Kehadiran internet telah membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk menyampaikan informasi kepada publik. Dari sinilah sesungguhnya jurnalisme warga dimulai.
Suatu hari, dengan berbekal sebuah laptop dan modem, Mark Drudge membeberkan kisah perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan artis Hollywood Monica Lewinsky. Hanya dalam hitungan menit bahkan detik, skandal seks mantan orang nomor satu di Amerika itu menyebar luas ke seluruh penjuru dunia melalui jaringan internet.
Di Indonesia, bukan sekali waktu video mesum anggota dewan beredar di internet. Setelah atau sebelum heboh video YZ dan ME, sudah beberapa kali pejabat publik hingga selebritis yang justru dikenal santun oleh masyarakat dibuat malu karena skandal seks yang dirahasiakannya terkuak.
Diakui atau tidak, internet memberikan ruang kebebesan bagi setiap orang untuk menyampaikan dan mendistribusikan informasi tanpa sensor. Melalui email, forum, media social networking semacam friendster hingga facebook dan weblog, orang bisa memuat informasi apapun, mulai dari masalah personal sampai isu yang menyangkut kepentingan publik.
Sejak itulah, kata Ana Nadya Abror, cikal bakal Jurnalisme Online lahir. Dalam diskusi “Jurnalisme Warga: Ancaman bagi Media Massa?” yang diselenggarakan LPM VISI UNS pada 28 Februari 2008 di kampus UNS Surakarta, dosen Ilmu Komunikasi UGM itu menyebut internet sebagai media yang ideal bagi penerapan jurnalisme warga yang dalam istilah asalnya disebut citizen journalism atau participatory journalism.
Jurnalisme warga adalah bentuk lain dari jurnalisme, di mana setiap orang bisa melaporkan berita seperti yang selama ini dikerjakan oleh wartawan media mainstream.
Dipilihnya internet sebagai media yang ideal bagi penerapan jurnalisme warga, karena internet memungkinkan berita disampaikan oleh siapa saja yang tersambung dengan jaringan internet, dengan cepat dan lebih interaktif.
Berangkat dari kenyataan itu, jurnalisme warga yang diakomodir oleh jurnalisme online seolah-olah bukan sebagai jurnalisme. Muncul pertanyaan, apakah berita yang disampaikan oleh orang yang awam yang tanpa latar belakang jurnalistik itu bisa dicek kebenarannya, apakah benar orang yang bersangkutan tidak sedang menyebarkan fitnah?
Bagi Abror, ketika kita sudah membicarakan jurnalisme warga di mana setiap orang bisa ambil bagian, maka sudah tak perlu lagi mempermasalahkan aspek etika, akurasi seperti yang diterapkan dalam jurnalisme konvensional. Semuanya diserahkan kepada pembaca. Mau percaya atau tidak, terserah pembaca!
Menanggapi pernyataan Abror, Aulia Muhammad Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Cyber News yang juga menjadi pembicara dalam diskusi, balik bertanya. Lantas kenapa jika memang tak perlu ada etika, PPWI merasa perlu menerapkan dasasila bagi anggotanya?
PPWI kependekan dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia. Seperti yang dijelaskan dalam blognya (http://ppw-indonesia.blogspot.com), organisasi ini menerapkan dasasila yang secara garis besar poin-poinnya mencakup prinsip-prinsip jurnalisme media pada umumnya. Organisasi yang dikelola oleh warga Indonesia ini bermarkas di ibu kota Jakarta dan telah memiliki banyak anggota.
“Pada hakekatnya jurnalisme warga memberikan kebebasan. Ini satu perkara. Persoalan orang mau menanggapinya lain, itu lain perkara. Kebebesan itu bagian tersendiri. Kalau yang bersangkutan menggunakan ruang publik, maka akan ada akuntabilitas publik,” jawab Abror.
Siapa saja pelaku jurnalisme warga?
“Pelaku jurnalisme warga adalah warga. Siapapun boleh ikut,” terang Abror.
Siapa warga itu, menurut Aulia, bukan hanya warga dalam batasan warga dalam sebuah negara. Warga di sini juga mencakup warga dengan kategori profesi dan latar belakang, termasuk jurnalis yang bekerja di media mainstream.
Syaratnya, jika dia seorang wartawan, dalam melaporkan berita itu ia tidak sedang mewakili profesi dan lembaga medianya. Jika ia serorang pejabat publik, entah itu anggota dewan atau bahkan presiden, ia tak sedang mewakili jabatannya. Apa yang disampaikan adalah pandangan pribadinya.
Peran Penulis Surat Pembaca
Mengawali presentasinya, Bambang Haryanto memutar sebuah kaset hasil wawancara sebuah stasiun radio di Solo dengan salah seorang penulis surat pembaca. Narasumber menceritakan kisah awal mulanya ia menulis surat pembaca.
Suatu hari di tahun 1973. Narsumber mengirimkan surat pembaca ke harian Suara Merdeka. Ia menanyakan pohom palem di Alun-alun Utara Solo yang tidak terurus. Setelah suratnya dimuat, pohon palem itu diperhatikan oleh pemerintah setempat. Kini pohon palem itu tidak jadi mati, ia terus disiram hingga akhirnya tumbuh besar.
Di kemudian hari penulis surat pembaca itu mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia. Sebagai ketuanya adalah si penggagas ide itu sendiri. Dia adalah Bambang Haryanto, penulis surat pembaca yang memasalahkan pohon palem yang tak terurus itu.
Istilah Epistoholik diambil dari Majalah Times. Dipakai untuk menjuluki Anthony Parakal, warga Evershine Nagar, Mumbai, India. Lebih dari 5.000 surat pembaca yang ditulis dalam Bahasa Inggris telah dikirimkannya ke berbagai media internasional. Jumlah yang teramat fantastis, bukan?
Ketika nama Epistoholik itu kali pertama muncul di majalah Times edisi 6 April 1992, Bambang sebenarnya telah lama memulai karirnya menulis surat pembaca. Setelah mengetahui bahwa kegemarannya menulis surat pembaca itu ternyata juga dilakukan oleh orang lain di belahan bumi sana, yang bahkan lebih gila dari yang sudah dikerjakannya, ia merasa perlu mempertegas lagi kegemarannya itu. Sejak itulah ia mulai merintis komunitas Epistoholik Indonesia yang didirikannya sejak tahun 1992.
Meski sudah dirintis sejak kemunculan Epistoholik di majalah Times, namun komunitas pegiat surat pembaca yang digagas Bambang itu baru bisa berjalan secara efektif mulai tahun 2003. Keanggotannya bersifat informal. Mulanya ia menghubungi sejumlah nama yang kerap menulis surat pembaca. Beberapa orang menaruh simpati dan virus menulis surat pembaca di media pun mulai disebarluaskan. Seperti yang kerap anda jumpai, sejumlah penulis surat pembaca mencantumkan embel-embel identitas “Warga Epistoholik Indonesia”.
Perkanalannya dengan blog di tahun 2003, dimanfaatkannya untuk menyebarluaskan gagasannya kepada khalayak yang lebih luas. Ia membuat sebuah blog http://episto.blogspot.com. Blog ini dibuat pada tahun 2003 ketika media ini belum begitu populer di kalangan pengguna internet di negeri ini.
Nama Bambang Haryanto telah dicatat dalam rekor Muri pada 27 Januari 2005 sebagai pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia. Demikian seperti yang tertulis dalam poster berwarna merah yang sengaja dipajang Bambang di samping meja para pembicara. Di sana juga tertulis slogan Epistoholik Indonesia: "Episto Ergo Sum : Saya Menulis Surat Pembaca Karena Saya Ada".
Keamatiran Justru Kelebihan
Jika wartawan mengerjakan sebuah berita dengan kaidah dan standar kerja jurnalisme, pewarta jurnalisme melaporkan berita dengan pengetahuan dan style mereka yang berangkat dari berbagai latar belakang yang dimilikinya. Maka jangan berharap berita yang ditulis atau dilaporkan oleh “wartawan awam” ini akan memenuhi standar berita jurnalisme seperti yang dilaporkan oleh media mainstream.
Namun demikian, justru keamitran inilah yang menjadikan nilai lebih dari jurnalisme yang dikelola oleh warga. Aulia menyontohkan sebuah rekaman video saat terjadi Tsunami di Aceh beberapa tahun silam yang dibuat oleh Cut Putri.
Pembuat video dikenal sebagai selebritis. Apakah Cut Putri pernah mendapat materi jurnalisme, ini masih perlu ditelusuri, namun yang ingin disampaikan adalah video itu tidak dikejakan dengan metode kerja standar jurnalisme dan tidak sedang dikerjakan dalam rangka untuk dimuat di media.
Video itu dibuat begitu saja, asal-asalan. Sudut pandang gambar yang diambil tidak fokus, di sana-sini gambar goyang-goyang, menampakkan bahwa pengambil gambar memang masih amatir. Pengambil video sepertinya gugup, tak ada persiapan yang cukup dan juga ikut panik, seperti yang dialami orang-orang yang ada di sekelilingnya saat kejeadian.
Dari rekaman Cut Putri itu, terekam bagaimana bumi mendapatkan getaran pertama, wajah yang cemas, orang-orang yang berlarian, gerak air pasang, jeritan doa, tangis, pekikan Allohu Akbar!
“Aneh, ketika sejumlah wartawan memilih untuk menyelematkan diri dan keluarganya sendiri, Cut Tari yang bukan seorang wartawan justru melakukan apa yang seharusnya dikerjakan oleh wartawan,” ungkap Aulia dengan tatapan serius ke arah hadirin.
Aulia kemudian menarik beberapa kesimpulan. Dari sudut pandang, jurnalisme warga memiliki watak yang personal. Dalam video Cut Putri, gambar yang diambil murni mewakili sudut pandang si pengambil gambar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh blogger yang menulis dalam diari onlinennya. Seorang blogger akan bercerita dengan sudut pandang saya. Bercerita secara lepas seolah tanpa beban ketika memuji pihak tertentu dan mengejek pihak lainnya, atau bahkan memuji dirinya sendiri.
Sesuatu yang personal ini sebenarnya dibutuhkan oleh pembaca untuk mengetahui situasi secara lebih utuh, secara lebih personal dan jujur. Tapi tampaknya yang seperti ini justru yang tidak terangkut dalam pemberitaan wartawan media mainstream.
Selain watak yang personal, ciri lain dalam jurnalisme warga adalah longgarnya durasi dan diangkatnya aspek lokalitas. Durasi bagi televisi adalah sesuatu yang teramat mahal harganya jika dibanding tarif iklan permenit yang bisa mencampai puluhan hingga ratusan juta. Sementara bagi media cetak, jumlah halaman akan berpengaruh pada harga cetak dan space untuk pengiklan. Dalam jurnalisme warga, semua kepentingan itu gugur. Durasi mendapatkan kelonggaran sepanjang rekaman atau tulisan yang dimaui oleh pewarta jurnalisme warga.
Melengkapi, bukan ancaman
Gegap gempita kemunculan jurnalisme warga di Indonesia tampaknya masih sebatas euforia masyarakat kita yang gemar ikut-ikutan merayakan fenomena global. Selain kurangnya kesadaran masyarakat akan perlunya menyampaikan informasi kepada khalayak, juga masih terbatasnya akses informasi masyarakat terhadap media internet.
“Bayangkan, setiap detik, technorati mencatat blog baru muncul di internet. Setiap menit jumlahnya sudah mencapai angka ratusan. Apakah anda semua sudah menjadi bagian dari masyarakat ini?” tanya Aulia kepada para hadirin.
“Jika tidak, mana mungkin jurnalisme warga akan mengancam media mainstream,” jawab Aulia.
Dari awal, Abror sudah menyatakan bahwa media yang ideal untuk menerapkan jurnalisme warga adalah internet. Jika partisipasi masyarakat dalam mengakses internet saja masih kurang, seperti kata Aulia, jurnalisme warga memang belum akan mengancam eksistensi media mainstream.
Aulia menunjukkan jika kehadiran jurnalisme warga dalam kenyataannya justru ditampung dengan baik oleh media mainstream. Sejumlah media besar di Indonesia kini menyediakan rubrik yang dikhususkan untuk pembacanya. Contohnya Suara Merdeka Cyber News yang sejak awal Februari 2008 membuat rubrik Suara Warga yang memberikan kesempatan kepada pembaca melaporkan beritanya secara lebih leluasa
Bambang sebagai pegiat komunitas Epistoholik Indonesia mengeluhkan kurang seriusnya media cetak dalam mengelola rubrik Surat Pembaca. Ia menyontohkan, sebuah tanggapan surat pembaca atas surat lainnya baru akan dimuat beberapa edisi kemudian. Belum lagi, surat itu kalau dimuat. Dan kalaupun dimuat, beritanya sudah basi. Jika rubrik surat pembaca itu dikelola secara lebih serius, Bambang yakin akan ada hal lebih yang bisa didapatkan dari menulis surat pembaca.
Kelemahan dalam media cetak, sebuah berita tidak mendapatkan timbal balik dari pembaca sehingga bisa terjadi interaksi antara si pembaca, wartawan dan pembaca lainnya. Dalam media internet atau media digital lainnya, sebuah percakapan bisa dengan mudah terjadi. Di internet berita mengalir dengan cepat. Di internet pula, alternatif informasi bisa dengan mudah ditemukan.
Jika masyarakat kita menyadari akan hal ini dan mau mengoptimalkan peran internet dalam membangun jurnalisme yang berbasis warga ini, bukan tidak mungkin peran media mainstream di masa mendatang akan mendapatkan saingan.
Dengan semakin berkembangnya jurnalisme warga, kelak akan semakin banyak orang yang akan berbagi peran dan kuasa dalam pendistribusian informasi kepada publik yang selama ini dimonopoli oleh media mainstream. Meski kehadirannya belum bisa dikatakan mengancam, setidaknya jurnalisme yang dikelola oleh warga ini bisa dijadikan alternatif bagi publik untuk memperoleh informasi.
Pada gilirannya nanti, bukan hanya kebebasan yang akan didapat oleh warga dari penerapan jurnalisme warga ini, tapi juga kemenangan. Ya, kemenangan untuk bisa ikut terlibat dalam menyuarakan suara warga tanpa perantara.
imho, jurnalisme warga memang memberi publik tambahan informasi agar bisa membuat keputusan sendiri. standar etika jurnalisme model ini mengacu pada nilai-nilai universal dan hati nurani.
ReplyDeletemas, kalo gak salah, yang ngrekam waktu tsunami itu bukan cut tari, tapi cut putri. makalah mas aulia menyebut itu
ReplyDeletedin, kok lama gak menggeliat, pingsan ya?
ReplyDeleteEra Informasi adalah kemerdekaan siapa saja untuk mencari, mendapatkan dan juga berbagi informasi dengan cepat dan leluasa tanpa batasan sensor dan birokrasi.
ReplyDeleteTahapan berikutnya adalah kedewasaan manusia untuk memastikan seberapa akurat, mencerna informasi yang didapat, dan memberdaya sebagai kebutuhan pengetahuan.
Tuntutan manusia untuk mengelola informasi secara dewasa, menyampaikanya secara bertanggung jawab, dalam hal ini adalah tanggung jawab nurani ...
Salam kenal
Lagi lagi kekerasan atas nama agama.
ReplyDeleteDisarankan , jangan pernah percaya kalau ada yang bilang ISLAM adalah Agama....!
ISLAM itu bukan agama , bosss........!
gak percaya.......? coba dateng ke : http://islamreguler.wordpress.com