih jauh dari realitas yang ingin disampaikan nietzsche dalam konsep tuhannya.

sartre belajar dari heidegger, yang masih menganggap nietzsche sebagai metafisikus--padahal membaca nietzsche secara metafisik jelas-jelas akan menyesatkan.

kegagalan berikutnya diikuti oleh foucault yang menyimpulkan dengan matinya tuhan maka manusia juga mati. memang manusia akan mati dengan kematian tuhan, tapi itu manusia yang dekaden, bukan manusia askenden sebagaimana diajarkan nietzsche dalam sosok ubermensch.

jika sartre dan foucault ditempatkan dalam tiga metamorfosa zarathustra, maka si onta diwakili foucault dan si singa diwakili sartre. dua-duanya sama-sama naif, satunya mengiya dengan nada murung dan satunya menidak tidak dengan pemahaman yang mendalam.

penderitaan sebagai mahaguru manusia unggul ditemukan nietzsche dari "kehendak" schopenhauer, lalu ditegaskan dalam pembalikannya atas tragedi yunani ke dalam spirit kor dionysian. schopenhauer betapapun kekanak-kanakannya dalam menerima takdir hidup yang tragis, bagi nietzsche dianggap sebagai guru. dia orang jerman yang baik, tidak seperti hegel yang ketika orang eropa sedang membunuh tuhan malah menghidupkan kembali roh transendental itu.

schopenhauer manusia onta yang dilampaui nietzsche, orang eropa pada zaman nietzsche digambarkan dalam wujud roh singa yang sok kuat dan sok teu, dan bayi sebagai roh bebas tidak diafirmasi oleh sartre dan foucault. alih-alih sartre dan foucault melampaui nietzsche, mereka kembali ke alam purba yang telah dibakar pendahulunya.

nietzsche sangat sinis, sarkastik, juga penuh ironis bahkan terhadap dirinya sendiri sehingga kita akan sangat "berdosa" jika mempelajarinya dengan sangat "serius".

dari sekian pengikut nietzsche yang tidak "serius" itu, menurut saya, heidegger, lalu derrida. ketidakseriusan heidegger yang menempatkan posisi nietzsche sebagai pamungkas metafisika barat, sehingga posisi awal abad berikutnya diletakkan pada dirinya.

sisi kontradiksi nietzsche secara lincah dimainkan derrida dalam filsafat bahasa. permainan itu samar-samar, seolah derrida bermain dengan mainanya sendiri dan tuhan nietzsche telah mati dalam roh bahasanya. tidak, pada derrida roh tuhan yang menari itu justru didatangkan dalam goyang ngebor yang erotis. konsep differance pada derrida bisa dilacak dari sosok "perempuan"--yang terbentuk untuk tidak menunjukkan pantatnya-- zarathustra atau tuhan dionysos-nya nietzsche.

derrida sebagai pengikut nietzsche yang paling tidak "serius" bisa lepas dalam bermain-main dengan serius, seperti bayi zarathustra yang tanpa merasa berdosa berganti mainan satu ke mainan lainnya

Semarang, Mei 2010

Tulisan yang masih berkaitan:



No comments:

Post a Comment